visitaaponce.com

Pengamat Defisit Rendah Jangan Jadi Disinsentif bagi Perekonomian

Pengamat: Defisit Rendah Jangan Jadi Disinsentif bagi Perekonomian
Ilustrasi gedung bertingkat di Jakarta(MI/AGUNG WIBOWO)

DEFISIT anggaran seyogianya berada dalam posisi yang rendah agar keberlanjutan fiskal tetap terjaga. Namun jangan sampai hal itu justru menjadi disinsentif bagi perekonomian. Apalagi program dan kegiatan pemerintahan baru diperkirakan bakal menelan dana besar.

Kekhawatiran itu diungkapkan peneliti makroekonomi dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan saat dihubungi Media Indonesia, Senin (17/6).

Menurutnya, angka defisit 1,5% hingga 1,8% seperti yang diusulkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa cukup baik. Hanya, ada kekhawatiran justru itu dijadikan alasan ke depan untuk memangkas berbagai belanja yang sedianya berkontribusi pada perekonomian.

Baca juga : Defisit Anggaran Diyakini Rendah Hingga Akhir Tahun

"Jangan sampai, dengan defisit yang rendah itu kemudian nanti menghilangkan anggaran-anggaran penting bagi perekonomian. Misal, dulu itu ada mandatory spending 5% untuk kesehatan, lalu dihilangkan. Ancaman sekarang itu muncul pada mandatory spending pendidikan yang 20% terhadap PDB agar bisa menekan defisit," kata Abdul.

Dugaan lain dari defisit anggaran yang ditekan rendah itu ialah pemerintah baru ke depan akan mengurangi belanja modal. Padahal belanja modal memiliki dampak tak langsung yang bisa memantik pertumbuhan ekonomi.

Karenanya, Abdul meminta agar pemerintah dan DPR RI membahas ihwal APBN tahun depan secara objektif dan bukan berdasarkan keinginan semata. Hal besar seperti kesehatan anggaran negara dan penguatan ekonomi nasional mesti menjadi pertimbangan utama dalam menyusun alat fiskal negara itu.

Baca juga : Staf Ahli Kemenkeu: Defisit APBN 2022 Diyakini Lebih Rendah dari Asumsi

Ketimbang mengorbankan hal-hal yang justru berkontribusi pada perekonomian, pengambil kebijakan dan wakil rakyat semestinya berpikir kreatif untuk meningkatkan pendapatan negara. Sebab, selama ini upaya mendongkrak pendapatan dibebankan kepada masyarakat melalui penaikan tarif pajak.

Hal itu justru dinilai akan kontraproduktif. Pasalnya, daya beli masyarakat telah melemah. Penambahan beban biaya masyarakat melalui penaikan tarif pajak akan memperberat pikulan di pundak rakyat.

"Selama ini yang dilakukan pemerintah hanya menaikan tarif pajak, PPN jadi 12% (tahun depan). Itu akan memengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Jangan sampai itu justru membuat ekonomi berantakan," pungkas Abdul. (Mir/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat