visitaaponce.com

Idul Adha Dalam Al-Quran Mengapa Perintah Kurban Pada Nabi Ibrahim Datang Melalui Mimpi

Idul Adha Dalam Al-Quran: Mengapa Perintah Kurban Pada Nabi Ibrahim Datang Melalui Mimpi?
Ilustrasi: Umat Islam dari berbagai negara melaksanakan wukuf di Jabal Rahmah, Arafah, Arab Saudi.( ANTARA FOTO/Wahyu Putro)

HARI Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban tak lepas dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim (AS) dan anaknya, Nabi Ismail AS.  Sejarah mencatat tentang perjalanan Nabi Ibrahim yang harus mengurbankan Nabi Ismail. Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim itu datang melalui mimpi. 

Setelah mendapat mimpi, Nabi Ibrahim merasa bingung, namun tidak lantas membenarkan dan tidak pula mengingkari. Sebab ia tahu bahwa mimpi itu dari Allah SWT.

Lalu kenapa perintah itu justru datang melalui mimpi?

Baca juga : Idul Adha Dalam Al-Qur'an : Musyawarah Antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Dilansir dari NU Online, jauh sebelum peristiwa itu, Nabi Ibrahim lama tak dikaruniai putra. Ia kemudian berdoa agar mendapatkan keturunan yang saleh. Kisah itu tertulis dalam Al-Qur’an surat al-Shaffat (37) ayat 100-101

"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh (100). Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail) (101)

Doa itu selalu ia panjatkan sampai kemudian lahir dari rahim istrinya, Siti Hajar, seorang putra bernama Ismail. 

Baca juga : Meneladani Hari Raya Idul Kurban untuk Membangun Indonesia Damai

Pada saat itu, Nabi Ibrahim sudah berusia 86 tahun. Di tengah kegembiraan atas kelahiran putranya, ia mendapatkan perintah untuk meninggalkan dua orang yang sangat dicintainya itu di wilayah yang tandus, yakni Mekah saat ini. Tak ada mata air.  Wilayah itu diapit dua bukit, yakni Shafa dan Marwah. 

Dikisahkan dalam kitab Qishashul Anbiya karya Ibnu Katsir, Siti Hajar turut berdiri ketika melihat sang suami, yakni Nabi Ibrahim, berdiri, sembari mengajukan pertanyaan. “Duhai Ibrahim, hendak ke mana Engkau pergi, sedangkan Engkau meninggalkan kami di lembah ini tanpa ada seorang teman dan sesuatu apapun?”

Siti Hajar berulang kali menanyakan hal yang sama. Namun, sang suami tak bergeming sedikit pun

Baca juga : Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim AS

Melihat tak ada respons, Siti Hajar mengubah pertanyaannya, “Apakah Allah memerintahkanmu demikian?”

“Ya,” Nabi Ibrahim menjawab pendek.

“Jadi, jangan sia-siakan kami,” kata Siti Hajar lagi menjawab sembari kembali ke tempat semula. 

Baca juga : Memahami Makna dan Sejarah Idul Adha dari Pengorbanan Besar 2 Nabi

Sementara Nabi Ibrahim terus berlalu. Saat itu, Nabi Ismail masih bayi, masih menyusui. Ketika perbekalan habis, sang ibu pun mencari penghidupan.  Namun, ia tak menemukan apa-apa di sekitarnya. Segera ia menaiki bukit Shafa dan melempar pandangannya ke bawah, tetapi tak ada apa-apa. 

Setelah memastikan memang tidak ada apa-apa, ia turun kembali dan melihat sekitarnya, masih demikian. Lalu, ia coba menaiki bukit Marwah dan kembali mengarahkan pandangannya ke sekitar. Namun, lagi-lagi, tak ia temukan barang sesuatu apapun. 

Hal demikian berulang sampai tujuh kali. Tentu kisah ini bukan saja ujian bagi Siti Hajar dan Nabi Ismail kecil,. Tetapi juga bagi Nabi Ibrahim selaku ayah yang harus mengikhlaskan situasi demikian. 

Setelah Nabi Ismail beranjak remaja, Nabi Ibrahim kembali diuji untuk mengorbankan putranya. Perintah ini datang melalui mimpi pada tanggal 8 Dzulhijjah. 

Namun, perintah ini tak langsung diamini oleh Nabi Ibrahim. Ia masih meragukan apakah betul mimpi tersebut adalah perintah dari Allah SWT. Kemudian, mimpi yang sama datang lagi pada tanggal 9 Dzulhijjah. 

Karenanya, tanggal tersebut dinamai hari Arafah, yakni hari saat Nabi Ibrahim arafa (mengetahui), meyakini bahwa mimpi yang datang di dalam tidurnya adalah betul-betul perintah dari Allah SWT. Lantas, keesokan harinya, pada tanggal 10 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah tersebut. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat al-Shaffat ayat 102:

"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."  

Perintah ini datang melalui mimpi, tidak disampaikan saat Nabi Ibrahim dalam keadaan terjaga.

Bentuk Kemuliaan

Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya, Al-Tahrir wa al-Tanwir, menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan bentuk penghormatan atau memuliakan kepada Nabi Ibrahim atas keresahan yang dialaminya dengan perintah mengorbankan putranya tersebut jika disampaikan saat terjaga. 

Sebab, melalui mimpi, perenungan atas perintah tersebut akan dilakukan setelahnya karena terkadang mimpi tersebut mengandung tanda gangguan pikiran. Lebih lanjut, Ibnu Asyur juga menegaskan bahwa mimpi merupakan cara yang ramah bagi jiwa untuk menyambut perintah yang sedemikian berat itu, yakni mengorbankan anaknya yang semata wayang itu. (P-5)

Sumber: NU Online
 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat