visitaaponce.com

Menyoal Survei Elektabilitas Kandidat Presiden 2024

Menyoal Survei Elektabilitas Kandidat Presiden 2024
Mokhammad Najih(Dok pribadi)

MENJELANG kontestasi politik 2024 berbagai lembaga telah melakukan survei elektabilitas para aktor politik yang diperkirakan akan bertarung pada pemilihan presiden (pilpres). Rata-rata hasil survei per Januari 2023 dari beberapa lembaga menunjukkan bahwa elektabilitas Anies Baswedan dan Prabowo Subianto mengalami fluktuasi, sedangkan Ganjar Pranowo mengalami peningkatan. Sementara hasil survei elektabilitas partai politik (parpol) masih dipimpin oleh PDI-P 22,9%, disusul Gerindra (14,3%), serta Golkar yang sudah berhasil menggeser Demokrat dari posisi ketiga.

Metode survei merupakan bagian dari intrumen demokrasi untuk mengetahui bagaimana respons publik atas perilaku politik (political behavior) dari aktor politik. Sebab beberapa aktor politik telah melakukan sosialisasi untuk mendapatkan dukungan publik, seperti Anies Baswedan yang didukung Partai NasDem, dan Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra yang didorong oleh kader partai dan loyalisnya. Kemudian Ganjar Pranowo yang mendapatkan dukungan dari simpatisan PDI-P, serta beberapa nama lain yang berkembang di tengah masyarakat sebagai bakal calon presiden seperti Ridwan Kamil, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, dan Puan Maharani.

Tidak hanya aktor politik, parpol juga nampak intens melakukan konsolidasi dan komunikasi politik untuk membangun koalisi bersama partai lain. Misalnya, Koalisi Perubahan yang diusung oleh NasDem, PKS, dan Demokrat, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP, Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya yang digagas oleh Gerindra dan PKB.

Sebagai negara demokrasi yang menghendaki pemberlakuan sistem multiple party, konsolidasi dan koalisi adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh parpol untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan secara konstitusional. Namun perlu diingat bahwa hal yang paling substansi dari demokrasi adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui program-program konkret yang ditawarkan kepada publik. 

Perihal konsolidasi dan koalisi partai hanya bagian dari proses politik yang diisi oleh kalangan elite partai. Sementara yang dibutuhkan masyarakat selaku grassroot dari demokrasi adalah agenda-agenda politik yang nyata untuk menggapai kesejahteraan.

Situasi politik yang tidak menyentuh substansi kesejahteraan rakyat semacam ini, seharusnya tidak didukung oleh survei yang justru mengikuti perspektif elite partai. Survei hanya dilakukan untuk memeriksa popularitas dan elektabilitas aktor politik dan parpol, bukan untuk menghimpun kehendak rakyat agar dijadikan sebagai agenda politik. 

Dampak terburuk dari survei yang hanya mengikuti kehendak politisi daripada kehendak rakyat; adalah memperpanjang politik patronase dan klientelisme. Itu karena agenda politik yang dikedepankan adalah politik transaksional untuk membangun elektabilitas bukan lagi politik programatik yang mensejahterakan.

Aspinall dan Barenschot (2019) mengemukakan bahwa lahirnya politik transaksional antara lain karena kepercayaan aktor politik kepada kekuatan informal yang disebut sebagai tim sukses. Kepercayaan tersebut agar kekuatan informal dapat mensosialisasikan politisi yang menjadi patron mereka kepada masyarakat. 

Hubungan politisi sebagai patron dan tim sukses sebagai klien ini terbangun di atas transaksi berupa uang, barang, dan janji proyek serta jabatan. Pada akhirnya, politisi yang terpilih dari hasil politik transaksional tidak mampu merancang agenda kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Itu karena mereka masih tersandera oleh tim sukses yang rutin meminta jatah.

Pelayanan publik sebagai agenda survei

Semestinya survei yang merupakan bagian dari instrumen demokrasi lebih berpihak kepada rakyat selaku popular control dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana harapan rakyat kepada pemerintah, dan apa yang dibutuhkan masyarakat sehingga pemerintah dapat memenuhinya. Contoh pertanyaan yang memperlihatkan bahwa survei politik berpihak kepada upaya kesejahteraan rakyat adalah bagaimana kepuasan masyarakat atas praktik pelayanan publik, serta bagaimana harapan masyarakat terhadap praktik pelayanan publik.

Hal ini karena semua agenda kebijakan atau program politik yang menghubungkan antara masyarakat dengan pemerintah adalah bagian dari ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Bahkan jika dirujuk lebih jauh, cita-cita bernegara yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwasanya negara memiliki kewajiban untuk melindungi, mencerdaskan, serta memajukan kesejahteraan umum adalah bagian terintegral dari pelayanan publik.

Sejauh ini kualitas pelayanan publik masih jauh dari harapan masyarakat. Terbukti dari laporan masyarakat kepada Ombudsman selaku lembaga pengawas pelayanan publik yang semakin meningkat. Berdasarkan Laporan Tahunan Ombudsman RI pada 2020 terdapat 6.911 laporan, bertambah 253 laporan pada 2021, kemudian bertambah 14% pada 2022. Bentuk maladministrasi yang paling sering terjadi adalah penudaan berlarut 33,91%, tidak memberikan pelayanan 27,37%, penyimpangan prosedur 22,23%.

Data-data ini mengkonfirmasi bahwa seharusnya isu pelayanan publik dijadikan sebagai agenda survei. Tujuannya supaya pesan untuk membawa kesejahteraan kepada rakyat melalui program konkret yang tidak lain adalah bagian dari praktik pelayanan publik, dapat tersampaikan kepada para calon pemangku kebijakan di periode berikutnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat