visitaaponce.com

Refleksi Hari Buruh, Investasi Gagal Serap Tenaga Kerja Efek Deindustrialisasi Dini

Refleksi Hari Buruh, Investasi Gagal Serap Tenaga Kerja Efek Deindustrialisasi Dini
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga.(Antara)

KECENDERUNGAN deindustrialisasi dini di Indonesia menguat, ditandai dengan kegagalan investasi dalam memaksimalkan penyerapan tenaga kerja khususnya di sektor padat karya. Hal ini menjadi salah satu refleksi pada peringatan Hari Buruh Internasional.

"Deindustrialisasi dini ini ditandai melemahnya daya saing industri manufaktur khususnya industri padat karya, sehingga pascaera 2000-an investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, kecenderungan ini menguat dalam 10 tahun terakhir. Hal ini yang menjelaskan mengapa investasi kini semakin lemah menyerap tenaga kerja," kata Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, Senin (1/5).

Jika kondisi ini sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir, apa solusinya?

Di era 1990-an, Yusuf menuturkan, investasi di Indonesia didominasi oleh investasi di sektor industri manufaktur, terutama industri padat karya berorientasi ekspor seperti industri tekstil, garmen, alas kaki dan elektronika.

Baca juga : Transaksi Bursa Menanjak Pascalebaran, BEI Minta Investor tetap Rasional

Pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada 1997, dan setelah kejatuhan akibat krisis kembali pulih di 2000-an.

Namun setelah itu, pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun hingga kini, dari kisaran 25% dari PDB pada 2002 menjadi hanya kisaran 19% dari PDB pada 2022.

Baca juga : Investasi Kuartal I 2023 Capai Rp328,9 T, Didominasi Modal Asing

Kini, investasi di industri padat karya didominasi oleh Vietnam, Bangladesh, dan India. Indonesia semakin dipandang tidak kompetitif karena biaya produksi cenderung semakin mahal.

Ketidakmampuan investasi menyerap tenaga kerja juga diamini oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Ia mengakui investasi yang masuk ke Indonesia tidak sebanding dengan penciptaan dan penyerapan lapangan kerja.

Menurut Bahli, idealnya realisasi investasi di industri padat karya seharusnya berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja. Namun, investasi yang masuk di Indonesia saat ini hampir semuanya high technology, bukan lagi padat karya yang membutuhkan banyak pekerja.

"Aku harus akui itu, antara target nilai investasi dengan tenaga kerja nggak berbanding lurus karena investasi sekarang ini bukan lagi padat karya yang banyak. Kalau kita mau bangun hilirisasi bauksit, nikel, tembaga, mana ada pakai manusia-manusia. Palingan bangun konstruksinya saja, setelah itu dioperasikan semua oleh mesin," ucapnya, Jumat (28/4) lalu.

Dampak perang dagang Tiongkok-AS

Lebih lanjut, Yusuf Wibisono menuturkan ketika terjadi perang dagang Tiongkok- Amerika Serikat, yang mendapat limpahan berkah adalah Vietnam, bukan Indonesia. Karena itu, banyak relokasi industri padat karya dari Tiongkok yang justru lebih memilih Vietnam.

Bahkan sebagian pelaku industri padat karya di Indonesia sudah mulai ikut melakukan relokasi ke Vietnam, Bangladesh, Srilangka, dan sebagian pelaku industri padat karya lainnya melakukan relokasi domestik dari Jabodetabek ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.

"Investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor nontradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya seperti, investasi di sektor properti dan pergudangan (logistik)," kata Yusuf.

Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya namun ke industri ekstraktif seperti sektor pertambangan dan industri pengolahan logam dasar, yang secara umum bersifat padat modal, dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari Tiongkok.

Masalah turunnya daya saing industri padat karya sebenarnya tidak hanya dialami Indonesia, dialami juga oleh Tiongkok misalnya, yang membedakan adalah respon kebijakannya.

Di era 1980-an, Indonesia mulai menerima banyak investasi di industri padat karya, berpuncak di 1990-an, hal yang sama terjadi di Tiongkok.

Kini daya saing industri padat karya Indonesia menurun, tergerus oleh negara lain dengan upah buruh yang lebih murah seperti Vietnam, Bangladesh dan Srilangka, begitupun Tiongkok.

"Namun respon Indonesia adalah berusaha "mempertahankan" industri padat karya "at all cost", antara lain dengan UU dan Perppu Cipta Kerja," kata Yusuf.

Sedangkan Tiongkok membiarkan industri padat karya yang tidak mampu bertahan dengan upah yang kini tinggi, untuk relokasi ke negara lain dengan upah murah karena tenaga kerja mereka telah bertransformasi ke industri yang lebih padat modal dan padat teknologi.

Hal ini dimungkinkan Tiongkok dengan strategi transfer teknologi, peningkatan kualitas SDM dan kebijakan research and development (R&D) yang komprehensif.

Pendalaman struktur industri yang masif memungkinkan Tiongkok untuk tetap dapat menyediakan lapangan kerja yang luas bagi angkatan kerja mereka yang masif.

Strategi pendalaman struktur industri serupa di dekade-dekade sebelumnya juga telah dilakukan oleh Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

"Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kita terlalu lama terbuai dengan keunggulan upah buruh murah dan lalai menyiapkan transformasi dan pendalaman struktur industri. Kini kita dengan sederhana menyalahkan upah buruh yang tinggi sebagai penyebab turunnya investasi dan deindustrialisasi," kata Yusuf.

Perbaiki kualitas SDM

Untuk itu yang perlu diperbaiki salah satunya adalah secara struktural kualitas SDM, yang mana merujuk pada data survei angkatan kerja nasional (Sakernas) tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMA umum 8,57%, dan SMA Kejuruan 9,42%. Disusul oleh lulusan SMP 5,95%, Universitas 4,8%, dan Diploma 4,59%.

Akibatnya, Indonesia tidak memiliki strategi transfer teknologi, peningkatan kualitas SDM dan kebijakan R&D yang komprehensif.

"Kita tidak mampu melakukan pendalaman industri, tidak mampu transformasi dari keunggulan industri padat karya ke keunggulan baru di industri padat modal - teknologi. Karena itulah maka kita hanya bisa mempertahankan industri padat karya lewat UU Ciptaker dan menarik industri ekstraktif yang padat modal lewat Kebijakan Hilirisasi Tambang," kata Yusuf.

Berebut investasi

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan tantangan persaingan buat Indonesia saat ini adalah memenangkan perebutan investasi dengan sumber pertumbuhhan ekonomi baru.

"Persaingan merebutkan investasi semakin kencang, baik di global maupun skala kawasan ASEAN. Investasi saat ini menurut saya menjadi jauh lebih ketat dari pada tahun-tahun sebelumnya," kata Andry.

Dikhawatirkan Indonesia ketinggalan memperebutkan investasi. Sebab, selain bersaing dengan Malaysia, Indonesia juga harus bersaing dengan Vietnam yang secara lokasi diuntungkan dekat dengan Tiongkok dan kualitas SDM yang memadai. Indonesia juga harus bersaing dengan Thailand, lokasi dimana selama ini dianggap nyaman oleh sektor manufaktur otomotif.

"Indonesia harus semakin bekerja keras mencari sumber pertumbuhhan baru yang bisa menjadi ruang investasi masuk dan harus berlari lebih kencang lagi," kata Andry. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat