visitaaponce.com

Beban Ekonomi Timbulkan Potensi Depresi Calon Dokter Spesialis, Pemberian Insentif Harus Dikaji

Beban Ekonomi Timbulkan Potensi Depresi Calon Dokter Spesialis, Pemberian Insentif Harus Dikaji
Ilustrasi: dokter spesialis kebidanan dan kandungan memeriksa janin ibu hamil dengan peralatan Ultrasonografi (USG)(Antara)

DEKAN Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Ari Fahrial Syam mengklarifikasi sejumlah temuan survei mengenai 3,3 persen dari lebih 12 ribu calon dokter spesialis yang menjalani pendidikan di RS vertikal mengalami depresi berat hingga ingin bunuh diri dan melukai diri sendiri.

Ari menjelaskan bahwa survei yang dijalankan dengan metode hasil screening awal tersebut terlalu dini untuk menjadi acuan dalam menyimpulkan adanya kondisi depresi dari PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Menurutnya, persepsi diri seseorang perlu divalidasi kembali dengan pemeriksaan ke psikiatri untuk memastikan diagnosis klinisnya.

“Survei ini memang diambil dari item gejala klinis depresi di PPDS, tetapi dalam kuesioner tidak ada sensitivitas dan spesifitasnya jadi kemungkinan false pos atau negatif masih bisa terjadi. Item pada PHQ atau The Patient Health Questionnaire sebagai sebuah urutan pertanyaan dalam skrining awal depresi untuk melihat tingkat awal keparahan depresi secara komponen item fisik juga tidak semata-mata mencerminkan gejala depresi sebagai gangguan mood,” ungkapnya saat dihubungkan Media Indonesia di Jakarta pada Selasa (16/4).

Baca juga : Sinar Mas Land Raih Empat Penghargaan Indonesia CSR Excellence Award

Menurut Prof Ari gangguan depresi merupakan jenis penyakit sehingga untuk menetapkan seseorang terkena depresi atau tidak harus melalui diagnosis pemeriksaan. Oleh karena itu, survei tersebut dinilai terlalu dini untuk memberi kesimpulan adanya depresi PPDS sebesar 3,3% seperti yang telah terpublikasi.

“Screening ini baru gejala tapi seolah-olah disimpulkan sudah depresi. Jika memang sudah dilakukan screening awal lalu ada indikasi depresi maka yang bersangkutan harus dikonsultasikan ke dokter jiwa, namun dalam penelitian itu tidak ada,” ungkapnya.

Kendati demikian, Ari tak menafikkan bahwa ada potensi depresi pada PPDS. Dikatakan bahwa beban kerja berat dan urusan pendidikan yang dijalankan para dokter pada PPDS dianggap jadi pemicu tingginya adanya potensi angka depresi.

Baca juga : UI Puncaki Peringkat Edurank di Indonesia

“Jika pun ada potensi PPDS depresi hal itu disebabkan karena ada beban kerja yang berat dari dokter. Bahkan dokter umum saja beresiko cukup tinggi terhadap potensi depresi karena mereka harus berhadapan dengan pasien, keluarga pasien, belum lagi masalah pembiayaan BPJS dan pasien yang ternyata tidak punya biaya. Belum lagi jika PPDS sedang dihadapkan urusan tugas pendidikan dan urusan pribadi dalam keluarga,” ungkapnya.

Melihat hal tersebut, Ari mengatakan bahwa pihaknya akan terus berbenah sistem untuk mencegah adanya berbagai potensi depresi yang terjadi jika hal tersebut terbukti secara survei yang kredibel.

“Pasti akan kita lakukan antisipasi dengan berbagai upaya seperti mendorong rumah sakit untuk membayar insentif kepada PPDS, menindak tegas pelaku bullying dan kita akan melakukan skrining yang lebih detail bagi calon PPDS agar siap secara mental dan psikologis. Para pendidik dan pembimbing di kampus juga akan terus mengawasi dan mengambil tindakan jika ada tanda-tanda depresi pada peserta didiknya,” ungkapnya.

Baca juga : Pemerintah Klaim Ekonomi Indonesia Masih Cukup Baik

Lebih lanjut, Prof Ari menjelaskan bahwa pendidikan untuk PPDS memang memiliki beban yang cukup besar. Beban pelayanan di rumah sakit vertikal juga sangat besar sehingga tidak mampu memberikan insentif kepada para peserta PPDS yang belajar dan melayani di rumah sakit vertikal. Hal ini berisiko menimbulkan beban ganda bagi PPDS sehingga berpotensi mengalami depresi.

“85% PPDS di RSCM harus membiayai pendidikannya sendiri dan 70% dari mereka berasal dari luar Jakarta sehingga bisa jadi hal-hal tersebut berpotensi mengakibatkan depresi. Hal ini yang harus ditelusuri lebih lanjut dalam survei, sehingga otoritas keluarga kebijakan jangan langsung melakukan action sebelum hasil survei matang,” ungkapnya.

Prof Ari menjelaskan bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu beban yang bisa menimbulkan depresi bagi PPDS, sebab selama mengikuti pendidikan spesialis dikatakan bahwa PPDS tidak mendapatkan upah ataupun insentif khusus sementara mereka harus membayar biaya pendidikan yang cukup tinggi.

Baca juga : Studi Kaukus Keswa: Pemilu 2024 Tingkatkan Risiko Kecemasan dan Depresi

“Jadi 85% PPDS harus bayar sendiri padahal Undang-Undang No.20 tahun 2013 tentang pendidikan dokter sudah dimanfaatkan bahwa PPDS harus diberikan intensif oleh rumah sakit vertikal dimana mereka bertugas, tetapi saat insentif itu tidak terjadi. Peraturan Presiden mengenai UU tersebut juga tidak pernah keluar jadi Kementerian Kesehatan bertanggung jawab secara vertikal ke rumah sakit untuk mengurus pemberian intensif tersebut,” ungkapnya.

Menurut Ari, pemberian insentif kepada para PPDS misalnya yang terjadi saat covid, bisa meminimalisir angka depresi sehingga harus ada sistem yang komprehensif agar mandat UU tersebut dapat terealisasi.

“Undang-undang memadatkan agar ada insentif bagi para PPDS, setidaknya beban mereka berkurang karena PPDS bekerja segala macam tapi tidak mendapat apa-apa dari pekerjaannya, sedangkan di sisi lain mereka juga harus fokus pendidikan untuk menjadi spesialis dan membayar pendidikannya,” jelasnya. (Dev/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat