visitaaponce.com

Dokter Masa Kini Altruisme atau Profesionalisme

Dokter Masa Kini: Altruisme atau Profesionalisme?
Ilustrasi MI(MI/Seno)

ESENSI dokter sebenarnya tidak ada yang berubah dari dulu. Tetap sama. Sejak zaman Hipocrates hingga kini, dokter bertugas merawat dan melayani orang sakit. Nilai etik yang dipegang juga relatif sama. Semua dokter tunduk pada standar etika profesi. Saat melakukan pekerjaannya, mereka memegang teguh prinsip-prinsip etik: tidak membahayakan pasien (nonmaleficence), memberi kebaikan pasien (beneficence), menghormati hak pasien (autonomy), dan bersikap adil (justice).

Lain esensi, lain pula nilai intrinsik. Sejalan dengan perubahan era, nilai intrinsik yang diharapkan masyarakat terhadap dokter tampaknya akan berubah. Dulu, dokter selalu dituntut bersifat altruisme. Altruisme merujuk kepada sifat yang selalu mendedikasikan kehidupan untuk orang lain, bahkan bisa mengorbankan kebutuhan diri sendiri (self-sacrifice). Bisa juga berarti sifat mulia untuk melayani dan memberi secara totalitas tanpa mengharap berlebih (go extra miles without expecting rewards).

Sedemikian kukuh tuntutan altruisme, menyebabkan masyarakat sering memilah kriteria dokter baik atau tidak hanya berdasarkan nilai ini. Dokter yang baik ialah dokter yang setia melayani pasien meski telah lewat jam kerja, mendatangani rumah pasien bila diminta, serta menerima berapa saja pembayaran atau bahkan menggratiskan pasien.

Makanya tidak mengherankan, dokter yang bekerja di pedalaman dan menarik tarif Rp1.000 per pasien amat dipuja-puja. Sebaliknya, masyarakat menilai negatif, bahkan menghujat dokter yang mengambil bayaran ‘banyak’, melakukan praktik di banyak tempat atau melakukan bisnis lain di luar profesi kedokteran. Masyarakat belum bisa menerima dokter terkesan komersial, termasuk mematok biaya tinggi untuk konsultasi dan tindakan. Mereka menuntut dokter bersikap altruisme: mudah didapat, mudah dimintai bantuan, dan ringan pembayarannya.

 

Perjalanan berliku

Perjalanan menjadi dokter merupakan kisah panjang dan berliku. Untuk menjadi dokter umum, seorang perlu bergulat dengan pendidikan dokter yang rigid dan serius selama 5-7 tahun. Periode ini 1,5 kali lipat lebih panjang jika dibandingkan dengan periode strata satu lain. Setelah menjadi dokter, mereka perlu mengikuti ujian kompetensi dan menjalani internship selama 1 tahun. Setelah itu, mereka baru bisa mendapat registrasi dan dibolehkan praktik independen. Praktis diperlukan waktu 6-8 tahun untuk menjadi dokter yang bisa praktik mandiri.

Persoalannya, selama periode pendidikan tersebut, dibutuhkan sokongan finansial yang tidak kecil. Setiap fase dari periode panjang tersebut membutuhkan cuan: no free lunch. Mungkin ada yang tidak percaya bahwa selain harus menjalani seleksi yang amat ketat dan melelahkan, untuk masuk fakultas kedokteran sejumlah institusi mengharuskan pembayaran antara Rp300 juta hingga Rp1 miliar. Ini baru uang masuk, belum termasuk biaya semester, biaya pendidikan, dan biaya hidup. Syukur-syukur kalau pendidikannya selesai 5 tahun. Bila molor, biayanya bisa jadi dobel atau multiple.

Untuk menjadi dokter spesialis, perjalanannya lebih runyam lagi. Seleksinya amat ketat. Lulusan dokter yang tertampung pendidikan spesialis hanya berkisar 10%-30%. Sisanya berhenti sebagai dokter umum atau berkiprah di bidang lain. Untuk menjadi spesialis, bukan saja dokter harus ber-IP tinggi, melainkan juga punya modal dan sering kali perlu bekingan kuat. Modalnya harus gede, bila tidak, bakal runyam. Makanya saat mendaftar, calon peserta kadang ditanya jumlah tabungan yang ada. Ada pendidikan spesialis yang uang masuknya saja sampai ratusan juta rupiah. Ini di luar biaya pendidikan lain dan biaya hidup.

Lama pendidikan spesialis sekitar 3-7 tahun. Selama periode pendidikan ini mereka bekerja di rumah sakit full-time tanpa insentif signifikan dari institusi pendidikan atau rumah sakit. Lantas dari mana suplai finansial mereka? Ya dari bantuan orangtua, tabungan, menjual sawah, atau ngutang. Menjadi dokter memang merupakan perjalanan berat, berliku, dan mengharukan. Kalau mendengar ceritanya-ceritanya, dada kadang terasa sesak.

Lantas apa outcome pendidikan yang lama dan berliku? Lulusan dokter umum, hingga saat ini gradasinya disejajarkan dengan strata satu meski pencapaian SKS mereka jauh lebih banyak. Karena gradasinya dilevelkan demikian, reward terhadap mereka pun minim. Bahkan, boleh disebut miris. Baru-baru ini ada iklan lowongan dokter yang menawarkan gaji Rp3 juta per bulan untuk dokter. Survei IDI terhadap ratusan dokter menemukan 26% dokter umum mendapat gaji di bawah Rp3 juta per bulan, dan hanya 10% yang dapat di atas Rp10,5 juta.

Data IDI juga menunjukkan, 95% dokter umum tidak mendapat upah sesuai rekomendasi IDI, yaitu Rp12,5 juta per bulan. Come on… dunia ini rasional enggak sih? Nilai nominal ini bukan hanya di bawah UMR, melainkan juga sangat tidak masuk akal. Nilai ini mencerminkan pelecehan intelektual dan profesionalisme. Seorang tukang lap kaca mobil di persimpangan sebuah jalan di Makassar bercerita penghasilannya sebesar Rp100 ribu-Rp150 ribu per hari. Artinya, per bulan ia dapat lebih banyak dari dokter. Miris banget. Karena kondisi ini, banyak dokter umum terpaksa berbisnis sambilan. Ada yang menjadi pengacara, konsultan bisnis, makelar kendaraan, bisnis makanan, hingga multi-level marketing. Ada yang banting setir ke profesi lain.

Bagaimana dengan spesialis? Taraf pendapatan spesialis lebih baik dari dokter umum, meski terdapat perbedaan antara spesialis satu dan lain. Spesialis bidang klinik dan mayor umumnya berpenghasilan lebih besar daripada spesialis non-klinik dan minor. Sebagai gambaran, ada spesialis penyakit dalam dan spesialis bedah yang gajinya dibanderol Rp20 juta-Rp30 juta per bulan. Namun, ada spesialis yang bisa mendapat Rp80 juta-Rp150 juta per bulan.

Namun, nilai ini tidak bisa digeneralisasi sebagai pendapatan dokter secara umum. Alasannya, jumlah dokter umum 3,3 kali lipat lebih banyak jika dibandingkan dengan dokter spesialis. Penghasilan ini pun diraup bukan dengan duduk tenang-tenang saja. Mereka bekerja keras dengan tanggung jawab yang tidak ringan. Ada ahli radiologi yang mesti membaca ratusan foto rontgen setiap hari, ada pula ahli bedah dan penyakit dalam yang harus menempuh jarak puluhan kilometer setiap hari untuk menemui pasiennya.

 

Profesionalisme bukan altruisme

Mempertimbangkan perjalanan panjang, serta beban dan tanggung jawab berat profesi ini, mestinya ada penghargaan proporsional terhadap mereka. Mesti ada upaya sistematis dan berkesinambungan untuk mengangkat tingkat kesejahteraan profesi dokter, terutama dokter umum.

Pertama, tuntutan bahwa seorang dokter harus bersifat altruisme mesti pelan-pelan ditanggalkan. Seorang dokter mesti dibiarkan menggunakan prinsip profesionalisme dalam pekerjaannya dan tidak lagi dituntut selalu bersikap altruisme.

Dunia saat ini memasuki era semua pekerjaan dituntut dilakoni secara profesional. Profesionalisme identik dengan kualitas kuat (powerful quality). Profesionalisme, artinya melakonkan peran terbaik sesuai kapabilitas, yang ujung-ujungnya melahirkan perasaan puas dan bahagia (sense of satisfaction and self-worth). Perasaan puas dan bahagia mencakup aspek material dan spiritual. Artinya, ada paralelitas antara tingkat jasa yang diberikan dengan reward yang diterima. Bila dokter melakukan tindakan yang spesialistis dan berisiko, ia berhak untuk mendapat reward, atau bayaran yang sesuai tindakannya. Jangan tindakan kelas langit, tetapi bayaran kelas bumi. Itu insane dan tidak profesional.

Selain itu, profesionalisme merujuk kepada upaya mencapai standar tertinggi dalam perilaku dan pekerjaan. Untuk mencapainya perlu elemen-elemen kompetensi, kebaruan pengetahuan dan keterampilan, conscientiousness, integritas, respect, kematangan inteligen, appropriateness, dan confidence.

Elemen-elemen ini hanya bisa dicapai dan dipertahankan bila dokter memiliki resources yang memadai, terutama aspek finansial. Tanpa kecukupan finansial, dokter akan sulit mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, rentan mempertahankan integritas profesionalnya, serta sulit menjaga keseimbangan inteligen dan confidence. Kasarnya, tanpa kecukupan finansial seorang dokter sulit menjaga dan mengembangkan profesionalitasnya.

Makanya, dokter selayaknya memiliki penghasilan yang cukup. Dengan ini, mereka dapat hidup layak, tenang menjalankan pekerjaannya, aktif meningkatkan pengetahuannya, dan mampu meredam conflict of interest dalam pekerjaannya. Bila dokter terus diharapkan bersikap altruisme, sulit baginya mempertahankan keseimbangan profesionalismenya. Seorang dokter tidak akan bisa maksimal melayani pasien bila ia memiliki kendala kecukupan dalam dirinya (self-sufficient problem). Altruisme tidak tegak lurus dengan profesionalisme. Untuk menggapai profesionalisme, insting altruisme perlu perlahan-lahan ditanggalkan.

Kedua, pemerintah perlu menempatkan kesejahteraan dokter sebagai sebuah isu krusial dan menyelisik jalan keluar. Sebagian besar persoalan profesi dokter terkait dengan issu kesejahteraan. Tidak meratanya distribusi dokter di Indonesia, berkorelasi langsung dengan keinginan dokter berpraktik di perkotaan dan memperoleh penghasilan lebih baik. Tidak ada yang salah, toh mereka sekolah dengan modal mereka sendiri. Untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, pemerintah perlu melakukan terobosan, salah satunya, menerapkan UMR khusus bagi dokter.

Nilai UMR yang berlaku saat ini kurang relevan untuk disematkan ke dokter. Bagaimana bisa, nilai UMR umum digunakan sebagai standar pembayaran bagi sebuah profesi yang memiliki tingkat expertise dan skill yang tinggi? Nilai Rp12,5 juta per bulan sebagaimana usulan IDI dapat ditetapkan sebagai UMR dokter umum. Selayaknya pemerintah menetapkan nilai ini sebagai standar UMR dokter, dan menjamin bahwa tidak ada dokter yang dibayar lebih rendah dari nilai ini.

Kedua, pemerintah perlu mengupayakan peningkatan akses dan kuota program spesialis. Semakin banyak kuota akan semakin baik, bukan hanya bagi kesejahteraan dokter, melainkan juga kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini pemerintah mengeluh kekurangan dokter dan distribusinya tidak merata. Jawabannya ialah peningkatan dan pemerataan kuota pendidikan spesialis. Salah satu alasan dokter diaspora melanjutkan pendidikan di luar negeri ialah mereka kesulitan mendapat tempat pendidikan di Indonesia. Selain kuota, perlu ada kemudahan pendidikan termasuk pemberian gaji atau insentif bagi yang menjalani pendidikan spesialis. Di negara-negara lain, dokter yang menjalani pendidikan spesialis tidak membayar pendidikannya, tetapi justru mendapat gaji. Nominalnya pun besar, cukup untuk membiayai hidup dan bekerja secara tenang.

Pada saat lampau, tuntutan masyarakat agar dokter selalu bersifat altruisme masih dapat diterima. Namun, saat ini tuntutan tersebut perlu ditanggalkan atau setidaknya dilonggarkan. Dokter harus dituntut untuk profesional dan bukan altruisme. Profesionalisme tidak tegak lurus dengan altruisme. Altruisme konstan dan berlebihan justru menjadi fenomena patologis yang bisa mengancam kesejahteraan dokter sekaligus kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat