visitaaponce.com

Di Seminar Hari HAM, LaNyalla Sebut Penjajahan Ekonomi Pelanggaran Hak Kesejahteraan

Di Seminar Hari HAM, LaNyalla Sebut Penjajahan Ekonomi Pelanggaran Hak Kesejahteraan 
Ketua DPD RI LaNyalla M Mattalitti.(Ist)

KETUA Dewan Perwakilan Daerah RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyebut penjajahan ekonomi pada hakikatnya merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Khususnya hak atas kesejahteraan. Sebab, tujuan dari lahirnya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hal itu dikatakan LaNyalla yang hadir secara virtual dalam Seminar Nasional Hari HAM Internasional bertema 'Urgensi Penegakan HAM Demi Mewujudkan Indonesia yang Berkeadilan' yang diprakarsai Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara Daerah Lampung, Sabtu (10/12).

"Hak asasi paling mendasar dan substansial adalah kemerdekaan semua bangsa. Ini sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tertuang dalam naskah Pembukaan UUD 1945 kita. Sehingga tidak boleh ada kolonialisme dalam bentuk apa pun, karena itu sama dengan penjajahan," katanya.

Hanya saja, hari ini terjadi pola kolonialisme dalam bentuk baru yang menyusup melalui wajah globalisasi yang menyatu dengan oligarki ekonomi di dalam negeri.
 
Menurut dia, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional yang memaksa bangsa ini untuk menjalaninya.
 
"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" tanya LaNyalla.

"Ini otokritik dari saya terhadap persoalan HAM. Karena penjajahan dalam bentuk lain masih terjadi hingga hari ini. Indonesia menjadi salah satu korban penjajahan ekonomi, melalui globalisasi yang berwatak predatorik," tegas dia lagi.

Menurut Senator asal Jawa Timur itu, penjajahan ekonomi dalam bentuk baru ini menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kehilangan hak atas kesejahteraan. Padahal, hak atas kesejahteraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi.

LaNyalla memberi satu contoh yang dialami Indonesia saat krisis moneter pada 1997-1998. Saat itu terjadi penandatanganan letter of intent Dana Moneter Internasional (IMF) oleh Presiden Soeharto.


Baca juga: Wakil Ketua DPD Golkar Sultra Rusmin Abdul Gani Terpilih Jadi Ketua AMPI Sultra

 

"Apakah penandatanganan saat itu selaras dengan konstitusi kita? Konstitusi kita jelas memproteksi rakyat Indonesia. Sementara IMF mensyaratkan penghapusan subsidi dan proteksi demi kepentingan pasar bebas. Siapa yang happy dari penandatanganan letter of intent IMF? Kita atau kapitalisme global?" ucapnya.
 
Padahal di satu sisi, katanya, kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.
 
Namun, alih-alih hal itu menjadi koreksi. Justru sebaliknya, di era reformasi negara ini melakukan perubahan Undang-Undang Dasar secara total dari 1999 hingga 2002. Perubahan itu justru membuka ruang bagi 'penjajahan ekonomi' wajah baru melalui liberalisasi ekonomi yang kapitalistik di Indonesia.

Dalam perubahan itu memang ada 10 pasal tentang HAM, tetapi di sisi lain, hak atas kesejahteraan tergerus oleh daulat pasar.
 
Dilanjutkannya, dari perubahan konstitusi tersebut, kekuasaan negara terhadap kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan air, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak telah dilucuti, untuk diberikan kepada swasta dan asing.
 
Karena negara sudah dilucuti untuk menguasai dan mengolah kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ini, negara hanya berfungsi sebagai 'host' bagi investor.

"Kewajiban pemerintah untuk menjamin rakyat dapat mengakses kebutuhan hidupnya, dikatakan sebagai Subsidi. Sehingga sewaktu-waktu Subsidi dapat dicabut, karena APBN tidak mampu lagi mengkover biaya tersebut," katanya.
 
Menurut LaNyalla, hal itu pada hakikatnya adalah pelanggaran HAM, khususnya hak atas kesejahteraan.

"Saya ingin memperluas perspektif pembicaraan tentang HAM, sehingga tidak terjebak hanya dalam koridor pelanggaran HAM masa lalu saja. Tetapi pelanggaran HAM akibat penjajahan ekonomi dalam bentuk baru juga harus menjadi diskursus dalam diskusi dan kajian akademik," tukas LaNyalla. (RO/OL-16)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat