visitaaponce.com

Menumbuhkan dan Menubuhkan Budaya Belajar

Menumbuhkan dan Menubuhkan Budaya Belajar
(Dok. Pribadi)

BEBERAPA waktu lalu saya melepas kepergian putri saya ke tempat tugasnya mengajar di salah satu sekolah dasar negeri di daerah terpencil, pegunungan, di Bandung Barat. Dia sedang mengikuti program Kampus Mengajar (Kamjar), salah satu program Kampus Merdeka yang diinisiasi Mas Menteri Nadiem. Dia akan menjalani program selama empat bulan ke depan. Yang menarik pada momen tersebut ialah ketika dia bertanya, "Apa yang harus saya lakukan nanti di tempat tugas, selain tugas mengajar tentunya?"

Saya tercenung sesaat mendengar pertanyaan itu, teringat momen penting saat saya berbincang dengan salah seorang guru senior SSB Aceh. Kemudian saya menyampaikan perbincangan saya dengan guru senior SSB tersebut yang bercerita tentang siswanya yang sudah tamat (alumni) yang masih menyapa beliau. Bahkan, meminta doa saat alumni tersebut akan berangkat bertugas ke luar negeri mengemban misi perdamaian sebagai anggota pasukan perdamaian di Timor Leste. Ada juga cerita alumni yang beramai-ramai melakukan panggilan video secara konferensi dengan salah seorang guru yang sedang sakit cukup parah untuk memberikan semangat, ucapan selamat hari guru dari alumni juga tidak pernah terputus, dan masih banyak lagi kisah-kisah sejenis.

Kemudian, setelah bercerita, saya bertanya kepada putri saya, "Waktu dulu kakak bersekolah di Sukma, apa yang kakak rasakan? Apa yang membuatmu masih terhubung dan menjalin hubungan dengan sekolah dan guru-gurumu?" Putri saya terdiam sejenak, mencerna pertanyaan dan cerita saya, kemudian tersenyum sambil menjawab, "Baik ayah, saya mengerti."

Kemudian, saya mengingatkan bahwa dia harus belajar menjadi menjadi guru di tempat tugasnya, bukan hanya mentransfer ilmu, melainkan juga mentransfer hatinya kepada siswa-siswanya nanti. Pertanyaan muncul, apakah karena dia mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sehingga harus belajar menjadi guru? Setelah selesai kuliah, dan menjadi guru, apakah kemudian berhenti belajar?

 

Budaya belajar

Di sekolah Sukma ada moto sekolah yang belajar (a school that learns) yang diadopsi dari Peter Senge (2001), penulis dan ahli teori organisasi terkenal yang menulis buku The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. Menurut Senge, organisasi pembelajar ialah organisasi yang terus berkembang dan belajar. Dalam konteks sekolah, organisasi pembelajar ialah sekolah yang terus belajar, terus beradaptasi dengan kebutuhan siswa dan komunitasnya, serta berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan. Konsep Senge tentang organisasi pembelajar didasarkan pada lima disiplin ilmu, yaitu penguasaan pribadi (personal mastery), membagi visi (shared vision), model mental (mental model), berpikir sistem (system thinking), dan pembelajaran kelompok (team learning).

Dalam konteks Sekolah Sukma, lima disiplin ilmu itu harus menjadi sukma dari selusukma sivitas sekolah. Setiap individu harus mengenal diri sendiri secara mendalam mengenai kekuatan dan kelemahan, serta tujuan pribadi, yang kemudian dicocokkan dengan visi bersama tentang masa depan yang ingin dicapai semua orang dalam sekolah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, harus dilakukan secara kolaboratif sehingga memunculkan pemahaman bahwa setiap unit, setiap individu di sekolah ialah penting dan berkontribusi dalam mencapai tujuan bersama sekolah. Semua itu akan tercapai jika setiap individu memiliki kesadaran, keyakinan, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku pembelajar (Lestari Moerdijat, 2020).

Guru Sukma yang sudah memahami dan menjalankan lima disiplin ilmu Peter Senge, dapat membantu siswa mencapai cita-cita mereka dengan mendorong siswa untuk mengenal diri dan mengembangkan diri mereka menjadi pribadi pembelajar berkarakter yang dapat mencapai tujuan mereka. Mereka juga harus didorong agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mampu bekerja dalam kelompok serta memiliki pemahaman bahwa keberadaan dan keberhasilan mereka sangat dipengasukmai bantuan orang-orang di sekitar mereka, sekecil apa pun bantuan mereka. Kesadaran akan keyakinan dan nilai-nilai di atas harus terus ditanamkan kepada siswa sehingga membentuk siswa menjadi pembelajar sepanjang hayatnya.

 

Menubuhkan budaya

Di Sekolah Sukma, lima disiplin ilmu itu tidak berdiri menjadi mata pelajaran khusus, tetapi menjadi sukma semua mata pelajaran. Itu artinya juga harus menjadi sukma bagi semua guru Sekolah Sukma. Misalnya, guru matematika. Ketika mengajarkan matematika, guru matematika tidak hanya mengajarkan logika formal, rumus matematika, dan sebagainya yang berkaitan dengan matematika. Guru matematika juga harus mampu mendorong siswa untuk mengenal diri mereka, kekuatan dan kelemahan mereka, khususnya dalam pembelajaran matematika.

Dia juga harus mampu mendorong siswa untuk membangun mimpi mereka yang berkaitan dengan matematika, misalnya, kemampuan untuk melakukan perhitungan matematika dalam pikiran tanpa alat bantu seperti kalkulator. Hal itu bertujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan konsentrasi, serta menghemat waktu dalam situasi ketika kalkulator atau alat bantu lainnya tidak tersedia. Dengan demikian, terbentuk pribadi yang rasional dan efektif. Selain itu, guru matematika harus membiasakan siswa bekerja dalam kelompok sebagai tim utuh yang saling mengisi, bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Semua guru bidang studi harus mampu menerapkan lima disiplin ilmu itu dalam proses pembelajarannya. Ini bukan hanya tanggung jawab guru bimbingan dan konseling (BK), misalnya, atau guru PKn, atau guru agama. Dengan contoh matematika di atas, saya ingin menunjukkan bahwa aspek afektif pun bisa dikembangkan dalam bidang studi matematika. Cara itu dapat membantu guru tidak terjebak pada pengembangan aspek kognitif saja, tapi juga penguatan aspek afektif dan psikomotor siswa.

Dengan cara seperti itu, guru dan siswa belajar, berkembang, bertumbuh bersama dalam satu siklus pembelajaran. Guru tidak hanya memberi isi kepalanya (transfer pengetahuan) kepada siswa, tapi juga meluapkan rasa dan hati mereka kepada siswa. Luapan rasa dan hati juga akan ditangkap dengan rasa dan hati. Dengan begitu, membuat guru dekat dengan siswa bukan karena pura-pura atau karena siswa ada masalah, melainkan karena kebutuhan untuk belajar, berkembang, dan bertumbuh bersama.

Jadi, di Sekolah Sukma, bukan hanya siswa atau mahasiswa FKIP seperti putri saya yang sedang belajar mengajar. Guru Sekolah Sukma yang sudah senior dan bergelar master dari Finlandia pun masih belajar dan belajar bersama siswanya. Wallahualam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat