visitaaponce.com

Pengungsi Asing, HAM, dan Peran Indonesia

Pengungsi Asing, HAM, dan Peran Indonesia
(Dok. Pribadi)

KONFLIK yang belum usai di beberapa kawasan di dunia, seperti konflik Ukraina dan Rusia, Afghanistan, Suriah, hingga yang paling dekat dari Indonesia, Rohingya di Myanmar, menyebabkan dampak panjang kemanusiaan. Konflik-konflik tersebut menyebabkan warga yang terdampak mengungsi ke negara-negara lain yang dianggap lebih baik.

Para pengungsi itu dengan berbagai macam cara yang dilakukan pergi bermigrasi karena terpaksa untuk mencapai negara tujuan walau nyawa ialah taruhan.

Mereka melakukan migrasi atau perpindahan penduduk dari suatu lokasi ke lokasi lain guna melanjutkan kehidupan atau menetap. Bersifat sementara ataupun permanen karena satu dan lain hal.

Migrasi itu dilakukan dengan tujuan meningkatkan taraf kehidupan jika dibandingkan dengan negara sebelumnya. Ataupun terpaksa pindah untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari negara asal karena negara tersebut tidak aman untuk mereka tinggali seperti adanya konflik pada negara tersebut. Orang-orang yang terpaksa pindah untuk menyelamatkan diri itu bisa disebut sebagai pengungsi.

Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan dan diatur badan pengungsi PBB (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Selain itu, lembaga tersebut juga memiliki mandat untuk menangani isu pengungsi, dalam hal untuk melakukan penanganan, perlindungan, pemenuhan hak, serta penetapan di seluruh dunia.

UNHCR mengatakan situasi dan kondisi saat ini sudah mencapai 'titik genting' dengan lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia terpaksa meninggalkan rumah mereka karena persekusi, perang, dan pelanggaran HAM.

UNHCR, dalam laporan tahunannya, mengatakan terjadi peningkatan jutaan orang yang harus meninggalkan rumah mereka karena invasi Rusia ke Ukraina serta konflik di negeri seperti Myanmar dan Afghanistan.

Laporan Tren Global 2021 UNHCR yang dirilis pada 17 Juni lalu melaporkan, pada akhir 2021, mereka yang terpaksa melakukan pelarian dari perang, kekerasan, penganiayaan, dan pelanggaran HAM mencapai 89,3 juta orang, meningkat 8% dari tahun sebelumnya dan meningkat lebih dari dua kali lipat jumlahnya ketimbang satu dasawarsa yang lalu.

Sementara itu, jumlah pengungsi di akhir 2021 meningkat menjadi 27,1 juta orang dari sebelumnya 26,4 juta pada 2020. Bila diakumulasi, jumlah total pengungsi dunia hampir setara dengan 1% dari jumlah penduduk dunia. Bila semua orang itu berada di satu negara, bisa jadi mereka berada di negara dengan penduduk ke-14 terbanyak di dunia.

Di akhir 2021, ada 89,3 juta orang yang meninggalkan rumah mereka di seluruh dunia. Mereka termasuk pengungsi, pencari suaka, dan mereka yang meninggalkan rumah sendiri, tapi masih berada di dalam negeri. Selama 2021, hampir 1,4 juta orang dilaporkan menjadi warga baru yang mengungsi dari rumah mereka di kawasan Asia dan Pasifik serta hampir semuanya berasal dari Afghanistan dan Myanmar.

Saat ini, negara-negara berkembang yang paling banyak menampung mereka yang mengungsi. Pakistan saat ini menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, terutama dari Afghanistan. Bangladesh menampung 918.900 pengungsi, sebagian besar ialah pengungsi Rohingya yang melarikan diri karena persekusi di Myanmar.

Indonesia saat ini menampung lebih dari 13.100 pengungsi dari sekitar 50 negara asal. Mereka tinggal di beberapa kota di Indonesia, termasuk Medan, Aceh, Pekanbaru, Batam, Surabaya, Kupang, Makassar, Jakarta, Semarang, dan beberapa kota lainnya. Indonesia ialah negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi, sebelum ke negara ketiga, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.

 

Pengungsi luar negeri di Indonesia

Per September 2021, UNHCR perwakilan Indonesia mencatat, jumlah pengungsi yang terdaftar di Indonesia mencapai 13.273 orang. Dari jumlah tersebut, 73% ialah orang dewasa dan 27% ialah anak-anak, yakni sebanyak 7.458 orang berasal dari Afghanistan, 1.364 orang dari Somalia, 707 orang dari Myanmar, 677 orang dari Irak, dan selebihnya dari negara-negara lain. Indonesia berada di antara negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar, seperti Malaysia, Thailand, dan Australia. Secara berkelanjutan, Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements).

Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk ke wilayahnya sehingga tidak memiliki kewajiban dalam menentukan status pengungsi. Itu karena Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967).

Menurut kedua perjanjian tersebut, tentang status pengungsi, menjelaskan pengungsi sebagai suatu perpindahan individu atau kelompok karena adanya rasa ketidakamanan yang biasanya diakibatkan adanya suatu diskriminasi terhadap kebebasan, seperti kebangsaan, agama, dan ras.

 

Pengungsi dan HAM

Dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri di Indonesia, khususnya dalam situasi darurat, pemerintah Indonesia secara konsisten memberikan pertimbangan khusus berlandaskan prinsip solidaritas kemanusiaan dan aspirasi HAM global. Lalu, menghormati prinsip-prinsip kebiasaan internasional dalam penanganan pengungsi, seperti non-refoulement, yaitu tidak memulangkan paksa seluruh migran yang datang mencari suaka ke negara asal. Prinsip fundamental yang telah diatur dalam hukum internasional.

Prinsip yang mengatur baik negara pihak maupun nonpihak untuk menjamin perlindungan dan bantuan kemanusiaan serta menolak repatriasi selama tidak ada jaminan keselamatan bagi para pengungsi jika mereka kembali ke negara asal.

Pemerintah RI telah menerbitkan Peraturan Presiden No 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang dipergunakan sebagai landasan normatif dan koordinatif bagi kementerian atau lembaga dan dalam penanganan pengungsi dari luar negeri dengan pelibatan peran pemerintah daerah. Peraturan presiden tersebut mengatur tahapan penanganan pengungsi di Indonesia pada saat penemuan, pengamanan, penempatan sementara, dan pengawasan keimigrasian.

Kebijakan Indonesia sebagai negara transit para pengungsi tak terlepas dari kemanusiaan dan HAM. Indonesia bersedia menjadi negara yang menampung sementara para pengungsi luar negeri dengan alasan kemanusiaan walaupun menyisakan juga banyak problematik yang mengiringinya. Terkatung-katungnya pengungsi asing di Indonesia yang bertahun-tahun, tanpa bisa melanjutkan ke negara tujuan menjadi problem tersendiri. UNHCR sebagai badan PBB yang mengurusi pengungsi banyak diprotes akan hal tersebut.

Dalam hukum internasional, pencari suaka yang telah mendapatkan status sebagai pengungsi akan ditempatkan di negara ketiga atau negara penerima pengungsi, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.

Data UNHCR perwakilan Indonesia menyebutkan, selama periode Januari hingga September 2021, hanya sebanyak 375 pengungsi di Indonesia yang telah mendapat status pengungsi dan ditempatkan di negara penerima pengungsi. Problem tersebut sebenarnya terkait karena kebijakan dari negara tujuan yang membatasi dengan ketat atau bahkan mulai menutup dari arus pengungsi atau pencari suaka masuk ke negaranya, seperti yang terjadi di Australia.

 

Negara tujuan

Sebagai negara tujuan, isu pengungsi dan pencari suaka sering dijadikan sebatas isu politis oleh para politisi di negara tersebut. Bahkan, beberapa tahun belakangan ini kasus pengungsi dan pencari suaka di Australia menjadi isu yang krusial dengan ditemukannya kasus pengungsi yang tidak mendapat akses kesehatan yang layak, kekerasan, kesehatan mental, hingga ada yang meninggal di pusat detensi Australia yang berada di Pulau Manus, wilayah Papua Nugini, dan di Nauru, yang dianggap pengungsi sebagai ‘tahanan terbuka’. Itu seperti yang diungkap lembaga Asylum Seeker Resource Center (ASRC) Australia baru-baru ini.

Dengan berdalih melakukan identifikasi, Australia berupaya identifikasi pengungsi dengan cara melakukan penahanan pengungsi dan pencari suaka tanpa kejelasan batas waktu. Tidak bisa masuk di wilayah Australia. Apalagi, menurut kebijakan yang dilakukan pemerintah federal Australia pada 2014, ketika Scott Morrison menjadi menteri imigrasi, pengungsi yang terdaftar dengan UNHCR setelah Juni tahun itu dilarang untuk menetap selamanya di Australia.

Ditambah lagi dengan pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan turn back the boats, yang memperkecil peluang pengungsi untuk dapat ke negara tersebut, karena alasan keamanan. Pengungsi banyak terkatung-katung di negara transit hingga bertahun-tahun.

Dalam Deklarasi Universal HAM 1948 secara jelas tertulis, semua orang berhak mencari perlindungan dari ancaman ataupun penyiksaan ke negara lain, ‘everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution’. Kebijakan menolak pengungsi masuk bisa dianggap ialah pelanggaran HAM.

Isu pengungsi dan pencari suaka ialah isu global bersama. Keputusan untuk menutup perbatasan tentunya akan mempersulit pengungsi memperoleh perlindungan dari ancaman keselamatan yang ditimbulkan dari dampak konflik berkepanjangan. Kita berharap solidaritas global untuk terus bersama berjalan demi kemanusiaan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat