visitaaponce.com

Problem Perundungan di Ruang Pendidikan

Problem Perundungan di Ruang Pendidikan
Ilustrasi mI(MI/Seno)

PROBLEM perundungan di ruang pendidikan tampaknya selalu berulang dan hadir. Setidaknya, dalam rentang sepuluh tahun terakhir, selalu saja kita membaca kisah memilukan terjadinya perundungan di ruang pendidikan. Terkait isu itu, Yayasan Sukma pada 18 Juli lalu membahas buku Manajemen Konflik Berbasis Sekolah. Pada diskusi itu, saya mendapat kesempatan untuk membahas kebijakan pendidikan untuk merespons perundungan.

 

Ragam aturan

Terdapat beberapa peraturan yang membahas pencegahan, terkait perundungan yang terjadi di berbagai ruang terkhusus pendidikan di sekolah, yaitu UU No 35/2014 yang merupakan Perubahan atas UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, Permendikbud No 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Permendikbud RI No 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Peraturan Presiden RI No 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.

Pasal 76 C UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan, “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.” Sementara itu, pada Permendikbud No 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti disebutkan, pentingnya menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan.

Lalu pada Permendikbud RI No 82/2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan secara spesifik mengatur pelecehan, perundungan, penganiayaan, perkelahian, perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA) yang terjadi di ruang pendidikan.

Dalam aturan lain yang berkaitan upaya untuk mencegah tindak kekerasan, perundungan, dan tindakan destruktif lain dilakukan melalui pendidikan karakter. Pada UU No 20/2003 Pasal 3 secara eksplisit dinyatakan ‘pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’.

Kemudian, pada Agenda Nawacita No 8 disampaikan, mengenai penguatan revolusi karakter bangsa melalui budi pekerti dan pembangunan karakter peserta didik sebagai bagian dari revolusi mental.

Selanjutnya, pada Trisakti disampaikan perlunya ‘mewujudkan generasi yang berkepribadian dalam kebudayaan’. Diperlukan untuk mempersiapkan Generasi Emas 2045 yang bertakwa, nasionalis, tangguh, mandiri, dan memiliki keunggulan bersaing secara global.

Selain itu, pada Perpres 87/2017 Penguatan Pendidikan Karakter perlunya ada gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan, untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Sementara itu, pada saat ini dua hal penting yang menjadi narasi dominan dalam setiap kebijakan pemerintah (Kemendikbud-Ristek), yaitu terkait dengan Profil Pelajar Pancasila yang terdiri dari beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia;  mandiri; bergotong-royong; berkebinekaan global; bernalar kritis, dan kreatif. Satu hal yang kemudian menjadi narasi yang sering disampaikan dalam setiap paparan pemerintah adalah, terkait dengan tiga dosa pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.

Selain aturan, pemerintah memiliki ragam panduan yang mencoba memberi rambu-rambu dalam pencegahan perundungan. Jika ditelisik di website-website milik pemerintah, ada lebih dari lima buku panduan tentang pencehahan perundungan. Beberapa yang mudah ditemukan dan dapat diunduh dengan mudah antara lain Pencegahan Perundungan pada Anak Usia Dini, Stop Perundungan, Stop Perundungan/Bullying Yuk (untuk SD), Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pemerintah Pencegahan Perundungan di Sekolah Menengah Pertama, Program Roots: Pencegahan Perundungan (Bullying) di SMP, SMA, SMK, Seri Pendidikan Orangtua: Ayo Bantu Anak Hindari Perundungan, dan Sekolah Gaul Anti Kekerasan.

 

Implementasi dan kompleksitasnya

Meski aturan dan panduannya sudah ada, tampak operasionalisasinya masih mendapat tantangan. Dalam rentang beberapa tahun terakhir, kasus perundungan masih tetap muncul, dan penanganannya masih cenderung reaksioner. Meski sebetulnya, pemerintah sudah memiliki beberapa kanal layanan pengaduan. Salah satunya kemdikbud.lapor.go.id atau Unit Layanan Terpadu Kemdikbudistek melalui nomor telepon 177 dan surel [email protected].

Dalam studi PISA (2018) disampaikan, bahwa 41% pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA) (2018), disampaikan 2 dari 3 anak perempuan atau anak laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu kekerasan selama hidupnya. Selain itu, dari studi yang sama disampaikan, 3 dari 4 anak-anak dan remaja yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan atau lebih, melaporkan bahwa pelaku kekerasan ialah teman atau sebayanya.

Media juga melaporkan beberapa problem yang hadir akibat perundungan, antara lain mulai kasus pembakaran sekolah di Temanggung, upaya bunuh diri akibat perundungan di Brebes, menikam teman yang merundung di Palembang, sampai anak yang dipukuli sampai lemas di Bandung. Isu lain yang hadir juga terkait dengan perkara gangster dan perundungan digital (cyber bullying).

Dalam proses diskusi, beberapa peserta menyampaikan juga persoalan yang hadir, antara lain terkait manajemen tertutup di sekolah atau yayasan ketika menangani kasus perundungan. Sebab jika dibuka, sekolah/yayasan khawatir kasus itu akan membuat nama baik sekolah tercoreng. Salah satu peserta juga menyampaikan, betapa ia masih ingat peristiwa perundungan yang menimpa anaknya meski sudah beberapa tahun berlaku. Ia kecewa terhadap sikap sekolah dalam menangani kasus perundungan yang menimpa anaknya itu. Tampak memang kegagapan dihadapi sekolah, dinas pendidikan daerah bahkan Kemendikbud-Ristek ketika menghadapi kasus-kasus perundungan. Pun tampak upaya untuk pencegahan masih belum optimal dilakukan. Padahal, penanganan yang buruk hanya akan merugikan korban yang merasakan luka selama tahunan, seperti yang diungkap Jodee Blanco.

Ingatan membekas akibat perundungan juga disampaikan di dalam banyak studi seperti yang dipetakan Phillip T Slee dan Grace Skrzypiec dalam Well-Being, Positive Peer Relations and Bullying in School Setting yang menyebut semua anak yang dirundung mengalami kesulitan internalisasi, ide bunuh diri (Kim et al. 2005; Rigby dan Slee 1999), peningkatan kesulitan kesehatan mental (Gini dan Pozzoli 2008; Skrzypiec et al. 2012), kecemasan (Craig 1998; Graham dan Juvonen 1998), depresi (Craig 1998; Slee 1995; van der Wal et al. 2003), gejala psikosomatik (Kaltiala-Heino et al. 2000) dan masalah teman sebaya ( Smith et al. 2004).

Beberapa yang dapat direkomendasikan antara lain, kembali kepada tujuan pendidikan sebagai bagian dari humanisasi, upaya membangun dialog di antara seluruh elemen (guru, siswa, orangtua, masyarakat), dan memastikan sekolah jadi arena yang ramah dan aman.

Oleh karena itu, peran pemerintah secara struktural sangat penting, yaitu dengan membangun sistem ‘alarm tanda bahaya’ perundungan, tidak reaksioner atau menyelesaikan kasus karena no viral no justice, memastikan layanan aduan berfungsi, memastikan aturan yang sudah ada ditegakkan, dan tentu saja yang paling utama membangun pendidikan yang lebih humanis. Jika kita tak memperhatikan ini secara serius, tentu membahayakan masa depan anak-anak bangsa.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat