visitaaponce.com

Kebijakan TKDN Hambat Berkembangnya Industri Farmasi Indonesia

Kebijakan TKDN Hambat Berkembangnya Industri Farmasi Indonesia
Karyawan melakukan proses produksi obat.(MI/Rommy Pujianto )

Indonesia belum menjadi negara yang menarik bagi produsen industri farmasi untuk melakukan investasi di bidang inovasi. Ada banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya ialah banyaknya regulasi yang mempersulit perusahaan farmasi untuk berkembang di Indonesia.

"Banyak sekali batasan yang ada di Indonesia sehingga pasar industri farmasi di Indonesia menjadi kurang menarik. Padahal Indonesia memiliki potensi pasar yang luas dengan 276 juta penduduk. Tapi faktanya, Singapura yang hanya memiliki 6 juta penduduk malah lebih dilirik," kata Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Ait-Allah Mejri dalam diskusi yang diadakan di Jakarta Pusat, Senin (19/12).

Selain itu, kata dia, kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang mengharuskan perusahaan untuk memproduksi barang dengan minimal 40%-nya merupakan bahan baku dalam negeri menjadi kendala yang cukup besar bagi industri farmasi. "Perusahaan harus mematuhi regulasi TKDN untuk bisa teregister di JKN. Ini sangat sulit karena mayoritas bahan baku kita impor, sementara industri manufaktur Indonesia sangat terlambat," ucap dia.

Jika dibiarkan seperti ini, kata Ait, sektor kesehatan Indonesia akan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang dapat memperluas akses obat-obatan berkualitas tinggi, efektif dan aman bagi masyarakat.

Pada kesempatan itu, Guru Besar Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengungkapkan, dengan peluang Indonesia yang sangat besar untuk memajukan industri farmasi dan kesehatan, semestinya pemerintah menggelontorkan anggaran yang lebih besar untuk belanja kesehatan. "Anggaran untuk subsidi BBM itu jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja kesehatan kita. Indonesia saat ini belanja kesehatan dari APBN baru di kisaran 3%, dari PDB," ucap Hasbullah.

Padahal, berdasarkan rekomendasi dari WHO, negara berkembang semestinya mengeluarkan minimal belanja kesehatan sebesar 5% dari PDB. Angka belanja kesehatan Indonesia bahkan masih tertinggal jauh dari Vietnam yang sudah mencapai 7%.

Jika kita tidak membuat kebijakan besar perbaikan sistem kesehatan sekarang, maka kualitas produktivitas generasi emas yang kita cita-citakan pada 2045 tidak mampu bersaing dengan bangsa Asia lain yang sudah memiliki sistem kesehatan yang baik," ucap dia.

"Cara paling efektif untuk mencegah puluhan triliun rupiah dana Indonesia ke luar negeri untuk biaya pengobatan adalah meningkatkan belanja dan tarif JKN sampai pada harga keekonomian yang layak. Selain itu, sistem kesehatan harus memberikan insentif finansial agar seluruh penduduk dapat menikmati obat-obat inovatif dalam rangka perbaikan kualitas hidup bangsa," imbuh Hasbullah. (OL-12)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat