visitaaponce.com

TikTok Effect

TikTok Effect
Rahman Mangussara(Dok pribadi)

JUDUL laporan survei TikTok yang, untuk pertama kalinya, dipresentasikan di Jakarta, 15 Juni 2023, sungguh provokatif dan menantang, The TikTok Effect: Accelerating Sout Eas Asia’s Businesses, Education and Community.  Efek TikTok? Apa iya, aplikasi media sosial yang belum berumur 10 tahun ini (TikTok diluncurkan 2016 di Tiongkok, dan versi internasionalnya baru keluar setahun setelahnya) sudah punya efek?

Come on! Facebook saja yang sekarang penggunanya sebanyak jumlah penduduk Tiongkok dan India disatukan, yakni 2,9 miliar, kedodoran di tahun-tahun awal kehadirannya pada 2004. Jadi apa yang begitu mengesankan dari TikTok?

Coba kita periksa statistiknya. Data per Januari 2023 memperlihatkan bahwa para pengguna media sosial dunia menghabiskan waktu 23 jam dan 28 menit dalam sebulan untuk mengkases TikTok, hal ini menempatkan TikTok sebagai juara dunia jauh melampaui ‘empat pendekar’ medsos yang lahir duluan; YouTube (23 jam dan 09 menit) dan Facebook (19 jam dan 43 menit), WA (17 jam dan 3 menit) dan IG (12 jam).

Video singkatnya di for you page, #FYP, penggemar TikTok pasti familiar dengan tagar ini, sudah ditonton 35 triliun kali sejak diluncurkan 2017. We Are Social 2023 bahkan memberi penekanan pada data dan informasi ini bahwa 35 triliun itu benar adanya, bukan salah tulis alias typo.

Bayangkanlah kalau video ini berdurasi, ambil yang paling rasional, dua menit, dikalikan triliun maka kalkulator biasa tidak akan mampu menampilkan hasil perkaliannya. Yang pasti melebihi waktu eksistensi manusia di muka bumi ini. Sampai di sini, kita bisa mengatakan ‘kinerja’ TikTok memang mengesankan.

Penggunanya di dunia mencapai 1,05  miliar (naik 166 juta dibandikan akhir 2022), jumlah ini sekalipun masih di bawah Facebook yang sudah melampaui penduduk Tiongkok dan India digabungkan yakni 2,9 miliar. Namun angka itu diperoleh kurang dari 10 tahun sejak versi internasional TikTok diperkenalkan akhir 2017.

Khusus di negeri ini, pemakai TikTok sebanyak 109,9 juta  (40% dari penduduk Indonesia), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengguna TikTok nomor 2 dunia, setelah Amerika Serikat yang menjadi rumah bagi 116,5 juta orang pengguna aplikasi ini. Padahal Amerika adalah negara yang  pemerintahnya paling membenci TikTok.

Efek Ekonomi

Seperti halnya Facebook yang mengaku memberi dampak ekonomi kepada penggunanya yang berbisnis, TikTok pun begitu. Di kawasan Asia Tenggara, menurut laporan TikTok tadi, para pebisnis UMKM yang memanfaatkan TikTok Shop/Live mengaku pendapatannya naik 50%. Ada 325 juta pengguna TikTok seluruh kawasan Asia Tenggara, dengan 15 juta di antaranya tidak hanya menggunakan aplikasi ini untuk ha-ha-he-he, melainkan juga untuk bisnis. Ada empat dari lima usaha kecil menengah mengaku telah memindahkan usahanya dari toko tradisional ke toko TikTok.

Komunitas influencer TikTok juga berdampak besar. Sebanyak 80% pembuat konten mengaku pendapatanya terpicu naik dan nyaris seluruhnya mengatakan keahlianya dapat dimonetisasi. Proyeksi global menyebutkan bahwa uang yang berputar di industri marketing influencer ini akan mencapai 21,1 miliar dolar AS hingga akhir 2023.

Ekonomi dalam jaringan sudah menjadi keniscayaan. Konsumen perlahan tapi pasti telah mengubah budaya ekonominya dari belanja di pasar offline menjadi belanja di marketplace. Ini adalah fenomena global yang akan terus berlanjut. Pandemi menjadi akselerator yang belum pernah ada presedennya.

Akan tetapi, pada saat yang sama, tantangan akan keamanan data pun sama besarnya. Kejahatan cyber masih menjadi ancaman nyata di bisnis digital. Literasi digital mesti digenjot, suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawab bersama, konsumen, pemerintah dan pebisnis.

Disayang dan dibenci

Apa yang membuat TikTok begitu digandrungi, khususnya Gen Z dan wanita yang  bisa mengakses ratusan konten dalam sehari? Bukankan sudah ada ‘empat pendekar’ medsos yang menguasai jagad ha-ha-hi-hi ini?

Ada banyak analisis yang diajukan, namun agaknya yang dominan adalah karena; (1) TikTok memberi banyak fitur baru. Misalnya, format rasio foto/video vertikal, sesuatu yang tidak umum yang dianggap sebagai keren ketika semua konten video memakai rasio horizontal. Sangat mudah membuat berbagai macam kreasi editing, efek, musik dan lain lain yang memanjakan penggunanya yang malas otak atik perangkat editing. 

(2) Konten video singkat (awalnya hanya 15 detik) yang tidak serius (hanya joget dan hal jenaka lainnya) ketika hampir semua platform bicara panjang dan isinya mengerutkan dahi dan menguras kuota. Belakangan IG, YouTube dan Snapchat ikut membuat video berdurasi pendek.

(3) Algoritmanya bikin nyandu sehingga pengguna akan ketagihan untuk terus men-scroll layar ponselnya ke bawah demi melihat video yang direkomendasikan algoritma tadi. Maka tak heran jika penggunanya bisa menatap telepon pintar mereka berlama-lama dan berkali-kali dalam sehari sembari tertunduk dan tidak peduli dengan lingkungannya. ‘Kaum tertunduk’ inilah yang mensejahterakan TikTok yang kantor pusat globalnya berada di Los Angeles, Amerika, tempat aplikasi ini justru dicurigai dan dibenci.

Di Amerika  TikTok dituduh sebagai aplikasi yang (dapat) mencuri data-data penggunanya – semua aplikasi medsos pada dasarnya mengumpulkan data penggunanya - yang membahayakan keamanan nasional Amerika. Pemerintah negara bagian Montana belum lama ini bahkan melarang seluruh warganya memakai TikTok. Selain Amerika ada puluhan negara di Eropa dan Asia, sebagian besar adalah kawan dekat Amerika, yang melarang pejabat pemerintah, parlemen dan pegawainya menggunakaan TikTok dengan kekhawatiran yang sama.  

Sesungguhnya, semua kita hanya samar-samar mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan semua aplikasi medsos dan aplikasi sejenis  terhadap data penggunanya dan dampak potensialnya terhadap keamanan suatu negara. Namun yang sudah pasti dan tidak diragukan lagi adalah mahadata pengguna medsos itu menjadi sumber penyusunan algoritma (kata ajaib di dunia medsos) untuk menghasilan cuan besar bagi pemilik aplikasi.

Sebagai aplikasi yang berasal dari luar Amerika yang lansung menohok kedigdayaan ‘empat pendekar’ medsos’  tidak berlebihan kiranya jika ada yang mempersepsikan bahwa kecurigaan dan tuduhan penyalahgunaan mahadata itu sebagai bagian dari ‘perang’ memperebutkan hegemoni negara dan bisnis. Untuk diketahui, Brand Finance’s Annual Global 500 mencatat, nilai nama TikTok di 2022 bernilai US$65,7 miliar, sementara Facebook tertinggal dengan nilai US$58,8 miliar.

Di Asia Tenggara, TikTok melenggang tanpa penolakan. Pun tidak ada juga yang peduli (setidak-tidaknya saya belum dengar) dengan keamanan data pemakainya. Mungkin saja pemilik akun TikTok tidak khawatir data-datanya dikumpulkan untuk tujuan tertentu, toh selama ini mereka merasa baik-baik saja. 

Agaknya karena itulah bos TikTok Shou Zi Chew bersusah payah  datang ke Jakarta untuk mempresentasikan laporannya tentang dampat perusahaan terhadap perkembangan bisnis digital di kawasan ini. Ia sekaligus berjanji akan menggelontorkan uang miliar dolar demi memberi bantuan pelatihan dan pembiayaan kepada usaha yang berbisnis online dan pada kreator konten.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat