visitaaponce.com

Scopus Dicinta Scopus Dicerca

Scopus Dicinta Scopus Dicerca
Suyitno(Dok pribadi)

BERBAGAI kasus di perguruan tinggi sering menjadikan Scopus sebagai motif, penyebab, dan terdakwa. Banyak kegiatan diskusi atau sekadar ngobrol di lingkungan perguruan tinggi juga membicarakan, mengolok-olok, memuja, bahkan menggerutu karena Scopus. Tidak cukup di situ, banyak dana dihabiskan dan kegiatan penelitian dilakukan demi Scopus. 

Pada awal 2000-an, saat Scopus mulai dikenalkan di kampus-kampus, dan peneliti yang namanya ada di Scopus dengan H-indeks relatif tinggi, menjadi bahan olok-olok sebagai hamba dan pemuja Scopus oleh mereka yang tidak memiliki tulisan di sana. Pada masa berikutnya, berbagai penghargaan diberikan kepada penulis yang terindeks Scopus.

Saat seseoang menginginkan menduduki jabatan guru besar, Scopuslah yang dicari bahkan diharapkan menerima karya ilmiahnya. Apapun dilakukan termasuk mengeluarkan dana puluhan juta rupiah. Tidak cukup sampai di situ, beragam pelatihan, pendampingan, pembimbingan, bahkan sampai perjokian juga karena Scopus. Biro jasa konsultasi dibuka dengan biaya mahal juga ada, lag-lagi demi Scopus.

Seorang mahasiswa yang ingin lulus program pendidikan doktor juga harus bekerja keras demi Scopus. Banyak pakar beradu argumentasi di media massa baik pro maupun kontra juga karena Scopus. Tidak bisa dipungkiri bahwa Scopus telah merasuki sendi-sendi kehidupan di perguruan tinggi, bahkan telah menjadi tolok ukuran capaian individu, departemen, fakultas, perguruan tinggi, kementrian, bahkan negara.
 
Jurnal-jurnal ilmiah dalam negeri juga terkena wabah Scopus. Dewan redaksi jurnal ilmiah dibuat sibuk juga karena persiapan agar masuk Scopus. Berbagai pelatihan dilakukan agar jurnal yang diterbitkan bisa terindeks Scopus. Bahkan cara-cara yang tidak pantas juga dilakukan seperti plagiasi dan menggunakan jasa orang lain alias joki. 

Bagi penulis terindeks di Scopus juga dianggarkan insentif yang nilainya tidak sedikit, sehingga memotivasi peneliti untuk terus berkarya. Scopus pun menjelma bak gadis molek yang menjadi incaran setiap pria, namun di sisi lain juga dibenci karena mempersulit kehidupan pria yang tak mampu mendapatkannya.

Perlu diluruskan

Perlu diluruskan bahwa Scopus adalah sekadar basis data yang berisi abstrak dari jurnal ilmiah,  publikasi konferensi, buku atau bab dari buku. Scopus diluncurkan 15 Maret 2004 oleh penerbit Elsevier yang berkedudukan di Belanda. Peneliti, dosen, mahasiswa, pengelola pendidikan tinggi dan lembaga riset, dan pustakawan terbantu dengan keberadaan basis data ini.
 
Mereka terbantu karena bisa untuk mendapatkan topik yang kita butuhkan sebagai bahan kajian pustaka riset maupun bahan pembelajaran di kelas. Selain itu juga berguna untuk mengetahui siapa saja yang mengutip sebuah tulisan dan berapa banyak yang mengutip. Hasil riset terbaru tentunya hal yang paling menarik diperoleh di sini yang sangat dibutuhkan dalam memutuskan saat melakukan riset, atau bahkan menjadi rujukan teknologi yang akan dikembangkan.

Scopus seperti etalase untuk memajang tampilan muka (abstract) karya para peneliti, sementara isi detail dari karya tetaplah ada di penerbit. Saat ini Scopus telah menjadi ukuran dan menjadi prestise sehingga memunculkan kelompok pembenci dan pecinta. 

Sudah bisa ditebak pembenci, karena tidak bisa atau terlalu sulit untuk mencapainya. Sebaliknya si pencinta merasa diuntungkan dan dimudahkan karena Scopus. Yang tidak suka, mencari-cari kelemahan Scopus dengan berbagai alasan yang kadang sekadar dicari-cari, bahkan kadang dibumbui kelebihan yang tidak ada di Scopus. Pembenci karena terhalang menduduki jabatan akademik tertentu atau memperoleh insentif tertentu akibat penggunaan Scopus sebagai ukuran.

Pencinta Scopus diuntungkan dengan tulisanya bisa dibaca oleh pembaca di seluruh dunia, bahkan kemudian dikutip sebagai referensi peneliti lain. Lebih dari itu, bahkan bisa terjadi komunikasi dan kolaborasi. Selain itu menjadi prestise bagi penulis, karena jumlah tulisan dan jumlah kutipan bisa dilihat di seluruh dunia. Bahkan seseorang dengan tulisan dan kutipan yang banyak bisa menjadi portofolio ketika menjalin komunikasi dan kerjasama dengan rekan sejawat di seluruh dunia.

Namun perlu disadari bahwa masih banyak peneliti yang belum mampu menuliskan hasil risetnya dalam jurnal yang terindeks Scopus. Akibatnya hal ini dijadikan lahan bisnis jurnal-jurnal predator. Kalaupun bukan jurnal predator, menjadi pengguna penerbitan jurnal yang berbayar mahal. Akibatnya muncul kesan seolah-olah semua jurnal dianggap pemborosan uang karena anggapan semua jurnal berbayar, padahal kenyataanya tidak demikian. 

Ketidakmampuan melakukan riset hingga terpublikasi pada jurnal terindeks Scopus telah memunculkan berbagai strategi agar bisa lolos. Termasuk meminta bantuan kepada yang terbiasa dan memahami publikasi pada jurnal terindeks Scopus.

Alat bantu

Mestinya kita tidak memandang Scopus dengan benci atau cinta, tapi tetaplah melihat sebagai sekadar alat bantu. Alat bantu yang bisa digantikan dengan alat bantu yang lain. Alat bantu yang juga bisa salah. Sebuah sebuah basis data harus dimanfaatkan sebagaimana layaknya, dan tetap berprinsip bahwa isi yang ditulis pada Scopus itu bermutu atau tidak, bermanfaat atau tidak, tetaplah pengguna yang memfilter.

Tidak perlu memandang alat bantu secara berlebihan. Yang perlu dibenahi justru kualitas riset, dampak dari riset, dan bagaimana riset memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Kepercayaan masyarakat pada penggiat riset akan tinggi manakala hasil kerjanya memiliki dampak yang bisa dirasakan.

Berharap riset menjadi salah satu tulang punggung perekonomian memang tidak semudah membalik telapak tangan. Terlebih, di tengah rendahnya motivasi periset untuk menghasilkan hasil riset yang berdampak. Meskipun harus disadari bahwa dampak riset bisa terlihat di waktu yang lama setelah publikasi hasilnya, terutama untuk riset dasar. 

Riset dasar yang menghasilkan pengetahuan baru dengan mengungkap fenomena dan hukum-hukum alam, akan berdampak pada meningkatnya pengetahuan masyarakat. Bahkan bisa memunculkan kebijakan dan inovasi baru bagi perbaikan kualitas hidup di masyarakat. Riset-riset yang dampaknya dibutuhkan masyarakat perlu perhatian lebih, terutama dalam kebijakan pendanaan.

Riset terapan yang jelas berdampak menyelesaikan masalah di masyarakat juga sangat perlu disegerakan. Apalagi jika dampaknya pada pertumbuhan sektor ekonomi, mengurangi pengangguran, mengatasi kemiskinan dan mengurangi ketergantungan impor. 

Jika melihat negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi juga berkorelasi dengan jumlah publikasi pada jurnal terindeks Scopus, pertanyaan yang mesti dijawab, tingginya publikasi mendongkrak pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mendongkrak tingginya publikasi. Bisa jadi mereka melakukan riset-riset yang berdampak, sehingga berdampak pada jumlah publikasi juga pada pertumbuhan ekonomi.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat