visitaaponce.com

Luhut Pandjaitan, Big Data atau Banyak Cakap

Sungguh tidak enak menjadi rakyat kecil, kalau kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sialnya, adalah bila di atas tangga itu berdiri sosok rakyat elite.Itu memang cuma perumpamaan saja karena memang tak pernah terjadi dalam dunia nyata. Yang terjadi dalam dunia nyata adalah rakyat kini sedang tercekik karena harga-harga sembako mulai merangkak naik. Minyak goreng misalnya, ketika pemerintah tak lagi menetapkan harga eceran tertinggi, dan secara ajaib minyak goreng pun membanjiri pasaran, tapi dijual dengan harga yang bikin kepala pening. Pilihan yang sulit bagi rakyat, ingin membeli tak punya uang, tak membeli tidak masak.

Baiklah, soal minyak goreng biar jadi urusan Menteri Perdagangan M Lutfi yang sempat berjanji mau mengungkap mafia minyak goreng. Walau belum juga nongol siapa mafia yang kurang ajar bikin minyak goreng seperti hilang ditelan bumi.

Baca juga: DPR Cecar Perusahaan Produsen Minyak Goreng soal Kelangkaan di Pasar 

Kini rakyat disuguhi urusan politik yang tak kalah memusingkan kepala. Kali bukan datang dari pimpinan partai politik yang minta Pemilu 2024 ditunda, tapi justru datang dari Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca juga: Polisi Tolak Laporan Haris Azhar Soal Luhut, Alasannya Tidak Disampaikan

Kalau pimpinan parpol hanya berkoar soal penundaan pemilu dalam bentuk omongan tanpa data, tidak demikian dengan Pak Luhut. Beliau terang-terangan menyebut bahwa 110 juta warganet mendukung penundaan Pemilu 2024. Sungguh luar biasa angka yang muncul tersebut.

Kalau dalam bahasa Dewan Pengarah Dewan Redaksi Media Group Saur M Hutabarat, data itu luar biasa besar karena melampaui daftar pemilih tetap sebanyak 100.359.152 yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum pada 8 Desember 2020.

Baca juga: Big Data atau Big Mouth

Angka yang sedemikian besar tentu saja menimbulkan pertanyaan, apakah big data atau big mouth alias mulut besar. Big data itu dipersoalkan orang dari enam sudut pandang. Pertama, metodologinya. Bahkan ada pakar yang ilmu tentang survei sangat mumpuni sampai menantang kesahihan big data itu. Tapi gayung tak bersambut, entah kenapa.

Sudut pandang kedua,menyangkut kedudukan menteri yang ngomong. Kalau soal pemilu itu kan yang layak seharusnya kan Menko Polhukam Mahfud MD. Jangan-jangan nanti menteri-menteri yang lain ikutan latah ngomongin hal serupa. Alasannya sederhana saja, mosok cuma Pak Luhut saja yang boleh omong, saya kan juga mau ngomongin Pemilu 2024.

Sudut pandang ketiga, pertanyaan apakah ada alasan menyuruh Joko Widodo turun dari kursi kepresidenan. Masalahnya, siapa yang menyuruh turun? Bukankah memang masa jabatan Jokowi selesai pada 2024? Kalau menyuruh turun itu kan kalau enggak sampai 2024. Bahkan ada yang tegas mengutip konstitusi bahwa pemilu itu diselenggarakan setiap lima tahun. Bukan setiap tujuh atau delapan tahun sekali.

Sudut pandang keempat, pemilu memakan biaya besar padahal kita lagi berperang dengan pandemi. Bukankah pemilu sudah dianggarkan sejak lama dan sudah disetujui lembaga-lembaga terkait. Terus masalahnya di mana? Apakah karena hal itu jadi alasan pemilu ditunda?

Kalau membandingkan dengan biaya Ibu Kota Nusantara, juga sangat besar anggarannya. Mengapa pula mengutak-atik soal biaya pemilu. Secara hukum, kuat mana sih antara program presiden dengan perintah konstitusi?

Sudut pandang kelima, freedom of speech, kebebasan berbicara karena ini era demokrasi. Jadi boleh saja omong penundaan pemilu. Berarti, jangan kemudian ada yang marah atau tersinggung ketika ada pihak yang tidak mendukung pemilu ditunda. Begitu juga kalau ada yang tak setuju tunda saja pembangunan IKN demi pemulihan ekonomi?

Sudut pandang keenam, IKN adalah warisan jokowi. Apalagi para gubernur sudah diperintahkan membawa tanah dan air dari daerah masing-masing untuk disatukan sebagai simbol persatuan bangsa. Lalu, apakah dalam upaya memastikan keberlanjutan IKN, Jokowi ingin melanjutkan kursi kekuasaan tapi meminjam omongan orang lain? Saya meyakini kalau Jokowi tidak ingin melanjutkan sebagai presiden. Dua periode sudah cukup sesuai konstitusi yang masih berlaku.

Kalau mengutip pernyataan Jokowi sebelumnya  terkait dorongan perpanjangan masa kekuasaan, satu, ingin menampar mukanya, kedua, mencari muka, dan ketiga, ingin menjerumuskan. Sungguh luar biasa penegasan mantan Wali Kota Solo ini untuk menolak gagasan menunda pemilu. Bahkan itu masih ditambah bahwa beliau patuh pada konstitusi.

Gaya Orde Baru

Yang pasti, melalui big data yang diungkapkan Pak Luhut, apalagi terkait perpanjangan masa jabatan presiden, ada yang mengatakan hal itu merepresentasikan gaya Orde Baru. Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, menegaskan hal tersebut. Uniknya, Ahmad menyoroti sikap-sikap politik Luhut ini seolah didiamkan presiden jokowi.

Adapun Ketua DPR Puan Maharani terang-terangan melakukan perlawanan terhadap omongan Luhut. Bahkan, Puan juga mengklaim punya data sendiri yang tidak sama dengan punya Luhut.

Memang posisi Luhut dalam kabinet sungguh luar biasa. Ada banyak peran sentralnya di sana. Sehingga banyak pihak menyebutnya sebagai menteri segala urusan. Seperti diungkapkan politikus Gerindra Ferry Juliantono pada 5 September 2018 yang menyoroti peran Luhut sering di luar tugas pokok dan fungsi.

Kembali ke soal big data, ada tantangan untuk membuka data itu seperti dua sisi mata pedang. Bila dibuka, bisa mendatangkan tuntutan pidana karena sembarangan saja membuka data pribadi orang lain. Tapi bila big data tidak dibuka, sama artinya membenarkan bahwa itu bukan big data tapi cuma big mouth atau banyak cakap.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat