visitaaponce.com

UU TPKS Dinilai belum Komperhensif

UU TPKS Dinilai belum Komperhensif
Ilustrasi kekerasan seksual(MI)

UNDANG-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan pemerintah pada 12 April 2022. Meskipun telah menjadi angin segar bagi penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia, namun masih ada sejumlah hal yang dikritisi oleh Ketua Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia Euis Sunarti.

Ia menyebut UU tersebut sebenarnya belum komprehensif. Euis menyatakan, sebenarnya RUU PKS namanya sangat baik karena berisi tentang penghapusan kekerasan seksual. Ia menyebut, semua orang normal menginginkan kekerasan seksual tidak ada dan dihapuskan.

“Semua orang normal akan berpikir seperti itu. Namun ketika membaca drafnya, terutama naskah akademiknya, ternyata banyak hal yang sangat merisaukan. Selain definisinya multitafsir, landasannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Feminisme itu bukan dari Indonesia,” ujar Euis dalam keterangan resmi, Jumat (13/5).

Ia juga menjelaskan feminisme berbeda dengan emansipasi dan pemberdayaan perempuan. Ia menerangkan, isme atau paham tersebut dikembangkan oleh para ahli atau perempuan-perempuan dengan semangat sosialis radikalis.

Awalnya, kata Euis, feminisme berkembang di negara-negara yang sosialis dan masuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian dikembangkan menjadi program PBB melalui Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

“Masalahnya, definisi kekerasan seksual itu ternyata tidak sama antara di kepala kita dengan di kepala para feminis. Di kepala kita, kekerasan seksual itu kalau dijambak, ditabok, dan lain sebagainya. Kalau sekarang, definisi kekerasan seksual diambil dari instrumen internasional, termasuk sexual consent," beber dia.

Baca juga: Istana Pastikan Aturan Turunan UU TPKS Segera Disusun

Ia menjelaskan, jadi dikatakan kekerasan kalau tidak ada persetujuan, itu yang namanya kekerasan. Kalau ada persetujuan bukan ada kekerasan.

"Oleh karena itu, kami mengusulkan jangan gunakan istilah kekerasan seksual, gunakan kejahatan seksual,” imbuh Euis.

Selain landasan dan definisi makna, Euis juga mengkritik tidak komprehensifnya UU TPKS. Ia menyebut, kekerasan seksual terhadap anak laki-laki itu kebanyakan adalah karena LGBT dan karena homoseksual.

“Tetapi kenapa kemudian menolak pengaturan kejahatan seksual, zina, dan cabul sesama jenis di dalam undang-undang ini? Kan tidak masuk akal. Kalau mau mengatakan komprehensif harusnya masukkan juga homoseksual sebagai faktor yang menyebabkan kekerasan seksual. Tapi ternyata mereka tolak mentah-mentah,” tegas Euis.

Hal tersebut termasuk juga dengan zina. Menurutnya, zina itu adalah penyebab kekerasan seksual kepada pasangan yang kumpul kebo, yang belum menikah, dan sebagainya.

“Faktanya mengatakan seperti itu. Tapi kemudian mereka tolak zina sebagai dasar kejahatan seksual selama itu suka sama suka. Nah, jadi dimana komprehensifnya?” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Nurdiati, tokoh perempuan Jawa Barat sekaligus dekan perempuan pertama di FMIPA IPB University menambahkan, “Bahasa-bahasa hukum seringkali tidak ditangkap oleh orang awam secara jelas, termasuk istilah sexual consent".

“Jadi tidak diwajibkan lagi ada ikatan pernikahan, asal sama-sama menyetujui, boleh dilakukan. Seolah-olah kan begitu jadinya. Itu tentu saja sangat berlawanan dengan nilai-nilai yang selama ini kita adopsi atau kita pegang," pungkas dia.(OL-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat