visitaaponce.com

Menggagas Administrasi Negara Nusantara

Menggagas Administrasi Negara Nusantara
(Dok. Pribadi)

DI dalam praktik kenegaraan RI, kini muncul berbagai evidence yang amat luas spektrumnya menurut ukuran-ukuran akademis. Dari adanya keruwetan pengambilan keputusan sampai adanya masalah-masalah baru akibat sebuah keputusan dalam praktik kenegaraan itu. Yang menarik ialah perilaku pengambilan keputusan yang diperlihatkan para pengambil keputusan di negeri ini. Administrasi negara Indonesia ternyata memiliki keragaman perilaku dari sangat rasional sampai sangat tidak rasional terjadi. Pun, Ketika praktik mengelola keputusan sampai terwujud menjadi sebuah tata kelola negara bangsa.

Tata kelola negara bangsa menjadi semakin ruwet, didorong adanya simpang-siur perilaku proses pengambilan keputusan yang dipertontonkan di hadapan publik Indonesia. Jika tidak diakomodasi dalam kelembagaan yang betul-betul berkarakter sebagai Indigenous Indonesia, akan semakin porak-poranda. Hal ini perlu dirumuskan dengan baik oleh bangsa Indonesia. Tulisan ini mencoba merumuskan dalam disiplin administrasi negara, yang banyak berkaitan dengan tata kelola negara bangsa sebagai administrasi negara Nusantara.

 

Momentum Nusantara

Istilah Nusantara sebagai karakter bangsa Indonesia menjadi sangat booming belakangan ini setelah diangkat oleh kelompok Nahdliyin terkait dengan Islam Nusantara. Diperkuat lagi, dengan nama Ibu Kota Nusantara untuk ibu kota baru bangsa Indonesia. Diperlihatkan kembali, semakin kuat ketika prosesi pindah ibu kota dipimpin Kepala Negara langsung melalui pengumpulan sejumlah tanah dan air, dari 34 provinsi di Indonesia disatukan dalam kendi yang namanya Nusantara.

Fenomena yang memperlihatkan berbagai perilaku pengambilan keputusan berbasis budaya lokal, sejak RI merdeka sampai detik ini tidak hilang. Bahkan, tumbuh terus baik di era modern maupun di era post-modern ini. Secara total, tata kelola negara bangsa RI sangat kental diwarnai nilai-nilai publik Indonesia, di berbagai jengkal mana pun. Masih terekam, perilaku masyarakat Gunung Merapi yang amat memperhatikan keberadaan tokoh Mbah Marijan, meski akhirnya menjadi korban letusan Gunung Merapi sendiri. Belakangan, kita menyaksikan pawang hujan di Sirkuit Mandalika.

Fenomena semacam di atas, yang berbasis nilai-nilai lokal bangsa Indonesia amat banyak. Singkatnya, semua basis perilaku pengambilan keputusan bangsa Indonesia ialah khas Indonesia. Hal itu dibungkus nilai-nilai bangsa yang terpatri dalam sila-sila Pancasila, yang tepat dengan sebutan nilai-nilai khas Nusantara.

Kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti tidak melunturkan nilai-nilai itu. Bahkan hal ini menjadi fenomena global bahwa nilai-nilai bangsa di mana pun tempat mewarnai perilaku tata kelola tempat masing-masing. Di Jepang, dengan tradisi kepercayaan Sinto dan bercampur dengan basis berbagai macam nilai lokal yang tumbuh menjadi acuan. Di Tiongkok, adanya konfusianisme, dll. Boleh jadi, kekuatan nilai-nilai publik ini menjadi daya unggul bangsa-bangsa. Dengan kata lain, bangsa yang ingin unggul harus memiliki nilai-nilai publik yang unggul.

Kekuatan itu tertuang dalam instrumen kerja sama bangsa-bangsa itu. Instrumen kerja sama antaranak bangsa inilah yang dikenal sebagai administrasi publik (negara). Administrasi negara Indonesia ialah administrasi dalam setting institusi publik (pemerintahan), bagi negara bangsa Indonesia. Maka, nilai-nilai publik Indonesia tentu mewarnai administrasi negara Indonesia.

 

Keragaman nilai-nilai

Nilai-nilai publik seluruh bangsa di dunia sejatinya yang tertua adalah nilai-nilai ketuhanan (Maksum: 2021). Semua keyakinan bangsa di dunia mengakui manusia pertama di muka Bumi ialah Adam dan Hawa. Mereka turun membawa nilai-nilai ketuhanan diperintahkan untuk hidup bekerja sama di muka bumi, karena perintah Tuhan. Mustahil kerja sama yang diciptakan di antara mereka berbasis nilai-nilai lainnya.

Manusia di beri akal sehat (rasionalitas), didorong oleh nilai-nilai ketuhanan pula sejak zaman Adam dan Hawa. Seiring berjalannya waktu, kekuatan rasionalitas manusia menjadi andalan, dan bahkan melahirkan banyak pemikir (filsuf). Filsuf-filsuf terkenal dari berbagai belahan dunia-pun tercatat dengan baik dalam lintasan sejarah. Mereka menganjurkan digunakannya kekuatan akal.

Sampai pada masa tertentu, nilai-nilai ketuhanan menyatu dengan-nilai rasionalitas karena digunakannya akal juga ialah perintah Tuhan, termasuk dalam tata kelola kehidupan bersama. Nilai-nilai ketuhanan dan rasionalitas sama-sama tidak menghendaki sinkretisme, hal-hal gaib berbau magic (sihir). Namun, seiring perjalanan waktu berubah, nilai-nilai ketuhanan dianggap bertentangan dengan sifat positivistik, berbasis keyakinan bukan kepada science. Dalam praktik administrasi, yang kemudian dipelajari dan dikembangkan lebih kuat oleh disiplin administrasi negara, sampai tampak jelas pada masa munculnya paradigma yang diusung Fred W Riggs, dkknya, dalam administrasi pembangunan yang berbasis nilai-nilai modern.

Pada zaman modern inilah tampak mulai terjadi dikotomi nilai ketuhanan dengan rasionalitas-modernitas yang dibungkus modernism. Mulailah sekularitas sangat terasa dan memengaruhi lebih luas dalam berbagai kelompok masyarakat bangsa, terutama di Eropa sehingga disebut sebagai western paradigm. Dalam praktik administrasi negara-pun diakui adanya western public administration, yang akhirnya dibedakan dengan non-wester public administration (Drechsler: 2015) yang masih kental dengan nilai-nilai ketuhanan.

Di belahan masyarakat yang nantinya disebut non-western, tradisi nilai-nilai berbasis ketuhanan, yang sudah sejak awal berkembang tidak mengalami degradasi sampai memasuki era post-modern, meskipun dikenalkan praktik yang akhirnya dikenal sebagai western public administration secara luas dan massif. Di RI terjadi pembauran, antara western dan non-western berbasis nilai publik lokal.

Diakui the founding fathers, bahwa RI didirikan di atas asas modernitas dan nilai-nilai Ketuhanan, yang akhirnya terkristalisasi dalam Pancasila. Di era post-modern, semua variasi keraneka-ragaman didorong berkembang tidak saling hegemoni dan dominasi antarnilai nilai itu. Sampai hari ini, terus terjaga praktik berbasis Pancasila dalam tata kelola negara RI. Pancasila menjadi acuan praktik administrasi negara RI. Pancasila ialah basis administrasi negara Indonesia khas Nusantara.

Administrasi negara Nusantara secara sosiologi ialah administrasi bagi masyarakat Nusantara, berbasis politik Nusantara. Tentu, juga termasuk politik dalam hubungan internasional, yang juga berbasis kepentingan Nusantara, memiliki fondasi hukum Nusantara, secara antropologis berbudaya Nusantara, dan nantinya berfungsi menata ekonomi Nusantara dalam naungan sistem pertahanan-keamanan Nusantara. Juga, dikendalikan sistem pemerintahan berbasis gaya Nusantara, dengan pemimpin yang kukuh bertipikal Nusantara, memiliki kemampuan menggerakkan proses transformasi, dan pembangunan segala aspek kehidupan masyarakat, kepada kemajuan peradaban. Termasuk, dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbasis kepentingan nilai-nilai Nusantara.

Mengukuhkan nilai-nilai Pancasila sebagai basis administrasi negara Nusantara, diharapkan kelak mampu menguatkan gerak tata kelola negara bangsa untuk unggul di mata dunia. RI harus mampu menjadi pusat peradaban dunia, dengan basis Pancasila dikelola administrasi negara Nusantara. Semoga.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat