visitaaponce.com

Apa Legacy Anies Baswedan di Jakarta untuk Indonesia

Apa Legacy Anies Baswedan di Jakarta untuk Indonesia?
Ilustrasi MI(MI/Seno)

ANIES Baswedan (ABW) purnatugas sebagai gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober lalu. Kendati tidak bebas dari pro-kontra, lima tahun kepemimpinan ABW di Ibu Kota diwarnai catatan gemilang di berbagai bidang. Sebut saja, transportasi publik modern dan terintegrasi dengan tingkat kemacetan yang menurun drastis, penanganan banjir dan pengendalian dampaknya yang semakin baik, layanan air bersih yang memadai bagi seluruh warga. Lalu, pembangunan kembali kampung-kampung yang tergusur dan ragam hunian yang terjangkau bagi warga, ruang terbuka hijau berkualitas secara merata, trotoar yang memuliakan pejalan kaki, dan jalur khusus yang memanjakan pesepeda.

Kemudian, revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi panggung seni dan budaya berkelas global, Kota Tua sebagai model kota masa depan, pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), dan penyelenggaraan Formula E. Masih panjang daftar karya ABW selama memimpin Jakarta dengan berbagai penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri.

Namun, pertanyaannya, ‘Apa legasi (legacy) ABW selama memimpin Ibu Kota yang relevan untuk merespons berbagai tantangan Indonesia saat ini dan ke depan?’ Pertanyaan itu perlu diajukan sebab Jakarta merupakan miniatur Indonesia dan barometer pembangunan nasional. Selain itu, ABW menjadi salah satu sosok yang akan naik gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

 

Legacy Anies untuk Indonesia

Dalam catatan saya, paling tidak, ABW meninggalkan tiga legacy di Jakarta yang dibutuhkan Indonesia. Pertama, gagasan, narasi, dan karya. Setiap kebijakan dan karya ABW, selalu diawali gagasan konseptual yang jelas, substantif, dan terukur. Agar menjadi misi bersama, gagasan kemudian dinarasikan dan dikomunikasikan ke seluruh stakeholder terkait, baik internal maupun eksternal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya, narasi tersebut menjadi dasar pilihan kebijakan yang dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik, tuntas, dan berdampak positif terhadap masyarakat. Tentu, keberhasilan implementasi kebijakan ditopang kemampuan gubernur menggerakkan seluruh sumber daya yang tersedia di Jakarta.

Pada semua karya ABW, melekat gagasan dan narasi tentang pemenuhan cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan dan persatuan, hak asasi manusia, hak semua golongan agama mendapatkan keadilan substantif. Lalu, tentang rakyat kecil yang martabatnya harus dihormati serta kebutuhan dasarnya mesti dipenuhi.

Keterpaduan gagasan, narasi, dan karya dibutuhkan sebagai panduan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Itu terutama dalam mengatasi berbagai masalah sistemis, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan biasa-biasa saja (business as usual).

Kedua, mengendalikan oligarki. ABW tidak antipemodal, tapi ia antiketidakadilan. ABW tidak menolak peran penting modal dalam membangun Ibu Kota. Yang ditentangnya ialah kegiatan ekonomi yang mengisap sumber daya negara demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi segelintir elite di atas penderitaan rakyat banyak.

Pencabutan izin proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta yang berpotensi mematikan sumber kehidupan nelayan dan merusak lingkungan menjadi bukti keberanian politik dan kesadaran etis ABW mengendalikan kepentingan episentrum oligarki di Indonesia. Sebuah perkecualian dalam realitas politik yang dikendalikan oligarki.

Seperti diungkap Jeffrey Winters, seorang ilmuan politik Amerika Serikat, oligarkilah yang paling berkuasa di Indonesia. Mereka memodali elite dan partai politik, media massa, perguruan tinggi, lembaga riset dan pemikir, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.

Monopoli penguasaan sumber daya oleh oligarki mengakibatkan stagnasi kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan kendati beragam kebijakan dan program pembangunan telah dilaksanakan. Tak kurang dari 215 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong sangat miskin, miskin, rentan miskin, dan menengah rentan (the missing middle), dengan kemampuan pengeluaran yang sangat rendah. Lebih jauh, menurut catatan Oxfam International, Indonesia termasuk negara paling timpang, yakni 1% penduduk terkaya menguasai separuh aset nasional dan kekayaan empat orang terkaya setara harta 100 juta penduduk kurang mampu.

Oligarki juga menjadi akar korupsi yang semakin masif, dengan tingkat kerugian negara berlipat ganda dalam satu dekade terakhir. Dus, mengendalikan dan menjaga jarak dari kepentingan ekstraktif oligarki menjadi kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan ragam persoalan struktural di Indonesia.

Ketiga, pembangunan manusia. ABW menjadikan paradigma pembangunan manusia sebagai panglima dalam membangun Ibu Kota. Paradigma itu menempatkan rakyat sebagai titik sentral pembangunan dan mendorong lahirnya kebijakan publik yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua.

Salah satu kebijakan derivatif pembangunan manusia di Jakarta ialah skema perlindungan sosial inklusif yang memberikan perhatian khusus kepada kelompok masyarakat paling rentan, yaitu warga lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, dan anak-anak. Cakupan penerima dan nilai manfaatnya di Jakarta menjadi yang terbesar di Indonesia. Skema perlindungan sosial tersebut dibarengi berbagai paket kebijakan inovatif seperti pemberian insentif sektor riil dan pemberdayaan UMKM serta fasilitasi inovasi kalangan nonpemerintah dalam platform kolaborasi.

Secara umum, kualitas pembangunan manusia Jakarta terekam dalam skor indeks pembangunan manusia (IPM) yang sangat tinggi, mencapai 81,11 (BPS 2022), setara IPM negara-negara maju. Pada saat yang sama, proporsi penduduk miskin Ibu Kota sangat rendah, terutama sebelum pandemi, hanya 3,42% pada September 2019, jauh di bawah angka kemiskinan nasional. Secara paralel, indeks demokrasi Jakarta pada 2020 versi BPS mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66.

Kebijakan yang dilandasi pembangunan manusia dan demokrasi substantif juga dirasakan warga Jakarta dari berbagai latar belakang agama dengan adanya bantuan operasional tempat ibadah (BOTI) bagi ribuan tempat ibadah dan dana insentif untuk lebih dari 38.000 pengurus. Hal itu menunjukkan bahwa pembangunan manusia, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta demokrasi berkembang seiring sejalan dan saling menguatkan di Ibu Kota.

Sementara itu, Indonesia selama delapan tahun terakhir secara simultan mengalami stagnasi pembangunan manusia dan regresi ekstrem demokrasi, diikuti kemerosotan di berbagai bidang. Pasalnya, mazhab pembangunanisme (developmentalism) yang berorientasi kemajuan infrastruktur fisik di bawah kendali oligarki dijadikan panduan dalam membangun Indonesia. Karena itu, strategi pembangunan Jakarta yang berlandaskan dan berorientasi pembangunan manusia patut menjadi sumber inspirasi bagi pemerintahan mendatang.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat