visitaaponce.com

Policypreneur Tipe Pemimpin yang Dibutuhkan di 2024

Policypreneur: Tipe Pemimpin yang Dibutuhkan di 2024
(Dok. UI)

KRISIS covid-19 menandai kemunculan new normal untuk semua sektor dan organisasi. Sebelum covid menyerang, dunia telah dilanda megatren perubahan demografi, perubahan iklim, dominasi perkotaan, dan disrupsi yang dibawa ICT. Kemampuan adaptasi aktor dan organisasi untuk melakukan antisipasi menguat.

 

Inovasi

Inovasi, adalah metode penting untuk mengantisipasi perubahan yang bermula di sektor bisnis, yang kemudian dipinjam sektor pemerintah dan masyarakat. Berkembang peran aktor sebagai policy entrepreneur dan social entrepreneur. Inovasi adalah akar entrepreneurship. Ide dan inovasi untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks pembuatan kebijakan atau policy pun diperlukan adanya inovasi. Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa policy entrepreneurship, sebagai policypreneur.

Seorang policypreneur harus mampu memulai dengan mengidentifikasikan masalah yang ada saat ini dengan tepat, dan meyakinkan publik bahwa permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang penanganannya harus segera dimulai, dengan konsep inovasi agar berdampak baik di kemudian hari. Dengan ketepatan dalam membingkai masalah itu, maka akan didapatkan kebijakan yang tepat dan berkesinambungan.

Inovasi dalam pencanangan kebijakan sejatinya bukan semata improvement atau peningkatan atas kebijakan terkini, tapi merupakan sebuah desain ulang atas kebijakan yang sudah ada. Karena, dalam improvement, pada umumnya hanya memberikan dua opsi yang dapat dilakukan terhadap suatu kebijakan, yakni menambah biaya atau membuatnya tetap stagnan. Para policypreneur menyadari bahwa sumber dayanya terbatas. Maka, redesigning merupakan pilihan yang lebih efisien.

Inovasi yang berkembang menjadi disrupsi akan mendapat tantangan beragam pihak. Karena itu, difusi atas inovasi menjadi melekat dari disrupsi inovasi, di mana para policypreneur dapat meyakinkan berbagai pihak serta masyarakat bahwa saat ini sedang terjadi permasalahan yang mendasar dan inovasi kebijakan yang dicanangkan mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan baik.

Policypreneur membangun kolaborasi memaksimalkan sumber daya dalam tahapan proses kebijakan publik dari tiga aliran kebijakan, yaitu aliran masalah, aliran politik, dan aliran kebijakan untuk menemukan jendela kesempatan (window of opportunity) (Kingdon, 1984). Dalam tindakannya, para policypreneur melekat etika inovasi yang bertanggung jawab (responsible innovation) yang antisipatif, reflektif, inklusif, dan responsif (Stilgoe dkk, 2013).

Para policypreneur juga memiliki tantangan bahwa mereka harus menemukan mitra strategis dalam tahap realisasi dari inovasi atas kebijakannya. Mitra strategis itu tidak terbatas pada tahap legislasi, tapi juga pada tahap implementasi atas kebijakan tersebut untuk mengawal keberhasilannya. Mitra strategis itu harus memiliki kesamaan pandang dalam pembuatan dan pengimplementasian kebijakan inovatif tersebut.

Saat ini, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia masih cenderung bersifat crash program. Pemerintah sering kali mengalokasikan sumber daya mereka secara terburu-buru dan intensif untuk menyelesaikan masalah mendesak, tanpa adanya penyelesaian dan identifikasi atas suatu permasalahan yang mendasar serta kolaborasi yang maksimal dengan banyak pihak yang terdampak.

Ada beberapa kebijakan pemerintah saat ini yang dianggap memenuhi konsep dasar yang dibuat oleh policypreneur, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan UU Cipta Kerja. Dua UU ini mengandung aspek inovasi tata perundangan yang isinya merupakan desain ulang peraturan bidang yang dimaksud, dan ditujukan bagi masa depan dengan periode melebihi periode kepemimpinan saat ini.

Sayangnya kedua hal ini dibuat tidak dengan tata cara yang seharusnya dan cenderung potong kompas. Untuk memenuhi syarat policypreneur, pemerintah harus mampu mengidentifikasi akar permasalahan dengan baik dan berkolaborasi dengan memaksimalkan pelibatan masyarakat dalam pencanangan dua kebijakan itu.

Sebagai contoh ialah pembangunan Kota NEOM di Arab Saudi yang diumumkan pada 24 Oktober 2017 oleh Putra Mahkota Arab Saudi. Walau bukan merupakan sebuah ibu kota baru, NEOM muncul sebagai ide yang lahir dari adanya Saudi Vision 2030. Melalui Saudi Vision 2030 yang dibuat pada 2016, Arab Saudi menyadari bahwa mereka perlu untuk melakukan diversifikasi ekonomi, dengan salah satunya mengurangi dependensi kepada minyak bumi. Fase pertama dari proyek ini direncanakan untuk selesai pada 2025 dan akan menelan biaya sekitar Rp4.785 triliun, yang setengahnya akan berasal dari Public Investment Fund milik Arab Saudi.

Di Indonesia, masyarakat yang menjadi subjek masih bertanya-tanya mengenai kajian urgensi dari adanya proyek IKN Nusantara. Proyek IKN diputuskan oleh Presiden Jokowi pada 29 April 2019, dengan kebutuhan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp466 triliun hingga 2045 di mana milestone awal dikejar di 2024. Dari jumlah itu, APBN akan menanggung sekitar 20% atau Rp89,4 triliun.

Dalam hal ini, Arab Saudi memiliki visi yang lebih terarah terkait urgensi dari kebijakan yang diambil. Rencana ini pun didukung dengan pendanaan yang lebih fantastis jika dibandingkan dengan APBN dalam mendukung IKN, dan dilakukan dengan waktu yang cukup.

Terkait UU Cipta Kerja, kita masih melihat adanya penolakan atas UU itu dari berbagai elemen masyarakat. UU Cipta Kerja sendiri oleh MK telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan No 91/PUU-X VIII/2020. Dalam putusan tersebut terungkap fakta bahwa pembentuk UU Cipta Kerja tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Kini, pemerintah mengundangkan Perpu Cipta Kerja, yang tentunya dengan proses lebih cepat tanpa melalui proses legislasi di DPR. Namun, selang beberapa waktu setelah diundangkan, terdapat dua permohonan pengujian formil dan materiil perpu itu ke MK, yakni No 5/PUU-XIX/2023 dan No 6/PUU-XIX/2023. Hal ini menunjukkan kurangnya usaha pemerintah dalam memaksimalkan kolaborasi dengan masyarakat.

 

Saatnya diubah

Pemerintah dan aktor-aktornya harus bergerak sebagai policypreneur karena sumber daya yang terbatas dengan memahami proses aliran kebijakan secara pas dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, utamanya masyarakat, untuk memunculkan inovasi dalam setiap pencanangan kebijakan.

Kesan terburu-buru atau crash program melekat dengan beberapa kebijakan saat ini. Hal ini sudah saatnya diubah oleh pemimpin Indonesia di periode sejak 2024, dimulai dengan penguatan kelembagaan untuk mendukung konsep policypreneur berbasis inovasi.

Policypreneur tidak melulu harus pemimpin tertinggi seperti presiden, melainkan karakter yang mesti melekat pada pemimpin di semua tingkatan, termasuk birokrasi negara. Sudahlah cukup, kita masih berpaku pada seorang pembuat kebijakan yang menihilkan kolaborasi dan tidak mengedepankan kepentingan publik.

Indonesia, jelas membutuhkan seorang policypreneur dalam setiap lapisan pemangku kebijakan. Dengan begitu, akan banyak inovasi dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien dalam pencanangan berbagai kebijakan di Indonesia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Semoga.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat