visitaaponce.com

Filosofi Takjil

Filosofi Takjil
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

TIADA pemandangan yang paling indah selain senja di Bulan Ramadan. Itu bukan kalimat yang saya kutip dari pujangga atau sastrawan mana pun. Setidaknya, itu yang saya rasakan di saat-saat menjelang berbuka puasa. Karena menyangkut perasaan, sifatnya mungkin terlalu personal dan terkesan sentimental. Keterpesonaan saya pada momen seperti ini bukan pada pemandangan eksotis lembayung setengah jingga yang kerap menghias larik-larik puisi, lagu, ataupun caption kaum milenial penikmat senja, melainkan pada maraknya penjual takjil di pinggir jalan.

Bermodalkan meja atau etalase kecil, banyak warga mendadak mengadu keberuntungan menjadi pengusaha aneka kudapan untuk berbuka puasa ini. Dari gorengan, kue-kue basah, hingga aneka kolak. Lalu lintas di sejumlah ruas jalan di pinggiran kota mungkin tersendat, tapi dari aktivitas rakyat kecil inilah justru perekonomian nasional ikut bergerak kendati mungkin hanya sepersekian persen. Jika tidak percaya, silakan tanya Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Margo Yuwono atau Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Tidak hanya berhenti sampai di situ. Aneka kudapan ini juga kerap menjadi pemersatu bangsa. Semua punya hak yang sama berburu penganan ini, tidak peduli agama, ras, maupun kelas sosial mereka. Dari yang naik Fortuner hingga skutik yang ditunggangi emak-emak berdaster. Bagi saya, pemandangan sederhana ini adalah lukisan senja yang tiada tara. Dalam acara buka puasa bersama yang sering dipendekkan menjadi bukber, takjil tidak jarang juga menjadi menu perekat kebersamaan. Dari kaum sosialita hingga rakyat jelata. Dari lingkup tetangga, sekolah, kampus, kantor, hingga instansi dan lembaga negara, semua ngariung tanpa sekat agama.

Lihatlah, betapa penganan yang umumnya berasa manis ini ternyata juga menyimpan makna ekonomis, sosiologis, dan filosofis di dalamnya. Maaf, pepatah Mangan ora mangan sing penting ngumpul, sepertinya perlu sedikit kita koreksi. Dalam konteks ini, yang penting ngumpul dan makan-makan, dan kalau perlu unggah di Instagram. Jika keguyuban ini terus kita pertahankan, percayalah kicau para pendengung yang kerap menjadikan kata intoleran sebagai momok yang menakutkan, hanya akan bergema di ruang hampa. Bersyukurlah, Bung, sejarah menakdirkan kita hidup di lingkungan masyarakat agraris yang guyub, bukan di negeri fasis yang rasis.

Ramadan memang bukan sekadar laku menahan lapar dan dahaga dari fajar hingga senja. Itu hanyalah salah satu bagian dari ritus di dalamnya. Ramadan adalah juga momentum untuk bersedekah, beramal, dan berbuat baik. Makanya sering juga disebut bulan baik. Tidak hanya berbuat baik kepada Sang Khalik yang diwujudkan melalui puasa, tarawih, dan tadarus, tapi juga menjaga dan merajut silaturahim dengan sesama. Hablum minallah wa hablum minannas.  Umat Islam bahkan diperintahkan melaksanakan hal ini bukan hanya di bulan suci, tapi selama menjadi khalifah di atas bumi ini.

Akhirul kalam, selamat menyambut Ramadan dan menikmati takjil. Semoga kita semua sehat jiwa raga dan mampu menjalani puasa hingga Lebaran tiba.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat