visitaaponce.com

Risiko Kanker Ovarium Masih Ada Meski Rahim Diangkat

Risiko Kanker Ovarium Masih Ada Meski Rahim Diangkat
Ilustrasi(Freepik)

DATA Global Cancer Incidence menunjukkan Mortality and Prevalence (Globocan), kanker ovarium atau kanker indung telur adalah kanker ketiga tersering pada perempuan Indonesia. Pada 2020 ada 14.896 kasus kanker ovarium dengan angka kematian mencapai 9.581 kasus.

Sebagian orang berpikir bahwa pengangkatan rahim bisa menghindarkan ovarium untuk terkena kanker. Dokter spesialis obsgyn konsultan bidang onkologi gynekologi RSUD Dr Moewardi dr Affi Angelia R, Sp.OG(K)-Onk, M. Kes menjelaskan, ada beberapa tipe pengangkatan rahim, antara lain parsial, total, dan radikal.

Tipe parsial yakni mengangkat sebagian rahim dengan mempertahankan serviks atau mulut rahim. Lalu pengangkatan rahim total yakni mengangkat seluruh badan rahim sampai ke serviks. Kemudian yang radikal mengangkat seluruh bagian yang berhubungan dengan rahim di panggul dengan bagian-bagian penggantungnya, termasuk indung telurnya (ovarium).

Baca juga : Kemajuan dan Harapan Baru dalam Memerangi Berbagai Jenis Kanker

Pada pengangkatan rahim parsial atau total, indung telurnya belum tentu diangkat. Kadang-kadang fungsi indung telur masih dibutuhkan karena masalahnya hanya terbatas pada rahim.

Ketika masih ada organ yang ditinggal seperti ovarium atau serviks, kata dr Affi, organ yang ditinggal ini masih punya potensi untuk mengalami kelainan, termasuk kanker.

“Ovarium masih bisa terkena kanker atau tumor karena yang dilakukan angkat rahim saja sehingga ovarium masih di dalam dan masih mungkin punya potensi untuk berubah menjadi satu tumor atau kanker pada kondisi tertentu,” jelasnya dalam diskusi bertajuk Bisakah Terserang Kanker Ovarium, Meski Rahim Telah Diangkat? yang disiarkan langsung di Youtube RSUD Dr Mawardi, Selasa (19/3).

Baca juga : Cegah Kanker Serviks, 90% Anak Perempuan Di Bawah 15 Tahun Harus Divaksin HPV

Dibandingkan kanker serviks yang punya metode deteksi dini, misal dengan metode pap smear atau tes HPV DNA dari serviksnya, dalam kondisi normal, ovarium tidak punya. Menurut dr Affi, cukup sulit mendeteksi adanya kanker ovarium apalagi dalam kondisi masih baru berkembang bibitnya atau pra-kanker.

“USG kandungan bisa kita kerjakan tapi yang bisa kita lihat hanya bentuk yang normal, ukuran normal, gambaran ovarium yang normal. Tapi untuk bilang bahwa normalnya mengandung sesuatu, agak sulit,” ujarnya.

Jadi, yang dilakukan adalah deteksi, bukan skrining, pada kondisi awal. Dalam general check-up misalnya, bisa diketahui ada tumor dari ovarium. Lalu dilihat kita apakah ini tumor jinak atau ganas, apakah kondisi fisiologis yang bisa mengecil sendiri atau perlu tindakan.

Baca juga : Etana Kolaborasi dengan POI Selenggarakan World Cancer Day 2024

Pada prinsipnya, kata dr Affi, semua perempuan mempunyai faktor risiko kanker ovarium. Namun ada faktor risiko lebih tinggi seperti kondisi pascamenopause.

“Tapi bukan berarti yang muda-muda ini bebas dari risiko kanker ovarium. Sekarang trennya bergeser, beberapa perempuan usia muda kita temukan mulai menderita kanker ovarium. Untuk perempuan usia muda ini awereness-nya kita harapkan. Kalau sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres sebaiknya kita periksa,” paparnya.

Ada enam faktor risiko kanker ovarium. Berikut ulasanya yang sudah kami rangkum untuk Anda : 

Pertambahan usia

Kanker ovarium umumnya terjadi setelah masa menopause dan meningkat risikonya pada usia di atas 65 tahun.

Angka paritas rendah

Perempuan dengan kehamilan pertama di atas usia 35 tahun atau tidak pernah hamil memiliki risiko yang lebih tinggi. Sebaliknya, kehamilan dapat menurunkan risiko kanker ovarium.

Gaya hidup yang buruk

Risiko kanker ovarium berkaitan dengan tingginya angka asupan kolesterol. Obesitas dan merokok juga meningkatkan risiko kanker ovarium. Konsumsi sayur, vitamin,  dapat menurunkan risiko.

Riwayat kista endometriosis

Dibandingkan dengan jenis lainnya, kanker ovarium yang disebabkan oleh endometriosis terdeteksi pada wanita dengan usia lebih muda dan stadium awal.

Riwayat keluarga

Risiko terjadinya kanker ovarium akan meningkat pada wanita dengan riwayat keluarga kanker ovarium dan kanker payudara, khususnya pada ibu atau saudara perempuan.

Mutasi genetik

 Gen BRCA atau Breast Cancer Gene merupakan tumor suppressor gene yang dapat mengalami mutasi. Sekitar 65%-85% tumor ovarium yang diwariskan disebabkan oleh mutasi germline pada gen BRCA. Mutasi BRCA1 dan BRCA2 pada 44% dan 17% perempuan berisiko menyebabkan kanker ovarium pada usia hingga 80 tahun.

Sementara itu, ada empat tanda dan gejala kanker ovarium. Pertama, perut kembung yang dapat disertai penuh atau adanya tekanan pada perut. Hal itu disertai dengan perut yang tampak membengkak.

Baca juga : Kanker Serviks Ancaman Utama Kematian Wanita Indonesia

Kedua, berkurangnya nafsu makan yang dapat disebabkan oleh perut kembung, serta perasaan cepat kenyang. Hal tersebut bisa menyebabkan berkurangnya asupan nutrisi sehingga akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan.

Ketiga, sering buang air kecil dan dapat disertai rasa sakit atau tertekan pada kandung kemih. Keinginan untuk buang air kecil terasa mendadak dan sulit ditahan.

Keempat, nyeri panggul atau perut, meskipun gejala ini dapat disebabkan oleh kondisi atau penyakit lainnya. Gejala tersebut dapat disertai dengan nyeri punggung atau konstipasi.

“Dengan mengenali tanda dan gejala kanker ovarium sejak dini, kita dapat segera membuat keputusan untuk berkonsultasi ke dokter. Sebanyak 90% kasus kanker ovarium yang terdeteksi lebih awal, dapat disembuhkan,” pungkas dr Affi. (Z-8)

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat