visitaaponce.com

Kaitan Frugal Living dengan Zuhud dalam Syariah Islam

Kaitan Frugal Living dengan Zuhud dalam Syariah Islam
Ilustrasi.(Antara/Makna Zaezar.)

SEKARANG kita mengenal istilah frugal living. Ini merupakan gaya hidup tren terkini yang menekankan kesadaran saat membelanjakan uang (mindful), memprioritaskan sesuatu yang benar-benar penting (disiplince), dan meningkatkan kualitas hidup dan nilai (valuable). Di sisi lain, Islam mengajarkan tentang zuhud.

Lantas, apa zuhud sesungguhnya? Apakah zuhud berarti memakai kemeja lusuh, jeans belel, sarungan, serban? 

"Zuhud tidak berarti mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta. Namun zuhud itu terletak di dalam hati. Kadang zuhud itu bisa terjadi bersama dengan kekayaan atau bersama dengan kemiskinan," ujar Ibnu Qoyim sebagaimana dikutip dari @islamichostories di Instagram.

Muslim yang saleh justru merasa penting untuk memiliki harta. Soalnya, harta kekayaan di tangan seseorang yang saleh akan bermanfaat untuk orang banyak. Itulah zuhud yang sesungguhnya. Intinya, bukan hidup nelangsa tak berdaya, tetapi juga bukan kikir tanpa berpikir.

Kaya atau miskin, keduanya bisa zuhud. Zuhud adalah sikap terhadap harta. Karenanya, zuhud disebut juga sebagai frugal living orang-orang sekarang.

Kekayaan para sahabat dan ulama saleh

Sejumlah catatan sejarah mengungkapkan para sahabat Nabi Muhammad SAW dan ulama salaf yang saleh ternyata memiliki uang dalam jumlah besar. Tafsir Qurthubi jilid 7 halaman 465-468 terbitan Pustaka Azzam menyebutkan fakta berikut.

1. Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib (cucu Ali) memakai mantel berharga 50 dinar (Rp200 juta) pada musim dingin.

2. Tamim ad-Dari (sahabat Nabi) membeli baju seharga 1.000 dirham (Rp400 juta) untuk dipakai salat.

3. Imam Ahmad bin Hanbal (imam mazhab) pernah memakai baju yang harganya 1 dirham (Rp4 juta).

4. Umar bin Khattab wafat meninggalkan 70 ribu ladang dengan nilai masing-masing Rp160 juta atau sekitar Rp11,2 triliun keseluruhannya. Ladangnya menghasilkan rata-rata Rp40 juta atau setara Rp2,8 triliun/tahun (Fikih Ekonomi Umar bin Khattab). 

Muncul banyak pertanyaan, "Bukankah ini pemborosan? Terkesan jauh dari sederhana? Apakah itu berarti mereka tidak zuhud? Apakah zuhud tidak boleh kaya?" Mantel Rp200 juta milik cucu Ali yang dipakai pada musim dingin itu dijual ketika musim panas tiba dan uangnya disedekahkan kepada fakir miskin. A frugal living, isn't it?

Data-data di atas menunjukkan beberapa sahabat Nabi SAW dan ulama salafushalih ternyata memiliki kekayaan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional MUI menyampaikan daftar kekayaan yang ditinggalkan sahabat Nabi, bukan hanya bernilai miliar, bahkan beberapa hingga triliun. Daftar ini belum termasuk nilai yang didonasikan semasa hidupnya.

1. Abdurrahman ibn Awf memiliki kekayaan senilai Rp6.212.688.000.000. 

2. Az-Zubayr ibn al Awwam Rp3.543.724.800.000. 

3. Utsman ibn 'Affan Rp2.532.942.750.000. 

4. Thalhah Ibn Ubaydillah Rp542.100.500.000. 

5. Ibn Abi Waqqash Rp15.380.750.000.

Dalil dan cerita 

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (QS Al-A'raf: 32)

Ayat tersebut menjelaskan anugerah dan kenikmatan hidup yang memang berhak dinikmati. Menolak kenikmatan hidup dengan alasan zuhud itu kurang pas.

Dibolehkan mengenakan pakaian yang mahal dan berhias pada saat berkumpul (bertemu orang). Abu Aliyah berkata, "Jika kaum muslimin saling mengunjungi, mereka akan berhias." Abu Al Faraj pun mengkritik orang-orang yang memakai baju compang-camping dengan niat seolah-olah ia orang zuhud. Padahal, ia mampu membeli baju yang lebih bagus. Ini dijelaskan dalam Tafsir Qurthubi.

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." (QS Al-Qasas: 77).

Berusahalah untuk mendapatkan akhirat (surga) dengan memanfaatkan modal yang Allah berikan di dunia (untuk menambah ketaatan). Berlebih-lebihan dalam beribadah pun tidak diperbolehkan. "Janganlah kau melupakan kehidupan duniamu," kata Ibnu Al Arabi (Tafsir Qurthubi).

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu siarkan." (QS Ad-Dhuha: 11)

Menampakkan nikmat Allah adalah bagian dari syukur. Ini berarti tidak berpura-pura tidak mampu atau bukan juga sombong, pamer, riya, berlebih-lebihan, atau boros.

Orang yang bersyukur dan merasa cukup akan mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Qana'ah adalah fondasi dari kemandirian.

Baca juga: Fantastis, Besaran Gaji Ulama pada Kejayaan Islam Daulah Abbasiyyah

Suatu ketika Rasulullah SAW ada di rumahnya dan hendak menemui para sahabat. Di depannya ada cangkir berisi air yang memantulkan penampilan. Maka beliau pun merapikan rambut dan janggut. Aisyah heran, "Wahai Rasulullah, engkau melakukan hal seperti ini?"

Rasulullah menjawab, "Ya, jika seseorang hendak perg menemui saudara-saudaranya, persiapkanlah dirinya. Sesungguhnya Allah itu indah dan menciptakan keindahan." (HR Muslim)

Khalid bin Ma'dam (sahabat Nabi) mengatakan bahwa jika Rasulullah melakukan perjalanan, beliau membawa sisir, cermin, minyak rambut, siwak (sikat gigi), dan celak (Tafsir Qurthubi). Tren yang baru disadari pria masa kini. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat