visitaaponce.com

Pemerintah Diminta Prioritaskan Keselamatan WNI di Sudan

PERANG saudara masih berkecamuk di Sudan. Pertempuran antara militer dan kelompok paramiliter yang disebut Pasukan Pendukung Cepat (RSF) meletus sejak Sabtu, (15/4).

Dikabarkan pula beberapa pertempuran terjadi di dekat kompleks asrama mahasiswa Indonesia yang berada di Kota Khortoum Sudan. Menanggapi hal ini Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah segera mengambil langkah-langkah taktis untuk memastikan keamanan dan keselataman seluruh WNI.

"Kami mengapresiasi Kemenlu yang telah melakukan koordinasi dengan KBRI dan melakukan upaya pengamanan WNI di Sudan. Saya berharap pemerintah segera menyusun beberapa skenario untuk pengamanan dan penyelamatan WNI," ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa (18/4).

Baca juga : Perang Saudara Bergejolak, WNI Ingin Dievakuasi dari Sudan

Skenario untuk melakukan evakuasi WNI juga perlu dibuat jika kondisi semakin memburuk. Saat ini dengan posisi mahasiswa indonesia tertahan di asrama, KBRI perlu memastikan suplai makanan tetap terjaga.

Menurut informasi dari Kemenlu, jumlah WNI di Sudan saat ini sebannyak 1.209 orang, dan dilaporkan semua dalam keadaan aman. Sukamta meminta KBRI terus memantau secara intensif kondisi WNI di Sudan.

Baca juga : Kemenlu Berharap segera Evakuasi WNI dari Khartoum

KBRI juga perlu mengantisipasi jalur komunikasi ke WNI agar tetap tersambung, mengingat ada rencana pemutusan sambungan internet di Sudan. Dia berharap situasi di Sudan bisa segera kondusif dan aman kembali.

Semua WNI dan mahasiswa untuk terus menjaga kontak dengan KBRI, saling membantu dan saling menjaga ketenangan. "Tentu ini bukan situasi yang mudah, tapi saya percaya langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan bisa dilalukan dengan baik, sebagaimana pengalaman Kemenlu mengevakuasi WNI di Ukraina," pungkasnya.

1.209 WNI di Sudan ingin dievakuasi

Suara ledakan bom dari artileri, pesawat tempur, tank, dan senapan mesin bergema di telinga rakyat Sudan sejak Sabtu (14/4) lalu. Kegentingan yang telah merenggut nyawa 97 orang hingga hari ini membuat 1.209 warga negara Indonesia (WNI) yang sedang mengadu nasib dan menimba ilmu ingin dievakuasi.

Agar selamat dan tidak menjadi sasaran militer Sudan maupun kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF), para WNI memilih tidak keluar dari rumah. Meski demikian sebagian dari mereka masih terintimidasi karena RSF mencoba masuk asrama, apartemen maupun kantor karena tersudut oleh militer Sudan.

Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan Althof Madani Ahsin mengaku, evakuasi harus segera dilakukan pemerintah Indonesia terhadap WNI di negara tersebut. Pria asal Cirebon, Jawa Barat, ini menyampaikan tidak ada WNI yang menjadi korban konflik kekuasan di tubuh militer Sudan yang sudah berlangsung selama tiga hari tersebut.

"Kami sebagai WNI berharap kepada KBRI atau pemerintah indonesia untuk bisa mencari solusi secepatnya untuk bisa menyalurkan bantuan kepada WNI yang terkena dampak dari bentrokan ini. Kami berharap KBRI dan pemerintah Indonesia untuk bisa melakukan kontinjensi atau evakuasi WNI dari Sudan," paparnya kepada Media Indonesia, Senin (17/4).

Menurut pria berusia 30 tahun ini, WNI yang berada di Sudan sebenarnya tidak ingin pergi dalam waktu dekat jika tidak terjadi konflik. Maka masyarakat dunia harus mendorong kedua pihak yang berkonflik untuk berdamai dan mencari jalan keluar atas semua masalah dengan dibicarakan secara baik-baik. Karena konflik ini dapat menyebabkan rentetan pengaruh negatif yang panjang bagi masyarakat sipil baik politik, keamanan maupun ekonomi.

"Harapan kami untuk masyarakat dunia maupun pihak berkuasa untuk mendesak kedua kekuatan militer di sudan yang berbentrokan untuk mengakhiri konflik yang bisa berbuntut panjang ini," jelas Mahasiswa pascasarjana di Universitas Al-Qur'an Al-Karim Omdurman itu.

Perang berlangsung sejak 2013

Perang saudara di Sudan adalah konflik bersenjata yang terjadi di Sudan sejak tahun 2013 antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak yang terutama berasal dari wilayah selatan dan barat Sudan. Konflik ini dimulai setelah Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan rencana untuk menghapus subsidi bahan bakar, yang menyebabkan harga naik secara drastis dan memicu protes di seluruh negara.

Para pemberontak menuduh pemerintah Sudan telah melakukan diskriminasi terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh kelompok etnis non-Arab, serta mengejar kebijakan ekonomi yang merugikan wilayah-wilayah tersebut. Konflik ini telah mengakibatkan ribuan kematian dan jutaan orang mengungsi dari rumah mereka.

Pada tahun 2019, setelah berlangsungnya negosiasi selama beberapa tahun, pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak menandatangani kesepakatan damai di bawah kendali Dewan Transisi Militer. Namun, masih ada beberapa kelompok pemberontak yang menolak kesepakatan tersebut dan masih terjadi kekerasan di beberapa wilayah di Sudan. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat