visitaaponce.com

Konflik Sudan Jadi Pembelajaran Merawat Demokrasi

Konflik Sudan Jadi Pembelajaran Merawat Demokrasi
Ucuy Mayshuri(Dok pribadi)

PERANG saudara yang tengah berlangsung di Sudan dengan cepat menempatkan negara tersebut menuju skenario kehancurannya. Palagan yang dikomandoi oleh dua pemimpin militer top yakni Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (Angkatan Bersenjata Sudan/SAF) melawan Mohammed Hamdan Dagalo/Hemedti (Kepala paramiliter/RSF), tidak saja menganggu upaya Sudan dalam melawan kehancuran ekonominya. Tetapi juga berpotensi meluaskan eskalasi konflik ke negara di sekelilingnya yang pernah dilanda perang saudara.
  
Kedua jenderal yang dulunya sempat akrab dan bahu membahu dalam kudeta bersama itu memutuskan untuk bercerai. Perceraian demi merebut supremasi itu mengakibatkan penderitaan massal yang harus ditanggung rakyat Sudan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikutip dari Reuters (21/4) melaporkan jumlah korban tewas akibat konflik di Sudan telah mencapai 413 jiwa. Sementara lebih dari tiga ribu orang mengalami luka-luka. 

Arti bagi Indonesia

Sudan memiliki arti penting bagi Indonesia dalam banyak aspek. Selain karena sama-sama menjadi negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Sudan juga menjadi salah satu rumah bagi jutaan pelajar Indonesia sejak era sebelum kemerdekaan. Hingga kini, Sudan merupakan salah satu pilihan terfavorit pelajar dari Tanah Air untuk menimba ilmu. Itu terlihat dari jumlah warga yang dievakuasi. Indonesia mengevakuasi warga dengan jumlah terbanyak kedua setelah Mesir yang merupakan tetangga Sudan. (Editorial Media Indonesia, 27/4).  

Satu hal yang juga tidak kurang pentingnya ialah bahwa Sudan sejak beberapa tahun belakangan, diharapkan menjelma menjadi negara dengan penduduk mayoritas Islam yang demokratis sebagaimana halnya Indonesia. Harapan itu benar-benar tampak nyata tatkala Sudan mampu menyudahi rezim diktator yang dipimpin Presiden Omar Hassan yang berkuasa selama 30 tahun (1989-2019). 

Sudan sudah mengalami sekian kali kudeta pascamerdeka dari penjajahan Inggris dan Mesir di 1956. Karenanya, Sudan juga dikenal sebagai 'negeri kudeta'. Yang membedakan kudeta terakhir dengan kudeta militer pada masa-masa sebelumnya ialah adanya tekad dari pemimpin militer Sudan untuk mendukung negara ke arah demokrasi.  

Sudan sempat dielu-elukan mampu mengelola negara kearah demokratisasi. Namun saat ini harapan itu menjadi sirna. Sulit bagi Sudan untuk mendambakan lahirnya pemilihan umum di tengah kecamuk perang saudara sekurang-kurangnya dalam kurun waktu bebebrapa tahun ke depan.  

Pelajaran berharga

Dalam sudut pandang demokrasi, terdapat setidaknya dua pelajaran berharga yang dapat kita petik dari tragedi politik dan kemanusiaan yang terjadi di Sudan. Pertama, masa transisi kekuasaan yang begitu cepat sebagaimana terjadi di Sudan lewat komando dua kekuatan besar nan berpengaruh, nyatanya tidak cukup membuat Sudan untuk bersatu. 

Kendati model pengaruh kuasa, relatif berbeda dengan Indonesia yang menampilkan keberadaan relasi kekuatan yang beragam. Namun dari aspek relasi antarkekuatan/faksi untuk melewati masa transisi politik, dapat kita pelajari sebagai suatu kondisi yang memperlihatkan pentingnya mengkompromikan hasrat supremasi dengan jalan yang lebih lembut. Lemahnya upaya untuk menjajaki konsensus bernegara juga menjadi faktor mendasar yang meruncingkan perbedaan antar faksi, meski semula saling mendukung.
 
Kedua, Indonesia dan Sudan sama-sama negara yang dianugerahi kemajemukan. Berbagai segmen meliputi etnis, suku, klan, sub-klan, dan ideologi ada di Sudan. Kegamangan dalam mengelola perbedaan diperparah dengan persaingan antarfaksi yang sama-sama mempunyai nafsu besar untuk berkuasa, membuat Sudan kesulitan untuk bersatu meski anjuran untuk membudayakan musyawarah dan demokasi digelorakan. Dari fakta keragaman inilah Indonesia perlu untuk meningkatkan kewaspadaan, dan menjunjung fitrah keragaman serta persatuan diatas kepentingan politik praktis.     

Merawat demokrasi

Apa yang dialami oleh Sudan dan sebagian besar negara berpenduduk mayoritas Islam (Irak, Aljazair, Suriah, Libya, Lebanon) selama lebih dari satu dekade terakhir, harus diperhatikan sebagai fenomena yang perlu untuk diantisipasi oleh Indonesia. Hanya karena masalah kekuasaan, banyak di antara negara-negara tersebut sampai harus menumpahkan darah sesama saudaranya sendiri. Demokrasi yang mereka dambakan tidak ubahnya seperti barang mahal dan langka. 

Dari sinilah kita perlu untuk bersyukur karena menjadi negara yang mampu mengelola perbedaan dan melewati masa-masa transisi tanpa harus saling angkat senjata, tanpa harus saling menumpahkan darah. Perbedaan pilihan dalam perhelatan Pemilu adalah suatu ciri hidupnya dinamika dalam berdemokrasi. Jangan karena perbedaan pilihan, lantas kita menyingkirkan kepentingan persatuan.
    
Demokrasi yang telah kita jalankan di antaranya melalui beberapa kali perhelatan pemilu, harus dirawat dan diperkuat sebagai simbol pendewasaan berbangsa. Kita semua harus terbiasa menjadi manusia demokrat (senang bermusyawarah). Bukan menjadi manusia yang saling menuding satu sama lain dengan serangkaian narasi yang bersifat memojokan.
 
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam buku berjudul How Democracies Die menyatakan bahwa salah satu gejala dari perilaku individu ataupun kelompok yang dapat mengancam demokrasi adalah sikapnya yang menolak aturan main demokrasi, baik dengan kata-kata atau perbuatan; termasuk memberi toleransi terhadap narasi bernuansa kekerasan dan fitnah. 

Kita mengetahui bahwa kerap kali dalam suasana jelang pemilu, berbagai narasi yang kontraproduktif dengan pengembangan gagasan dalam demokrasi begitu nyaring. Kadang kala, olok-olok politik serta ujaran kebencian dengan sengaja didiasporakan sebagai alat untuk menyerang satu sama lain. Hal itu terutama begitu terlihat dari statemen yang dilayangkan oleh para pelaku media sosial di Tanah Air. 

Siapapun mereka, entah terafiliasi dengan parpol tertentu atau hanya sebatas simpatisan dari salah satu calon presiden, yang jelas narasi-narasi yang dikeluarkan sama sekali jauh dari nilai budaya politik Indonesia.  

Semestinya, kita warnai ruang keterbukaan pendapat dalam momentum jelang pemilu dengan narasi mencerdaskan yang bertolak dari ide untuk kemajuan Indonesia ke depan. Bukan malah membudayakan perang narasi negatif yang semakin meruncingkan perbedaan. 

Kita tidak perlu sibuk mencari perbedaan dan memagari diri untuk saling menjauh. Karena sejak zaman baheula fitrah kita memang sudah beragam. Justru dari fitrah keragaman itulah kita perlu untuk duduk bareng; mengembangkan kedewasaan sebagai bangsa dan menegakan persatuan sebagai narasi utama. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat