visitaaponce.com

Menyelisik Data Ekonomi Makro

Menyelisik Data Ekonomi Makro
(Dok. Pribadi)

LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) di awal-awal tahun tentang inflasi menyisakan sedikit pertanyaan. Tingkat inflasi Indonesia pada 2021, misalnya, ‘hanya’ 1,87% secara tahunan, selapis tipis di atas inflasi 2020 yang ‘cuma’ 1,68%. Memasuki 2022, inflasi Januari secara bulanan 0,56%, sedangkan secara tahunan 2,18%.

Meski ada geliat, apakah angka inflasi di Indonesia sedemikian rendah? Pertanyaan itu muncul lantaran sangat kontras dengan kenyataan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan pokok selama dua tahun masa pagebluk, seperti telur ayam, cabai, bawang merah, hingga minyak goreng, seolah menggulung rendahnya data resmi inflasi yang dirilis BPS.

Polemik soal angka inflasi tidak berhenti sampai di situ. Besaran inflasi di Tanah Air juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang Asia lainnya yang rata-rata berada di kisaran 2,5%. Inflasi di Amerika Serikat bahkan memecahkan rekor, menembus ambang batas 7%.

 

 

Menyebar

Lembaga multilateral sekaliber IMF pun pernah mengungkapkan ‘keheranannya’. Dalam perekonomian dunia yang semakin terintegrasi, efek inflasi dari satu negara--apalagi inflasi di negara yang mendominasi perekonomian global--akan menyebar ke banyak negara yang menjadi mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Tensi pertanyaan kian tinggi tatkala data inflasi dikonfrontasikan dengan perkembangan jumlah uang beredar. Bank Indonesia (BI) mencatat, nominal uang dalam arti luas (M2) pada Desember 2021 sebesar Rp7.867,1 triliun atau tumbuh 13,9%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mekar 11%.

Peningkatan M2 didorong oleh jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), yang pada Desember 2021 terakselerasi Rp4.413,9 triliun atau lebih tinggi dari Rp4.146,3 triliun per November 2021. Dengan demikian, M1 tumbuh 17,9%. Kenaikan ini juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang melejit 14,7%.

Sudah menjadi kekhawatiran umum bahwa kenaikan jumlah uang beredar senantiasa akan memantik inflasi. Data yang disampaikan di atas sudah dengan sendirinya menggugurkan kerisauan khalayak ramai. Pertumbuhan likuiditas perekonomian sangat jauh di atas angka laju inflasi.

Kondisi ini mengingatkan kembali ke awal-awal masa pandemi. Ketika itu, beberapa pihak menyarankan BI untuk mencetak uang guna menanggulangi dampak covid-19 di Indonesia. Mumpung tingkat inflasi rendah, pencetakan uang tidak akan melambungkan inflasi, malahan membantu perbaikan ekonomi.

Namun, dugaan yang disebut terakhir agaknya meleset. Sebagian pertumbuhan jumlah uang beredar mengarah pada permintaan agregat, yang selanjutnya mendorong kenaikan produksi tampaknya kurang meyakinkan. Proyeksi optimistis pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 dari berbagai lembaga mengerucut ke posisi 3%.

Pokok persoalannya tentu saja bukan pada metodologi pendataan. Angka inflasi dihitung dari persentase kenaikan indeks harga konsumen. Indeks harga konsumen mendasarkan pada pantauan harga 835 komoditas dalam Survei Biaya Hidup (SBH) paling mutakhir yang dipakai BPS sejak 2018.

Demikian pula, data jumlah uang beredar yang menjadi ranah BI juga terjamin akurasinya. Semua bank sentral di dunia memiliki kesamaan standar dalam menghitung jumlah uang beredar. Oleh karenanya, data jumlah uang beredar, meski dalam mata uang yang berbeda, masih valid diperbandingkan lintas negara.

Argumen mana pun yang dipakai, angka inflasi tetap saja bisa dibilang terlalu rendah dan pertumbuhan jumlah uang beredar dipandang terlalu tinggi. Apalagi, keduanya seakan ‘berbicara’ sendiri-sendiri tanpa ada ‘dialog’ dalam satu jalinan cerita utuh yang terbingkai dengan data pertumbuham ekonomi.

Data inflasi dan likuiditas yang ‘bias’ semacam ini membawa implikasi yang tidak ringan, khususnya pada kebijakan yang diturunkan. Inflasi menentukan suku bunga. Suku bunga acuan BI akan naik jika ada tanda-tanda kenaikan inflasi yang permanen. Dalam kasus inflasi ‘bias’ ke bawah, kebijakan suku bunga BI bisa misleading.

Inflasi bertautan dengan kebijakan upah minimum provinsi (UMP). Kenaikan UMP yang mengacu pada angka inflasi yang terlalu rendah bisa menenggelamkan daya beli buruh. Rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sebenarnya sudah naik cukup tinggi akan memperlambat proses pemulihan ekonomi.

Pada gilirannya, data inflasi dan likuiditas terkait dengan pengukuran efektivitas kebijakan. Penambahan likuiditas lewat kebijakan pelonggaran kuantitatif BI maupun dari penerbitan masif surat berharga negara (SBN) mungkin malah bisa diklaim tidak berdampak signifikan pada denyut permintaan agregat.

Faktanya, golongan menengah-atas masih menunda konsumsi meski sejumlah insentif tambahan tersedia. Demikian pula kalangan dunia usaha, masih saja menahan ekspansi bisnisnya. Pertumbuhan kredit yang dihitung sebagai salah satu komponen perhitungan likuiditas sepanjang tahun lalu toh juga seret.

 

 

Sangat strategis

Tiga kasus di atas hendak menunjukkan bahwa inflasi, jumlah uang beredar, dan pertumbuhan ekonomi merupakan tiga variabel kunci yang sangat strategis. Dengan pentingnya ketiga data itu, otoritas terkait tidak perlu sungkan memberikan penjelasan tambahan. Klarifikasi data niscaya akan meredakan polemik.

Pengguna data juga harus menyadari kemungkinan ‘bias’ data demi meminimalisasi potensi risiko yang timbul dari penafsiran yang keliru. Pandemi covid-19 sangat fundamental, luar biasa (extraordinary), dan belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), yang sangat memukul sendi-sendi perekonomian. ‘Bias’ data atau bahkan ‘anomali’ bisa terjadi karena faktor environtment yang mengelilinginya. Perubahan environtment menghasilkan data yang tidak ‘lazim’, kendati kukuh menggunakan metodologi yang sama. Oleh karenanya, data yang tercatat di masa pandemi pun juga terkesan ‘luar biasa’.

Berbekal dari kemafhuman di atas, data ekonomi makro pada masa pandemi tampaknya perlu diberi ‘perlakuan’ khusus. Penyesuaian bisa ditempuh dengan memanfaatkan data mikro yang representatif sebagai pembandingnya, alih-alih menggunakan data makro yang ‘bias’ tadi apa adanya.

Jika representasi data di tataran mikro tidak tersedia, penyesuaian dengan data kualitatif perlu dilakukan. Hal itu ditujukan agar data tetap kompatibel dan komparabel dengan data sebelum pandemi. Dengan begitu, kebijakan yang diramu tetap efektif sesuai kondisi riil di lapangan. Data bisa ‘bias’, tetapi kebijakan tidak boleh bias.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat