visitaaponce.com

PBB Setujui Perjanjian Lindungi Keanekaragaman Hayati Laut Lepas

PBB Setujui Perjanjian Lindungi Keanekaragaman Hayati Laut Lepas
Penyu hijau (Chelonia mydas) berenang di dekat Pulau Gorgona, di Samudra Pasifik di lepas pantai barat daya Kolombia.(AFP/Luis Robayo.)

NEGARA anggota PBB menyetujui perjanjian internasional pertama setelah bertahun-tahun negosiasi untuk melindungi laut lepas, harta karun yang rapuh dan vital yang menutupi hampir separuh planet ini. Kesepakatan itu diambil di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat, Sabtu (4/3).

"Kapal telah mencapai pantai," kata Ketua Konferensi perjanjian itu, Rena Lee, yang disambut tepuk tangan meriah dan panjang dari para delegasi. Para aktivis memujinya sebagai momen terobosan untuk perlindungan keanekaragaman hayati setelah lebih dari 15 tahun didiskusikan. Perjanjian itu dipandang penting untuk melestarikan 30% daratan dan lautan dunia pada 2030.

Perjanjian itu sejalan dengan kesepakatan yang ditandatangani di Montreal pada Desember. "Ini hari bersejarah untuk konservasi dan tanda bahwa di dunia yang terbagi melindungi alam dan manusia dapat menang atas geopolitik," kata Laura Meller dari Greenpeace.

Setelah pembicaraan intensif selama dua minggu, para delegasi menyelesaikan teks yang sekarang sudah dipermanenkan. "Tidak akan ada pembukaan kembali atau pembahasan substansinya," kata Lee kepada negosiator.

Dia mengatakan perjanjian tersebut akan diadopsi secara resmi di kemudian hari setelah diperiksa oleh pengacara dan diterjemahkan ke enam bahasa resmi PBB. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memuji para delegasi karena perjanjian itu ialah kemenangan bagi multilateralisme dan upaya global untuk melawan tren destruktif laut.

Wilayah yang diatur dalam perjanjian itu dimulai dari laut lepas. Perairan ini berawal dari perbatasan zona ekonomi eksklusif yang membentang hingga 200 mil laut (370 kilometer) dari garis pantai. Dengan demikian wilayah itu tidak berada di bawah yurisdiksi negara mana pun.

Meskipun laut lepas terdiri dari lebih dari 60% lautan dunia dan hampir separuh permukaan planet, tetapi kerap diabaikan. Ekosistem laut menciptakan separuh oksigen yang dihirup manusia dan membatasi pemanasan global dengan menyerap banyak karbon dioksida yang dipancarkan oleh aktivitas manusia.

Namun kekayaan hewani itu terancam oleh perubahan iklim, polusi, dan penangkapan ikan berlebihan. Hanya sekitar 1% dari laut lepas yang saat ini dilindungi. Ketika perjanjian baru mulai berlaku, itu akan memungkinkan terciptanya kawasan lindung laut di perairan internasional. "Kawasan perlindungan laut lepas dapat memainkan peran penting dalam membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim," kata Liz Karan dari The Pew Charitable Trusts yang menyebut kesepakatan tersebut sebagai pencapaian penting.

Perjanjian itu juga akan mewajibkan negara-negara untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dari kegiatan yang diusulkan di laut lepas. Bab sangat sensitif tentang pembagian manfaat potensial dari sumber daya laut yang baru ditemukan merupakan salah satu titik fokus ketegangan.

Negara-negara berkembang telah berjuang untuk tidak dikecualikan dari rejeki nomplok yang diharapkan dari komersialisasi bahan-bahan potensial yang ditemukan di perairan internasional. Keuntungan kemungkinan besar muncul dari potensi farmasi, kimia, atau kosmetik dari zat laut yang baru ditemukan yang tidak dimiliki negara mana pun.

Seperti dalam forum internasional lain, terutama negosiasi iklim, perdebatan tersebut berakhir dengan pertanyaan tentang memastikan kesetaraan antara negara Selatan yang lebih miskin dan Utara yang lebih kaya. Dalam langkah yang dilihat sebagai upaya untuk membangun kepercayaan antara negara kaya dan miskin, Uni Eropa (UE) menjanjikan US$42 juta di New York untuk memfasilitasi ratifikasi perjanjian dan implementasi awal.

UE juga mengumumkan US$860 juta untuk penelitian, pemantauan, dan konservasi lautan pada 2023 pada konferensi Our Ocean di Panama yang berakhir Jumat. Panama mengatakan total US$19 miliar dijanjikan oleh negara-negara.

Pada 2017, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang meminta negara-negara untuk membuat perjanjian laut lepas. Awalnya direncanakan empat sesi negosiasi tetapi harus melewati dua resolusi untuk memastikan dua sesi tambahan. "Sekarang kita akhirnya dapat beralih dari pembicaraan ke perubahan nyata di laut," kata Meller dari Greenpeace. (AFP/OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat