visitaaponce.com

Mudik Agraria

Mudik Agraria
(Dok. Pribadi)

SETIAP tahun, Lebaran Idul Fitri selalu diwarnai tradisi mudik. Jutaan orang berduyun-duyun pulang dari kota menuju kampung halaman masing-masing. Tidak bisa dimungkiri mudik memiliki motif sosio-religius yang sangat kental: memperkuat silaturahim dan bermaaf-maafan dengan keluarga besar serta memperbarui ikatan batin kepada tanah leluhur.

Secara ekonomi, mudik juga memiliki signifikansi tersendiri. Jutaan pemudik membelanjakan uang di kampung halamannya yang berkontribusi besar pada perputaran roda perekonomian di perdesaan.

Meski demikian, tradisi mudik dalam konteks problem agraria dan lingkungan kekinian sebenarnya juga mencerminkan dua gejala alienasi. Pada level psikologis, alienasi terjadi ketika kerinduan pada 'kampung halaman' justru mengantarkan pada fakta getir 'kampung yang tidak lagi berhalaman'. Kerinduan pada alam perdesaan yang indah dengan warganya yang guyub kini membentur kenyataan pahit transformasi bentang alam perdesaan yang ditandai ekspansi kebun sawit yang monokultur, deretan vila angkuh di daerah pegunungan, bungalo mewah yang menutupi pantai, atau lubang-lubang besar bekas tambang. Mudik juga merupakan gejala alienasi struktural seperti tampak pada ironi berikut ini. Sementara itu, setiap tahun pemerintah sibuk memfasilitasi 'arus kembali ke desa', pemerintah abai terhadap fakta 'arus terusir dari desa' yang dialami penduduk perdesaan dan berlangsung rutin sepanjang tahun.

Selama periode 2003-2013 saja, BPS mencatat sekitar 5,1 juta rumah tangga tersingkir dari sektor pertanian karena ketiadaan akses yang cukup pada lahan pertanian. Hal itu memaksa sebagian anggota rumah tangga petani yang jumlahnya bisa ratusan ribu orang pergi ke kota-kota besar, bahkan mancanegara. Arus tersebut turut menyumbang pertumbuhan penduduk urban yang tidak terkendali, pembentukan slum areas dan peningkatan kriminalitas di kota, serta kisah pilu para buruh migran di luar negeri yang mengalami penganiayaan, pemerkosaan, bahkan hukuman mati.

MI/Duta

 

Pengingkaran desa

Dua bentuk alienasi di atas pada dasarnya berakar pada faktor yang sama. Desa terus dirindukan, tetapi proses pembangunan justru mendorong hal sebaliknya! Tidak heran apabila banyak pemuda desa enggan tinggal di kampung halamannya dan memilih pergi ke kota.

Keengganan pemuda itu tidak selalu dipicu faktor keinginan, tetapi sebagian besar juga karena faktor keterpaksaan.

Lihat saja kenyataan berikut ini. Persentase petani tak berlahan meningkat pesat: 21% (1983), 30% (1993), dan 36% (2003). Demikian juga dengan persentase petani guram (berlahan < 0,5 ha) meningkat: 45% (1983), 49% (1993), dan 51% (2003). Total lahan pertanian yang dikuasai petani guram teramat kecil: 10,5% dari total lahan pertanian (1983), 12,8% (1993), 12,7% (2003), dan 11,94% (2013) (Bachriadi & Wiradi 2011; Shohibuddin, 2020).

Data Sensus Pertanian terakhir (2013) menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan pertanian pada golongan rumah tangga petani guram hanya sebesar 0,18 ha. Dengan struktur demikian, pemuda dari keluarga petani guram hampir tidak memiliki harapan untuk dapat mewarisi lahan yang mencukupi untuk menopang kehidupannya secara layak.

Selain kondisi distribusi tanah yang timpang di atas, dewasa ini wilayah perdesaan juga menyaksikan terjadinya perubahan alih fungsi lahan pertanian pangan yang mencolok.

Data potensi desa menunjukkan bahwa selama 2003-2011 persentase desa bertipe persawahan telah menurun tajam yang akan mengancam produksi pangan nasional: 70% (2003), 54% (2005), 47% (2008), dan 40% (2011). Pada saat yang sama, desa bertipe perkebunan meningkat secara pesat (Soetarto & Agusta 2012). Laju konversi sawah yang pesat ternyata tidak hanya terjadi di wilayah periurban karena ekspansi wilayah permukiman dan industri, tetapi juga berlangsung jauh di pelosok perdesaan.

Kondisi terakhir itu terjadi karena dipicu alih penguasaan tanah yang cukup besar kepada pemodal besar atau perusahaan yang mengambil alih lahan pertanian pangan milik petani untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dari aspek ketenagakerjaan, dampak perubahan itu sangat besar. Jika dibandingkan dengan usaha tani sawah yang padat karya, sektor perkebunan monokultur sangat irit menyerap tenaga kerja, apalagi jika diusahakan dalam skala korporasi.

Dua perubahan agraria itu ialah sebagian dari mekanisme yang dewasa ini memicu proses de-peasantization, yakni terpentalnya populasi perdesaan dalam jumlah cukup besar dari sektor pertanian. Dalam situasi kesempatan kerja nonpertanian yang tidak cukup berkembang di perdesaan, proses itu pun pada gilirannya telah mendorong derasnya arus migrasi ke luar desa, khususnya di kalangan pemuda.

 

Menuju mudik agraria

Momentum mudik Lebaran seharusnya bisa digunakan untuk mengakhiri pengingkaran terhadap desa semacam di atas. Namun, mudik yang dimaksudkan di sini bukanlah pulang kampung seperti rutinitas tahunan selama ini demi sebuah kerinduan psikologis yang alienatif. Namun, lebih mendasar dari itu, ialah pulang dalam rangka 'mudik agraria'! yakni mudik untuk menghadang laju de-peasantization dan sebaliknya, mendorong revitalisasi pertanian dan industri perdesaan.

Secara konkret, mudik agraria berarti mengupayakan penguatan kapasitas desa dan warganya agar mampu merevitalisasi basis-basis kekuatan produktif di perdesaan, baik di sektor pertanian maupun nonpertanian. Hal itu menuntut pembaruan tata kelola sumber daya alam di desa, penguasaannya secara produktif, dan distribusi manfaatnya secara inklusif. Sebagai, misal, konsentrasi penguasaan tanah yang menyebabkan keterbatasan akses lahan pertanian di antara para pemuda calon petani di desa harus dicegah, apalagi jika dilakukan orang luar desa untuk tujuan spekulasi.

Demikian pula tanah-tanah di desa yang telantar, absentee, dan melampaui batas maksimum perlu diidentifikasi secara cermat dan diprioritaskan untuk dijadikan sebagai sasaran pembaruan.

Dari sinilah land reform pada skala lokal bisa diupayakan. Hal itu bisa dimulai dengan penyisihan tanah kas desa dan akuisisi atas tanah-tanah yang potensial menjadi sasaran pembaruan di atas.

Akuisisi tanah tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya pembiayaan dari dana desa, penggalangan dana untuk pengadaan tanah wakaf desa dari para pemudik yang sukses, di samping tentu saja melalui program reforma agraria dari pemerintah untuk tanah-tanah objek reforma agraria (TORA) yang memenuhi ketentuan peraturan.

Selain yang langsung diredistribusikan kepada petani, khususnya pada program reforma agraria dari pemerintah, sebagian tanah yang berhasil dihimpun dan diakuisisi kemudian bisa ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi (LPPA) milik desa.

Selain untuk mewujudkan kebijakan ketahanan pangan yang menjadi alokasi wajib dalam pembelanjaan dana desa, LPPA itu juga bisa dijadikan sebagai mekanisme penanggulangan kemiskinan di desa, misalnya dengan memberikan hak garap bergilir kepada keluarga petani miskin dengan sewa murah atau bahkan tanpa pungutan biaya sama sekali. Untuk pengelolaannya, Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) dapat dibentuk untuk mendayagunakan LPPA tersebut secara produktif, sementara para pemudik yang sukses bisa dilibatkan untuk memperkuat permodalan dan manajemennya.

Sementara itu, para petani guram yang lahannya sempit dan tidak memenuhi economic scale perlu didorong dan diyakinkan untuk membentuk badan usaha bersama dalam bentuk koperasi atau lainnya yang akan mengonsolidasikan lahan guram itu dan mengelolanya pada skala yang lebih menjamin produktivitas dan keuntungan. Mereka selanjutnya akan menjadi shareholders pada badan ini sekaligus tenaga kerjanya sehingga memperoleh pembagian dividen dan upah kerja. Para pemudik yang sukses bisa membantu memperkuat permodalan badan tersebut, baik melalui sedekah maupun zakat mal.

Jika para petani guram itu bersepakat, skema wakaf bersama atau joint waqf dapat diterapkan untuk mengonsolidasikan lahan pertanian mereka. Dalam ikrar wakaf bersama itu, dinyatakan secara eksplisit bahwa pemilik tanah asal tetap dijamin sebagai penerima manfaatnya pascakonsolidasi tanah dan pengelolaannya secara produktif oleh pengelola wakaf (nazir) yang profesional (cf Shohibuddin, 2019).

Alih-alih terlibat dalam pembelian dan akumulasi tanah di kampung halamannya (cf kecaman QS 102 & 104), para pemudik yang memiliki kelonggaran ekonomi perlu didorong untuk membangun kampung halamannya dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk dibelikan tanah yang selanjutnya diwakafkan sebagai LPPA.

Pengelola LPPA itu bisa saja yayasan keluarga guna membantu famili yang berkesusahan maupun oleh desa guna digilirkan penggarapannya di antara penduduk desa yang miskin dan membutuhkan akses lahan pertanian. Begitu juga wakaf harta bergerak bisa digalang dari para pemudik, misalnya untuk penyediaan alat dan mesin pertanian dalam rangka menjalankan modernisasi pertanian dalam pengusahaan LPPA.

Akhirnya, bekerja sama dengan BUM-Des, para pemudik yang kaya juga bisa didorong untuk berinvestasi di kampung halamannya dalam rangka mengupayakan proses hilirisasi produk pertanian dan dengan begitu mendorong industrialisasi perdesaan. Hal itu akan menciptakan nilai tambah bagi komoditas pertanian yang dihasilkan di desanya sekaligus memberi peluang kerja bagi pemuda yang masih serabutan di kota sehingga mereka tidak perlu kembali lagi ke sana. Selamat mudik agraria!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat