visitaaponce.com

Semangat Berkebun Warga Bangkit Setelah Anggota MIT Poso Musnah

Semangat Berkebun Warga Bangkit Setelah Anggota MIT Poso Musnah
Marson Palada berpose di kebun kakao miliknya di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso(MI / M Taufan )

MATAHARI sore itu masih terasa menyengat. Asmarani Lacege seolah tidak memperdulikan. Ia bersama seorang anaknya tetap santai menaiki bukit yang sedikit terjal meski sinar sang surya terpapar langsung di atas kepala mereka.

Wanita 43 tahun itu rupanya hendak ke kebun kakao miliknya yang ada di perbukitan Desa Alitupu, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Anak sulungnya bernama Susan Lacege berumur 16 tahun diajak ikut bersama dengan tujuan bisa membantu pekerjaan di kebun.

Baca juga : Bahasa Suku Kaili Perlu Dilestarikan Agar Tidak Punah

Dalam sehari, pagi atau sore Asmarani pasti menengok kebun kakao miliknya yang memiliki luas 500 meter persegi. Entah itu datang hanya ingin melihat buah kakao hingga membersihkan rumput-rumput liar di area perkebunan.

“Sore ini saya dan anak mau membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di bawah pohon kakao,” kata Asmarani kepada Media Indonesia saat ditemui di Desa Alitupu, Minggu (19/3/2023) lalu.

Baca juga : Durian Parigi Moutong Didorong Masuk Pasar Global

Ke kebun sore itu, Asmarani terlihat memakai sepatu boots karet seraya membawa sebilah parang dan di tas ransel yang digendong anaknya terdapat perbekalan seperti air minum serta makanan ringan.

Kebun Asmarani berjarak kurang lebih lima kilo meter dari rumahnya di perkampungan Desa Alitupu. Dan sehari-hari, ia berjalan kaki ke kebun.

“Kalau sore begini, paling satu jam kami kerja di kebun. Setelah istirahat makan dan minum kami langsung balik. Paling sebelum magrib kami sudah di rumah,” ungkapnya.

Asmarani mengaku, sejak operasi Madago Raya yang digelar gabungan Polri dan TNI memastikan kelompok sipil bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) telah habis, sejumlah petani termasuk dirinya mulai semangat lagi pergi ke kebun.

Hal itu terjadi karena ia merasa wilayah perkebunan kakao miliknya yang sebelumnya masuk wilayah operasi sudah aman dari gangguan Daftar Pencarian Orang (DPO) kelompok MIT yang diburu sejak bertahun-tahun.

“Sekarang keadaan sudah sangat aman. Saya tidak takut lagi pergi ke kebun, meski kebun saya ini sedikit masuk ke hutan dan jauh dari perkampungan,” tutupnya.

Hampir satu dekade, warga yang tinggal ataupun beraktivitas di pinggiran hutan dan pegunungan Kabupaten Poso khususnya di Lembah Lore Bersaudara yang meliputi Kecamatan Lore Barat, Lore Timur, Lore Selatan, Lore Utara, Lore Tengah, dan Lore Piore hidup dipenuhi dengan rasa ketakutan.

Mereka takut sangat beralasan, karena perkebunan mereka masuk ke dalam wilayah operasi perburuan kelompok MIT.

Selain menewaskan aparat dalam baku tembak, MIT juga dengan sengaja menyasar warga sipil untuk menjadi korbannya. Itu memperparah rasa ketakutan warga.

Berdasarkan data yang sebelumnya disampaikan Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng, terhitung sejak 2014 sekitar 20 warga sipil menjadi korban kelompok yang telah terafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Warga yang tewas akibat aksi MIT itu mayoritas tinggal di pinggir hutan dan berkebun di hutan tempat kelompok itu bergerilya mulai dari wilayah Poso, Parigi Moutong, hingga Sigi.

Dengan keberadaan kelompok MIT yang terdeteksi pada 2012 itu, ketidaknyamanan warga dalam berkebun dan berkehidupan yang bebas terganggu.

Terlebih, warga di Lembah Lore Bersaudara yang berprofesi sebagai petani kebun dengan komoditas kakao, kopi, vanili, kemiri, nilan, dan hasil perkebunan lainnya punya kisah traumatis dengan aksi teror yang dilakukan MIT.

Di mana, pada Mei 2021, empat warga Desa Kalimango tetangga Desa Alitupu dibunuh dengan sadis oleh MIT saat mereka sedang bekerja di kebun kakao dan kebun kopi yang berada di hutan dan pegunungan yang jauh dari perkampungan.

Pasca peristiwa yang menggemparkan itu, banyak warga tidak pergi kebun. Mereka sangat takut jika sewaktu-waktu menjadi korban dari kebringasan MIT.

“Kakao dan kopi saya waktu itu habis dimakan burung dan binatang di hutan karena tidak diurus. Takut sekali dulu kami ke kebun. Kendati waktu itu kami rela rugi dari pada ke kebun,” aku warga Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Marson Palada (40) ditemui terpisah.

Saat itu, untuk menyambung hidup, Marson dan kebanyakan warga lainnya terpaksa beraktivitas jauh dari hutan dan pegunungan dengan menjadi buruh perkebunan jagung dan menanam sayur-mayur.

“Waktu itu adalah sedikit penghasilan untuk makan sehari-hari. Tapi sangat jauh dari penghasilan kalau menjual kakao dan kopi,” ujar Marson.

Ekonomi berlahan membaik

Kepastian DPO kelompok MIT tumpas setelah satu DPO terakhir yakni Al Ikhwarisman alias Jaid alias Askar alias Pak Guru tewas ditembak pada Kamis (29/9/2022) malam di Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Dalam penyergapan itu, ditemukan dua bom lontong, pistol beserta beberapa amunisi aktif, dan pelbagai barang bukti lainnya.

Pria 34 tahun asal Bima, Nusa Tenggara Barat, yang dalam foto DPO digambarkan berambut gondrong dan berkaca mata itu merupakan orang terakhir dari kelompok MIT yang diburu Satuan Tugas Madago Raya gabungan Polri dan TNI.

Setelah dievakuasi dari tempat kejadian penembakan dan menjalani autopsi di rumah sakit Bhayangkara Polda Sulteng di Palu, jenazah Askar yang diketahui memiliki keahlian merakit bom itu kemudian dimakamkan pada Jumat (30/9/2022) di Tempat Pemakaman Umum Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Palu.

Kabar tewasnya Askar yang merupakan DPO terakhir itu pun tarsiar melalui media massa sampai membuat warga Lembah Lore Bersaudara khususnya warga Desa Kalimago senang.

Kesenangan warga dibuktikan dengan bangkitnya semangat mereka untuk berkebun.

“Kami mengucap syukur dan berterima kasih kepada Polri dan TNI karena sudah menyelesaikan kelompok MIT. Itu harapan sejak lama warga,” lanjut Marson.

Semua warga di Desa Kalimago ingin hidup aman dan nyaman dari gangguan kelompok MIT. Terlebih dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan berkebun.

“Sekarang ketakutan itu sudah benar-benar hilang. Dan karena sering kekebun, ekonomi kami sudah jauh lebih baik. Apa lagi hasil panen kakao dan kopi sejak awal tahun ini bagus,” jelas Marson.

Bapak tiga anak itu bercerita, jika penghasilan menjadi buruh di perkebunan jagung dan hasil menanam sayuran dulu hanya cukup makan sehari-hari, kini dari hasil panen perkebunan sendiri bisa memenuhi kebutuhan keluarga secara penuh.

“Bersyukur karena penghasilan sekarang selain untuk makan, biaya sekolah tiga anak, juga sudah ada untuk ditabung. Kalau dulu, tidak bisa seperti ini. Cukup untuk makan sehari-hari saja sudah sangat bersyukur,” imbuh Marson.

Senada dengan Marson, warga Desa Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Ratna Diana (34) menambahkan, bahwa dampak dari selesainya kelompok MIT juga dirasakan sejumlah petani sayuran di kaki perbukitan Desa Wuasa.

Menurutnya, semangat berkebun tinggi. Alhasil, panen hasil perkebunan warga pun melimpah.

“Ini kebun tomat saya sudah lima kali panen. Hasil panen melimpah harganya juga lagi bagus Rp5.000 per kilo gram,” kata Ratna ditemui terpisah.

Dengan tumpasnya MIT, sejumlah warga di Lembah Lore Bersaudara memang sudah bisa bernafas lega karena keseharian mereka tidak lagi dihantui ancaman yang bisa menghilangkan nyawa.

“Semoga keamanan dan kenyamanan kami sekarang ini bisa terus terjaga dari gangguan apa pun,” tandas Ratna. (Z-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat