visitaaponce.com

Quo Vadis Pekerjaan Layak

Quo Vadis Pekerjaan Layak
(Dok. Pribadi)

PERUSAHAAN padat karya berorientasi ekspor kini diizinkan pemerintah melakukan penyesuaian jam kerja dan upah. Secara faktual, hal itu tertuang dalam Permenaker Nomor 5/2023.

Dalam Pasal 8 ayat 1 disebutkan bahwa perusahaan dan industri tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global, dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75% dari upah yang biasa diterima.

Perusahaan padat karya seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat 2 Permenaker Nomor 5/2023, meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit dan barang kulit, industri furniture, dan industri mainan anak.

Ironisnya, pengurangan upah itu hanya berselang beberapa bulan setelah diberlakukannya kenaikan upah minimum (UM) 2023. Kenaikan UM pada 2023 itu pun yang besarannya 7,50% dinilai sebagai kompensasi dari kecilnya kenaikan UM tahun sebelumnya, yaitu sebesar 1,09%.

Selain itu, kenaikan UM 2023 juga semula dinilai untuk memperbaiki besaran upah sebagai salah satu pilar menuju pekerjaan layak (decent work). Pilar lainnya, menurut Organisasi Perburuhan Internasional/ILO, ialah perlindungan sosial, dialog social, dan perlakuan kesempatan yang sama sesama pekerja/buruh.

Maka, diizinkannya perusahaan padat karya melakukan pengurangan upah setelah ditetapkan UM 2023 menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke,mana nasib buruh dalam menuju pekerjaan layak. Padahal, dalam Goal 8 Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) disebutkan agar setiap negara mewujudkan pekerjaan layak pada 2030.

 

Defisit pekerjaan layak

Pengurangan upah buruh, menurut ILO, akan berdampak buruk pada pilar lainnya dari pekerjaan layak, dan berujung pada defisit pekerjaan layak. Hal itu dapat dicermati dari memburuknya sejumlah indikator dari pilar pekerjaan layak, seperti bertambahnya pekerja miskin, pekerja informal, pekerja anak, dan pekerja dengan jam kerja panjang.

Dengan pengurangan upah hingga 25%, sesuai Pasal 8 ayat 1 Permenaker Nomor 5/2023, hal itu berpotensi menyebabkan UM 2023, terutama pada pekerja/buruh industri padat karya akan menyusut hingga 17,5% jika dibandingkan dengan UM 2022. Hal itu berarti pekerja di industri padat karya berpotensi jatuh miskin atau menjadi kian miskin bagi pekerja yang sebelumnya berstatus miskin.

Ditengarai, dengan berkurangnya pendapatan, sejumlah buruh/pekerja akan berupaya melakukan coping strategy untuk bertahan hidup, antara lain dengan cara berutang dan menjual barang berharga. Sementara itu, sejumlah buruh/pekerja lainnya menambah jam kerja dengan melakukan pekerjaan rangkap.

Namun, terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal akan menyebabkan membengkaknya pekerja di sektor informal. Selain itu, bekerja rangkap juga akan menyebabkan jam kerja menjadi lebih panjang sehingga berisiko pada penurunan derajat kesehatan buruh.

Berkurangnya pendapatan pekerja/buruh juga kerap melibatkan anak bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Celakanya, terjunnya anak bekerja akan menyebabkan persoalan serius dalam upaya pemerintah melarang anak bekerja, seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 1 2000.

Keberadaan UU itu merupakan ratifikasi dari Konvensi ILO Nomor 182 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sejatinya, pelarangan anak bekerja amat penting dilakukan karena hal itu akan menghambat tumbuh kembang anak dan mendistorsi kualitas SDM di Tanah Air.

 

Peran pemerintah

Maka, atas dasar itu, dengan mencermati cukup besarnya risiko pengurangan upah pekerja/buruh, amat diharapkan menjadi perhatian serius pemerintah. Sangat diharapkan peran pemerintah yang lebih besar dan tidak menyerahkan persoalan yang dihadapi semata kepada buruh dan perusahaan. Jadi, ketika perusahaan mengalami kesulitan sepatutnya tidak mengorbankan buruh dengan melakukan pengurangan upah.

Ke depan, untuk mempercepat terwujudnya pekerjaan layak, sangat diharapkan upah yang diterima pekerja/buruh kian setara dengan rata-rata pendapatan per kapita. Hal itu untuk memastikan bahwa hasil atau output dari kinerja ekonomi dinikmati secara merata bagi seluruh penduduk, termasuk pekerja/buruh.

Harus diakui bahwa Indonesia bersama dengan sejumlah negara berkembang masih jauh dari berhasil dalam mewujudkan besaran upah yang setara dengan pendapatan per kapita. Hal itu tecermin dari rasio antara upah minimum dan pendapatan per kapita yang jauh dari angka satu. Di Thailand, besarnya rasio 0,40, Malaysia 0,40, Vietnam 0,39, dan Indonesia 0,34.

Sementara itu, rasio upah minimum dengan pendapatan per kapita di sejumlah negara maju, seperti Prancis, Jerman, dan Jepang telah berada di sekitar angka satu, yang sekaligus mencerminkan bahwa pekerjanya telah menikmati hasil dari kinerja ekonomi. Rasionya di Prancis 1,02, yang berarti upah minimum sedikit di atas pendapatan per kapita. Di Jerman 0,98 dan Jepang 0,97, yang berarti upah minimumnya sedikit di bawah pendapatan per kapita.

Berbagai upaya kiranya perlu dilakukan pemerintah, agar kesejahteraan buruh tidak menurun. Hal itu mengingat menurunnya kesejahteraan buruh berpotensi tidak hanya memperburuk kondisi menuju pekerjaan layak, tetapi juga akan menambah beban pemerintah karena meningkatnya penduduk dalam kondisi rentan dan miskin.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat