visitaaponce.com

Menuju Fitrah Diri dan Memfi trahkan j kembali NKRI

Menuju Fitrah Diri dan Memfi trahkan j kembali NKRI
Moh Mahfud MD Menko Polhukam(MI/RAMDANI)

MARILAH kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang dengan kemahabesaran-Nya memberikan kesempatan kepada kita memasuki Hari Raya Idul Fitri setelah sebulan berpuasa.

Mari serukan dengan lisan dan hunjamkan di lubuk kesadaran terdalam kalbu kita kemahabesaran Allah (takbir), kemahaesaan Allah (tahlil), kemahaterpujian Allah (tahmid), dan kemahasucian Allah (tasbih).

Seruan lisan dan hunjaman kesadaran kalbu karena kita berada di arena penyucian diri, yakni Hari Raya Idul Fitri yang secara harfiah bisa berarti ‘kembali suci’.

Izinkan saya mengajak kita kembali suci atau ber-Idul Fitri dari dua aspek. Pertama, ber-Idul Fitri sebagai pribadi yang sejak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua, ber-Idul Fitri sebagai bangsa yang mendirikan negara merdeka, yakni dengan mengembalikan pijakan dan arah Indonesia ke asal sejarah pendiriannya.

Sebagaimana ayat Al-Qur’an surah Al-A’raf (172), sebelum dilahirkan ketika ditanya Allah, “Bukankah Saya ini Tuhanmu?” Manusia menjawab, balaa syahidnaa, “Kami bersaksi Engkau adalah Tuhan kami.” Selanjutnya, sesuai dengan hadis Nabi, setiap manusia dilahirkan suci (kullu mauluudin yuuladu ‘alal fithrah) serta selanjutnya ditentukan bimbingan orangtua dan perjalanan hidup masing-masing. Dalam hidup setiap manusia dapat melakukan perbuatan baik atau amal saleh yang berpahala dan dapat pula melakukan perbuatan munkar (tercela).

Semua perbuatan tercela masa lalu yang berdosa itu, menurut hadis Nabi, bisa diampuni dan kita kembali bersih dalam menapaki Idul Fitri yang berarti suci kembali dari dosa-dosa setelah berpuasa Ramadan. “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan kesungguhan, diampuni segala dosanya yang telah lalu.”

Dengan demikian, kita kembali menjadi suci atau ber-Idul Fitri. Namun, harus diingat juga bahwa kita harus menuntaskan kesucian diri dengan saling meminta dan memberi maaf sebab jika dipahami dari hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, dengan berpuasa Ramadan semua dosa diampuni kecuali dosa kepada manusia yang tidak bisa hapus sebelum dibersihkan melalui permintaan maaf kapada manusia yang kita langgar haknya.

Manusia atau kita yang ibadahnya bagus akan menjadi muflis atau bangkrut di akhirat karena dosa-dosa terhadap orang lain akan dikurangkan terhadap pahala yang kita miliki kecuali dibersihkan dengan meminta maaf dan menyambung silaturahim.

Dalam ajaran primer Islam, meminta maaf itu harus segera begitu kita berbuat zalim atau bersalah kepada orang lain, tidak perlu menunggu Hari Raya Idul Fitri. Di Saudi Arabia dan negara Islam lain tidak ada kegiatan khusus yang membudaya untuk saling memaafkan, begitu seseorang bersalah maka harus langsung meminta maaf. Namun di Indonesia, selain secara personal kita bisa dan biasa segera melakukan pemintaan maaf saat bersalah, kita juga mempunyai tradisi saling meminta maaf dan bersilaturahim menyusul Hari Raya Idul Fitri untuk membersihkan dosa, yakni tradisi Lebaran, halalbihalal, dan Syawalan.

Jangan katakan budaya dan tradisi Lebaran, halalbihalal, dan Syawalan itu haram atau bid’ah hanya karena tidak ada di Al-Qur'an dan sunah Nabi. Tradisi Lebaran, halalbihalal, dan Syawalan mengandung nilai ibadah karena dicantelkan pada perintah Allah dan Rasul untuk saling memaafkan dan bersilaturahim. Tradisi mudik, Lebaran, halalbihalal, dan ber-Syawalan ialah pelaksanaan ajaran Islam ke dalam (implementasi) budaya lokal Indonesia.

Di dalam fikih Islam diajarkan adat dan budaya (Urf) bisa menjadi sumber hukum. Artinya, budaya yang baik berpahala dan budaya yang buruk berdosa jika dilakukan. Al’aadah muhakkamah, adat istiadat itu bisa dijadikan hukum. Oleh sebab itu, mari kita lakukan tradisi Lebaran, halalbihalal, dan Syawalan dengan dasar ibadah, silaturahim, dan saling memaafkan.

Apa yang saya sampaikan di atas ialah Idul Fitri yang lebih terkait dengan konteks penyucian diri manusia. Sebenarnya, Idul Fitri atau kembali ke kesucian itu bisa pula dikaitkan dengan kehidupan kita berbangsa dan bernegara, yakni berindonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai asal kejadian yang dalam perjalanannya mengalami noda-noda sehingga perlu diidulfitrikan atau disucikan kembali dari noda-noda yang mengotori agar kembali ke tujuan asal pendiriannya.

Asal kejadian Indonesia ialah tekad membangun negara merdeka melalui kebersamaan, kebersatuan, toleransi, keadilan, dan sebagainya untuk mengangkat harkat martabat manusia atau kemanusiaan bagi rakyat Indonesia.

Islam adalah agama kemanusiaan tanpa sekat primordial yang juga mendasari kelahiran NKRI. Namun, seperti perjalanan manusia, sepanjang sejarah Indonesia ada saja noda-noda bagi mosaik keindonesiaan. Indonesia ini didirikan sebagai janji atau kesepakatan suci (mietsaqon ghaliedzo) dengan Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa’). Sekarang mulai terasa ada noda-noda atas asal keluhuran didirikannya Indonesia seperti munculnya sikap-sikap intoleran, menguatnya politik identitas primordial, ketidakadilan, dan korupsi yang semuanya mengancam eksistensi NKRI.

Oleh sebab itu, marilah kita Idul Fitri-kan Indonesia dengan menguatkan kesadaran dan komitmen bahwa Indonesia ini dibangun dengan dasar persaudaraan, kebersamaan, dan kebersatuan antarseluruh anak bangsa dengan perbedaan primordial seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Kita harus mengidulfitrikan Indonesia dengan membangun keadilan sosial dan tegaknya hukum. Kita harus mengidulfitrikan Indonesia dengan memberantas korupsi dan kesewenang-wenangan serta sikap intoleran dan ekstremisme yang berbasis kekerasan. Kita harus Idul Fitri-kan Indonesia ini dengan memberi roh kemanusiaan dalam penyelenggaraannya sesuai ajaran Islam tentang maksud syara’ (al maqashid al syar’i) atau tujuan syara’  dalam membangun negara, yakni menjaga lima hal: menjaga kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama bagi warga negara (hifdzh al dien), menjaga keselamatan jiwa manusia (hifdz al nafs), menjaga hak dan kepemilikan atas harta (hifdz al maal), menjaga kejernihan akal (hifdz al aql), dan menjaga kesucian keturunan (hifdz al nasab).

Berdasarkan seluruh dalil tersebut dalam kehidupan bernegara umat Islam Indonesia harus memilih posisi wasathiyyah, yakni posisi tengah, adil, seimbang, toleran, dan bekerja sama seperti difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (143): “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatanmu.”

Akhirnya, sebagai khatib, saya mengajak kita beridulfitri sebagai manusia pribadi sesuai asal kejadian masing-masing. Sekaligus mengidulfitrikan Indonesia sesuai asal pendirian dengan segala tujuannya sesuai ajaran Islam.

Dalam konteks keduanya, yakni konteks Idul Fitri manusia dan Idul Fitri negara, hendaknya kaum muslimin menempatkan diri dalam kerangka wasathiyyah Islam atau moderasi beragama untuk membangun masa depan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat