visitaaponce.com

Urbanisasi

Urbanisasi
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

DULU, setidaknya hingga lima tahun terakhir, selepas musim mudik Lebaran, media massa biasanya ramai memberitakan operasi yustisi di sejumlah kota besar, terutama Jakarta. Di televisi, kita menyaksikan wajah-wajah lugu setengah ketakutan di sejumlah perkampungan urban didatangi aparatus kota. Tidak jarang saudara-saudara kita itu juga dirazia di terminal maupun pelabuhan. Para pendatang yang dianggap ‘haram’ itu diperiksa kelengkapan identitasnya. Alasannya, seperti yang sering kita dengar dan baca di buku-buku pelajaran sekolah, mereka yang dianggap tidak memiliki skill dapat menimbukan masalah sosial baru di perkotaan, seperti meningkatnya angka kriminalitas, pengangguran, dan sebagainya. 

Lucunya, mereka yang kerap lantang ‘berteriak’ antipendatang itu umumnya ialah kalangan kelas menengah kota yang notabene dulunya juga berasal dari kampung. Baik itu pengamat sosial, anggota dewan, maupun para pegawai pamong praja. Sebagian dari mereka mungkin memang merupakan kaum berpendidikan yang katanya dianggap punya keahlian, tapi tidak menutup kemungkinan pula ada yang cuma bermodalkan koneksi, kolusi, dan nepotisme, serta sedikit keterampilan tipu-tipu dan menjilat, bukan? Lagi pula apa hak sekelompok warga negara melarang warga lainnya untuk tinggal di suatu wilayah atau teritori?

Betul, urbanisasi yang tidak terkendali dapat menimbulkan persoalan. Justru di situlah tantangannya, bagaimana negara mengelola pembangunan agar dapat dinikmati seluruh warganya, baik yang tinggal di desa maupun kota. Bukan malah melemparkan persoalan kepada mereka. Oleh karena itu, program pembangunan desa (yang ditopang anggaran/dana lumayan besar) yang kini gencar dicanangkan pemerintah sudah sepatutnya dikawal dengan serius agar implementasinya berjalan mulus sehingga tidak sekadar jadi slogan. Begitu pula dengan aturan mengenai otonomi daerah yang misi utamanya dibuat untuk menyejahterakan warga, perlu dikembalikan ke khitahnya agar tidak cuma menguntungkan segelintir elite lokal beserta kroninya. 

Menurut World Economic Forum, pada abad ke-21 ini urbanisasi merupakan persoalan global. Prospek urbanisasi dunia yang dilakukan PBB (UN World Urbanization Prospects) pada 2018 menyebut populasi yang meningkat pesat di kota-kota besar akan menjadi kontributor yang signifikan bagi perkembangan ekonomi. Menurut studi tersebut, jumlah kota regional hingga menengah (dengan jumlah penduduk antara 500 ribu hingga 5 juta jiwa) akan membengkak secara drastis pada 2030 dan akan menjadi pusat ekonomi yang kian berpengaruh. 

Jika kita perhatikan perkembangan kota-kota besar di Asia Tenggara yang umumnya ditandai dengan bangunan tinggi menjulang, menjamurnya apartemen, kafe, dan mal kelas dunia, beserta infrastruktur jalan dan transportasi yang didanai konsorsium internasional, wajah globalisasi terlihat di sana. Namun, tak bisa dimungkiri denyut perekonomian di tengah lanskap perkotaan yang supermodern itu juga digerakkan oleh mereka yang berasal dari kampung, entah yang mengadu nasib sebagai kurir, pengemudi ojek online, buruh pabrik, asisten rumah tangga, pedagang kaki lima, maupun yang cuma bermodalkan keterampilan joget viral di media sosial. 

Laju urbanisasi yang ikut membentuk wajah dan tatanan ekonomi global itu jangan pernah dianggap sepele. Ia justru harus dikelola dengan serius dan sungguh-sungguh, baik oleh komunitas, lembaga swadaya masyarakat, maupun pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Solusinya, lagi-lagi, tentu saja tidak cukup hanya dengan menggelar operasi yustisi. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat