visitaaponce.com

Hanya 1 Penyandang Disabilitas Majemuk Terima Pendidikan

Hanya 1% Penyandang Disabilitas Majemuk Terima Pendidikan
Pendidikan konvensional di Indonesia melihat komunitas penyandang disabilitas sebagai hambatan.(DOK Rawinala.)

HARI Disabilitas Internasional yang dirayakan pada Sabtu (3/12) ialah hari yang dinobatkan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap penyandang disabilitas dan hak-hak mereka. Kementerian Sosial mencatat pada 2020 terdapat 22,5 juta orang penyandang disabilitas di Indonesia. Dengan jumlahnya yang tinggi, ketimpangan pendidikan bagi penyandang disabilitas juga besar. 

Publikasi Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Irwanto (2010) menyebutkan pendidikan konvensional di Indonesia melihat komunitas penyandang disabilitas sebagai hambatan. Hal itu menciptakan lingkungan diskriminatif bagi mereka. Dalam kasusnya, ijazah penyandang disabilitas tidak dapat digunakan pada saat lamaran pekerjaan.

Salah satu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan penyandang disabilitas berupa tunanetra majemuk, Yayasan Rawinala yang terbentuk sejak 1973 melihat kurangnya hak berupa perolehan pendidikan bagi para penyandang disabilitas sebagai masalah serius. "Rawinala tahu bahwa penyelenggaraan pendidikan disabilitas di Indonesia masih sangat minim. Jadi, anak-anak tunanetra majemuk di SLB semua harus diterima, tetapi kenyataannya memang penyediaan SDM belum memadai," ujar Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan Rawinala Mazmur kepada Media Indonesia.

Mazmur bahkan mengungkapkan bahwa data yang dihimpun oleh Rawinala menunjukkan bahwa hanya 1% penyandang disabilitas tunanetra majemuk yang memperoleh pendidikan. "Jadi dari sisi Rawinala, kami sudah concern. Sebetulnya, kita mendapatkan info bahwa setidaknya di Indonesia ada 30 ribu anak MDVI. Yang bisa sekolah hanya 1% atau 300 orang. Di kalangan kita, ini angka reasonable, karena untuk SLB yang fokus untuk anak tunanetra majemuk di Jawa hanya sekitar 5 dan di luar Jawa hanya 1," urai Mazmur.

Dengan minimnya pendidikan bagi anak anak penyandang disabilitas terutama tunanetra majemuk, kemandirian dan kemampuan untuk bertahan hidup ke depan menjadi semakin susah. Kebergantungan kepada orangtua dan lingkungan menjadi salah satu faktornya. Mazmur mengungkapkan bahwa penolakan dari orangtua dan lingkungan juga menjadi salah satu masalah dalam pelibatan anak tunanetra majemuk di dunia pendidikan. 

Yang paling itu ialah paradigma orangtua mengenai disabilitas. Di kota itu mungkin sudah berubah (pandangan mengenai anak disabilitas). Di desa, itu (pandangan mengenai anak disabilitas) mengenai kutuk, dosa, mendatangkan malu atau begitulah adanya. Kalau diupayakan menjadi sesuatu yang tidak berguna. Jadi itu murni mengenai sudut pandangnya masyarakat mengenai disabilitas. Hal itu dihubungkan dengan dosa, kutuk, jadi itu mendatangkan rasa malu, dan ditutupi," imbuh Mazmur.

"Di tempat ini, kita di Rawinala sudah kenal ada beberapa pemerhati disabilitas, untuk mencari data mengenai MDVI di mana saja. Lalu, kami adakan pendekatan kepada orangtua, tetapi orangtua menolak dan marah," lanjutnya. Padahal, Mazmur mengungkapkan bahwa dengan anak-anak penyandang tunanetra majemuk menerima pendidikan dasar mengenai keterampilan dasar bertahan hidup akan membuat mereka semakin mandiri dan mampu bertahan hidup.

"Nah, yang pertama sekali tujuannya membuat hari-hari mereka penuh dengan makna. Kalau tidak dilakukan apa-apa, mereka hanya dibiarkan di rumah. Jadi, mereka nyaris tidak punya interaksi sosial dan tidak punya pengalaman banyak hal. Padahal, untuk anak tunanetra majemuk, kalau kita mengenalkan sesuatu, mereka mungkin tidak tahu apa-apa. Jadi, dunia inilah yang didekatkan kepada mereka, kita sentuhkan objek kepada mereka, karena mereka tidak punya visual mengenai apapun," kata Mazmur. "Yang kedua, agar di masa depan, mereka bisa mandiri menurut kemampuan masing-masing. Tadi, mungkin ada yang hanya bisa activity daily living, ada yang pada akhirnya bisa memakai pakaian. Catatannya tadi, mereka bisa mandiri."

Mazmur berharap bahwa sekembalinya dari sekolah, mereka sudah dapat melakukan kemampuan dasar untuk bertahan hidup, seperti makan sendiri, latihan ke toilet, pergi ke warung, dan aktivitas dasar lain. Oleh karena itu, peran orangtua juga menjadi vital untuk tidak menciptakan ekosistem yang membuat penyandang tunanetra majemuk menjadi terlalu bergantung.

Selain itu, dia berharap bahwa sudut pandang masyarakat mengenai anak disabilitas tidak dialienisasikan yang berakhir pada diskriminasi. Mazmur juga meminta atensi dan dukungan pemerintah untuk menciptakan lingkungan dengan fasilitas sarana dan prasarananya yang dapat mendukung dan memenuhi hak hak bagi penyandang disabilitas. "Jadi, disabilitas itu bukan pada orangnya, tetapi lingkungan dan fasilitas yang ada. Kalau lingkungan dan cara pandang masyarakat baik-baik saja dan sarana baik-baik saja, mereka sebenarnya baik-baik saja dan mereka akan sama seperti kita," tegas Mazmur.

Kini, Rawinala juga ikut membuka cabang pendidikan anak tunanetra majemuk di Dolok Sanggul, Sumatra Utara. Sejak pembukaan pertamanya pada 10 Juni 2021, Rawinala Dolok Sanggul mendidik tidak kurang dari tujuh anak dengan menyiapkan berbagai guru khusus dan kurikulum yang telah dikustomisasi bagi tiap anak sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Yayasan Rawinala, anda dapat menghubungi nomor berikut +62 813 8975 7555 an Mazmur. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat