visitaaponce.com

Terobosan Pemantauan Biodiversitas Akuatik dengan eDNA

Terobosan Pemantauan Biodiversitas Akuatik dengan eDNA
Mita Aprilia(Dok pribadi)

KEANEKARAGAMAN hayati global cenderung mengalami penurunan signifikan, mencapai rerata 69% pada kurun 1970-2018, tak terkecuali di Indonesia. Angka penurunan populasi ini disimpulkan setelah mengidentifikasi lebih dari 5.230 spesies di seluruh dunia. Hal tersebut terangkum dalam Living Planet Report 2022 yang disusun oleh organisasi konservasi dunia World Wide Fund for Nature (WWF).  

Pesatnya penurunan keanekaragaman hayati ini perlu menjadi bahan renungan pada Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2023, dan diperlukan terobosan (breakthrough) yang dapat sajikan informasi komprehensif tentang jenis dan kuantitas biodiversitas terestrial dan akuatik. 

Pelestarian keanekaragaman hayati di tengah tekanan manusia yang terus meningkat terhambat akibat kurangnya informasi dasar tentang keberadaan spesies, distribusi, kelimpahan, habitat yang sesuai, serta ancaman dari fenomena alam dan perilaku manusia. Memperoleh informasi ini membutuhkan metode yang efisien dan sensitif yang mampu mendeteksi seluruh makhluk hidup, termasuk spesies langka. 

Munculnya teknik sekuensing DNA yang cepat dan relatif murah telah secara tajam meningkatkan penelitian keanekaragaman hayati. Pengambilan sampel environmental DNA (eDNA) telah menarik perhatian dunia, dan minat untuk menggunakan tools ini dalam penilaian keanekaragaman hayati telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Dua istilah yang paling banyak mendapat perhatian dalam studi berbasis eDNA adalah barcoding dan metabarcoding. Perbedaan utama antara keduanya adalah; barcoding menggunakan primer spesifik untuk mendeteksi fragmen DNA dari satu spesies, sedangkan metabarcoding menggunakan primer universal untuk secara bersamaan mendeteksi jutaan fragmen DNA dari berbagai spesies.

Mendeteksi fragmen 

eDNA bersumber dari materi genetik yang berasal dari rambut, kulit, urin, feses, gamet, dan bagian tubuh lainnya, hingga bangkai organisme dalam bentuk yang sudah terdegradasi, baik di air, sedimen, tanah, maupun udara. Pemanfaatan eDNA memiliki potensi yang sangat menjanjikan dalam bidang konservasi. 

Pertama, teknik eDNA cepat, efisien, dan relatif murah, sehingga memberikan peluang untuk memantau dinamika spesies, populasi, dan komunitas, keanekaragaman, serta untuk memetakan distribusi geografisnya dalam periode waktu yang lama dan skala spasial yang besar. 

Kedua, pengambilan sampel eDNA sederhana, tidak merusak, dan tidak invasif, karena tidak ada kontak langsung kepada biota dan habitatnya. Ketiga, eDNA memiliki kemungkinan deteksi yang tinggi untuk spesies langka bahkan jika kepadatannya relatif rendah, dan mampu mendeteksi organisme dalam stadia juvenil hingga larva. 

Keempat, eDNA memungkinkan deteksi dini invasi biologis dan pemberantasan tepat waktu sebelum terjadinya dominansi. Kelima, eDNA memungkinkan identifikasi organisme target secara akurat menggunakan metode standar berbasis genetik. Keenam, pengambilan sampel eDNA berpotensi menawarkan cakupan taksonomi yang luas, sehingga memungkinkan penilaian keanekaragaman hayati secara simultan untuk berbagai organisme.

Kontroversi eDNA

Namun, seiring signifikansi ekologis dan konservasi yang berpotensi dapat diatasi dengan eDNA, ada banyak tantangan dan juga keterbatasan. Perujukan Operational Taxonomic Unit (OTU) ke spesies merupakan langkah mendasar. Namun, ketidaklengkapan database referensi menjadi batasan penting dalam hal ini. Lalu, apakah pengambilan sampel eDNA lebih sensitif dan memiliki resolusi lebih tinggi daripada metode pemantauan biodiversitas konvensional, tetap kontroversial. 

Untuk beberapa spesies, eDNA memang bekerja lebih baik daripada metode tradisional; untuk yang lain, eDNA sama baiknya dengan survei tradisional. Sedangkan untuk beberapa kasus, eDNA memberikan sedikit manfaat tambahan. Selain perbedaan spesifik spesies dalam sensitivitas antara eDNA dan survei tradisional, lingkungan, waktu, dan faktor biotik juga memainkan peran penting. 

Dalam ekosistem perairan misalnya, eDNA dapat bertahan beberapa jam hingga sebulan setelah dilepaskan oleh biota. Selain itu, perbedaan persistensi eDNA dapat terjadi bahkan di dalam lingkungan yang sama, misalnya, antara lapisan permukaan dan dasar perairan.

Kemampuan eDNA untuk mendeteksi kehadiran suatu biota yang 'tidak terlihat' di habitatnya juga menimbulkan pertanyaan, apakah organisme tersebut benar-benar ada pada saat pemantauan atau hanya fragmen DNA-nya saja yang tersisa. Sayangnya, eDNA belum mampu membedakan fase hidup biota yang teridentifikasi. 

Degradasi eDNA di lingkungan juga membatasi ruang lingkup studi eDNA, karena seringkali hanya sebagian kecil dari materi genetik yang tersisa. Lalu, ada juga kemungkinan kontaminasi yang terjadi, sehingga pengambilan sampel dan analisis laboratorium harus dilakukan dengan sangat hati-hati. 

Hal yang juga perlu digarisbawahi adalah perhitungan kelimpahan spesies dan keanekaragamannya diestimasi berdasarkan sekuen DNA yang terbaca, bukan berdasarkan kelimpahan individu. Jadi, ada kemungkinan bahwa sekuen DNA yang ditemukan berasal dari bagian tubuh yang berbeda tapi dari individu yang sama. 

Melengkapi pemantauan 

Pertimbangan utama dalam analisis eDNA adalah memaksimalkan pengumpulan DNA di lapangan, meminimalkan degradasi selama pengangkutan dan penyimpanan, serta memaksimalkan keberhasilan isolasi dan amplifikasi DNA di laboratorium. Informasi dari eDNA seringkali melengkapi data survei konvensional. 

Secara keseluruhan, eDNA menawarkan potensi yang sangat besar dalam survei biodiversitas, tidak hanya di ekosistem terestrial tapi juga di ekosistem akuatik, dan dapat memperkaya khasanah pemahaman tentang dinamika keanekaragaman hayati. Akan tetapi juga memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi berbagai tantangan dan memaksimalkan potensinya. Selanjutnya, pemantauan eDNA dapat menjadi pelengkap pemantauan biodiversitas, yang saat ini dilakukan secara konvensional, yang pada umumnya berfokus pada organisme yang masih hidup dan makroskopis. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat