visitaaponce.com

Resistensi Antimikroba Permasalahan Lintas Sektor yang belum Usai

Resistensi Antimikroba Permasalahan Lintas Sektor yang belum Usai
Ilustrasi Mikroba.(Dok. Ist )

RESISTENSI antimikroba atau yang disingkat AMR merupakan permasalahan yang harus ditangani lintas sektor angka kematian akibat resistensi mikroba per tahunnya sebanyak 1,7 juta orang.

AMR terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan.

"AMR adalah masalah lintas sektor sehingga harus dikendalikan bersama oleh stakeholder kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, produsen pangan seperti peternakan, budidaya ikan dan tanaman pangan, serta kesehatan lingkungan," kata Senior Technical Advisor Value Chain dan AMR DAO ECTAD Indonesia, drh Gunawan Budi Utomo dalam Workshop Jurnalis Mitigasi Resistensi Antimikroba dari AJI Jakarta di Aloft Wahid Hasyim Hotel, Jakarta Pusat, Sabtu (27/5).

Baca juga: Resistensi Antimikkroba Lebih Berbahaya Dibanding Covid-19

Pengendalian AMR membutuhkan kepemimpinan, dukungan politis, adopsi praktik terbaik, dan kecukupan anggaran serta monitoring dan evaluasi yang buat untuk dapat berjalan dan berkelanjutan.

"Peran quadripartite sangat penting untuk mendorong pemerintah dan sektor swasta dalam keberlanjutan implementasi NAP pengendalian AMR di tingkat nasional dan global," ujarnya.

Baca juga: Tak Hanya Sifilis, Ini Daftar Penyakit Menular Seksual Akibat Virus dan Bakeri yang Perlu Diwaspadai

Ia mengatakan upaya menghadapi AMR jadi jangan sampai menggunakan antibiotik berlebihan sehingga perlu diumumkan pada masyarakat, peternak, dan sebagainya jika ini tidak ditanggapi serius maka akan sangat berbahaya bagi generasi selanjutnya.

Sementara itu, AMR Indonesia Animal Health Contact Point Kementerian Pertanian drh Imron Suandy, menjelaskan perlunya meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pengendalian resistensi antimikroba melalui komunikasi efektif, pendidikan, dan pelatihan.

"Meningkatkan pengetahuan dan bukti ilmiah melalui surveilans dan penelitian; mengurangi insiden infeksi melalui tindakan sanitasi, higienistas, serta pencegahan dan pengendalian infeksi," jelasnya.

Kemudian, mengoptimalkan penggunaan antimikroba pada manusia, hewan, dan lainnya. Tidak lupa juga membangun investasÌ untuk menemukan tata cara pengobatan, metode diagnostik, dan vaksin baru dalam upaya mengurangi berkembangnya masalah resistensi antimikroba atau AMR.

"Serta membungun tata kelola dan koordinasi terpadu dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba," ucapnya.

Konsultan Komunikasi Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (World Organisation for Animal Health/WOAH), Vida A Parady menilai AMR sudah sebabkan pengobatan modern tidak bekerja atau mempan. Masih banyak juga masyarakat yang perlu edukasi tentang bahaya dari AMR.

"Jika bakteri resisten antimikroba dan bisa menular ke orang lain. AMR tanggung jawab kita semua sehingga harus disampaikan kepada masyarakat," tuturnya.

Dampak dari AMR sangat berbahaya, jika seseorang sakit dan diberikan antibiotik tetapi bakteri di dalam tubuh mengalami resisten terhadap antibiotik membuat antibiotik tersebut tidak mempan, meskipun diberi obat yang lebih kuat.

"Tantangan one health dalam satu sistem bagaimana bisa saling terkoneksi jadi sekarang bukan lagi satu isu diselesaikan oleh satu sektor tapi semua sektor. Sebetulnya ada instruksi pemerintah lintas sektor bekerja bersama," pungkasnya. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat