visitaaponce.com

Pengendalian Karhutla Kunci Menuju FOLU Net Sink 2030

INDONESIA telah meratifikasi Paris Agreement melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menjadi kewajiban nasional di dalam agenda perubahan iklim global.

Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada 2030.

Di sisi lain, sektor kehutanan dan lahan berkontribusi terhadap 17% dari 29% target penurunan emisi seluruh sektor dalam skenario tanpa syarat (unconditional) atau 24% dari 41% target penurunan emisi seluruh sektor dalam skenario bersyarat (conditional).

Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana operasional Indonesia’s Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 melalui Keputusan Menteri LHK No 168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2022.

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan skenario penurunan 60% emisi GRK nasional lewat pengurangan GRK di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forest dan other land use). 

FOLU Net Sink 2030 menjadi bagian strategi Indonesia dalam menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement untuk menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang transformatif untuk mendukung pelaksanaan aksi mitigasi sektor FOLU mencapai target NDC dan menuju Net Sink. Salah satu kebijakan kunci untuk menuju FOLU Net Sink 2030 ialah pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Hutan dinilai menjadi kunci penting untuk keberhasilan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara berkelanjutan dipercaya mampu mencegah terjadinya deforestasi serta pelepasan emisi ke atmosfer.

“Apa aja sebenarnya yang paling dominan di hutannya Kementerian LHK untuk diperbaiki yang sudah berhasil kita kelola sejak 2015 itu adalah forest fire management, pengendalian karhutla. Nah, di sini kalau kita lihat, satu tahun itu emisi yang keluar dari kita itu sampai 900 juta ton misalnya atau 800 juta ton. Kira-kira 400 juta itu berasal dari kebakaran hutan dan gambut. Nah, makanya itu kita beresin,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya kepada Media Indonesia, belum lama ini.

Sebagai informasi, implementasi rencana operasional FOLU Net Sink 2030 menargetkan tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030 dan terus meningkat sampai -304 juta ton CO2e pada 2050 sehingga emisi bersih pada tingkat nasional (semua sektor) menjadi 540 juta ton CO2e atau setara dengan 1.6 ton CO2e per kapita.

Aksi mitigasi yang diharapkan berkontribusi paling besar dalam pencapaian penurunan emisi sektor FOLU ialah penurunan emisi dari kebakaran gambut, deforestasi, dan dekomposisi gambut. Hal tersebut juga diiringi peningkatan serapan karbon dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta pengelolaan hutan produksi lestari.

Tren penurunan

Menteri Siti menyampaikan deforestasi Indonesia pada 2019-2020 tercatat sekitar 115 ribu hektare, lebih rendah 75% dari periode sebelumnya 2018-2019. Data itu menunjukkan tren penurunan deforestasi selama dua periode terakhir. Menteri Siti juga menyebut perkiraan data deforestasi 2020-2021 bisa lebih rendah lagi.

Selama kurun waktu tujuh tahun terakhir, sektor kehutanan telah melakukan langkah-langkah korektif. Salah satunya adalah pencegahan permanen kejadian kebakaran hutan dan lahan serta mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

Menteri Siti memberikan contoh upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan menerapkan solusi permanen berkelanjutan, antara lain monitoring hotspots, teknologi modifikasi cuaca, serta penyadartahuan sistem paralegal yang sudah dilakukan sejak dua tahun lalu.

“Yang penting bahwa di semua areal yang berpotensi untuk ada hotspot yang bisa menjadi firespot maka langsung kita lakukan pencegahan. Karena presiden kan mintanya lakukan pencegahan dan berikan ruang pada masyarakat untuk bekerja,” kata Siti.

Dalam Buku Manual Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang disusun Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Kementerian LHK, lokasi pengendalian karhutla difokuskan pada lokasi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Peta kerawanan kebakaran dibuat menjadi empat kelas kerawanan, yaitu kerawanan rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Luas terbesar untuk tingkat kerawanan yang sangat tinggi dan tinggi terdapat di Provinsi Riau (8.492.527 ha), diikuti Kalimantan Tengah (7.868.657 ha), Sumatra Selatan (6.812.469 ha), Kalimantan Barat (5.886.500 ha), Jawa Timur (5.502.140 ha), Kalimantan Timur (4.493.845 ha), Sumatra Utara (3.833.858 ha), Nusa Tenggara Timur (3.788.097 ha), Jambi (3.702.512 ha), dan Kalimantan Selatan (3.437.539 ha).

Target penurunan luas kebakaran hutan dan lahan di provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan sampai 2024 sebesar 10% dari baseline 2019 (batas toleransi maksimum luas karhutla) seluas 1.649.258 ha menjadi 1.484.332 ha pada 2024. 

Apabila diproyeksikan penurunan luas karhutla sebesar 2% per tahun, diharapkan terjadi penurunan luas karhutla menjadi 1.286.421 ha pada 2030 atau sebesar 22%.

Untuk mencapai target NDC dalam menurunkan luas kebakaran hutan dan lahan pada 2030, ada tiga langkah yang dilakukan. Pertama, melakukan analisis iklim dan langkah. Dalam hal ini, monitoring cuaca secara kontinu dengan sumber informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) wajib dilaksanakan semua pihak, ditambah analisis wilayah untuk dapat dilaksanakan modifikasi cuaca khususnya untuk pembasahan gambut dan mengurangi hotspots.

Kedua, pengendalian operasional. Pada tingkat tapak, hal itu bisa dilakukan melalui pembentukan Satuan Tugas Terpadu yang timnya terdiri atas Manggala Agni, Babinsa, Bhabimkamtibmas, Masyarakat Peduli Api, kepala desa, serta tokoh masyarakat untuk melaksanakan deteksi dini.

Ketiga, pengelolaan lanskap. Dalam hal ini, seluruh stakeholder yang mengelola kawasan hutan atau lahan khususnya pada lahan gambut harus melaksanakan pengendalian pengelolaan gambut dengan memperbaiki Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Karya Dua puluh tahun (RKD), serta mengelola areal gambutnya dengan memasang alat monitoring tinggi permukaan air tanah gambut.

Menteri Siti menyebut pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta upaya rehabilitasi hutan dan lahan lainnya pada dasarnya merupakan upaya bersama antara aparat dan masyarakat.

“Kita beruntung di Indonesia kita punya budaya gotong royong, sistem saling peduli, dan sistem kekerabatan kita kuat sehingga pada banyak hal kita cukup bagus. Jadi menangani karhutla itu dengan masyarakat peduli api, dengan masyarakat peduli gambut, dengan kelompok tani hutan dengan tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa, semuanya terlibat. Kita punya modal sosial yang begitu kuat yang perkiraan saya negara-negara Eropa pasti enggak punya,” pungkas Siti.

Butuh pendanaan besar

Rencana pendanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan difokuskan untuk areal dengan tingkat kerawanan sangat tinggi seluas 3.496.467 juta hektare. Asumsi dana yang dibutuhkan sebesar Rp10,63 juta/ha sehingga total kebutuhan dana pengendalian karhutla sebesar Rp37,17 triliun.

Angka tersebut 10,4 kali lebih besar dari total anggaran Kementerian LHK 2021 (Rp3,56 triliun) dan 13,56 kali lebih besar dari anggaran Perubahan Iklim di tahun yang sama (Rp2,74 triliun). Adapun prediksi dana sumber dari pemerintah (APBN dan APBD) untuk pengendalian karhutla sebesar Rp0,7 triliun dihitung sebesar 25% dari total anggaran Perubahan Iklim sebesar Rp2,74 triliun.

Artinya, kekurangan dana pengendalian karhutla masih sangat besar, yakni sekitar Rp30,17 triliun. Harapannya, kekurangan tersebut bisa ditutupi dari carbon market (mandatory carbon market dan voluntary carbon market) dan non-carbon market (investasi swasta, hibah dalam negeri, hibah luar negeri, dan sumber lainnya yang tidak mengikat). (Ifa/S3-25)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat