visitaaponce.com

Kabel di Jakarta

Kabel di Jakarta
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

JUDUL di atas saya pelesetkan dari novel karya mendiang Mochtar Lubis, Senja di Jakarta. Isi novel itu mengisahkan kekarut-marutan kehidupan sosial politik di Ibu Kota pada era 1950-an, sedangkan melalui frasa di atas saya hendak menyoroti betapa semrawut dan centang-perenangnya sistem penataan utilitas kabel di Jakarta. Air, gas, listrik, internet, dan sebagainya ialah bagian dari fasilitas penunjang kehidupan masyarakat urban, terlebih di era kiwari. Namun, keberadaan fasilitas-fasilitas itu jangan hanya dipandang secara fisik material, tapi juga mesti dilihat dari aspek sosiokultural.

Artinya, pengelolaan sarana infrastruktur itu harus tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Baik penempatan maupun pemasangannya jangan sampai membahayakan warga, seperti yang dialami seorang mahasiswa pada Januari lalu. Lehernya terluka terkena oleh sabetan kabel serat optik yang putus karena tersangkut oleh atap sebuah kendaraan di kawasan Antasari, Jakarta Selatan. Kasus itu kemudian kini viral karena orangtua korban konon menuntut perusahaan pemilik kabel tersebut untuk membayar ganti rugi imateriel hingga miliaran rupiah. Mereka tidak terima karena sang anak kini jadi kesulitan bicara, makan, dan minum lantaran insiden tersebut.

Selain mahasiswa itu, seorang pengemudi ojek online belum lama ini menjadi korban akibat kabel serat optik yang tidak terpasang dengan baik. Korban mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia saat menghindari kabel yang menjuntai ke jalan di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab? Selain dua orang itu, saya yakin ada pihak lainnya yang pernah menjadi korban buruknya sistem infrastruktur penunjang itu, entah itu tersengat oleh kabel listrik yang mengelupas, tertimpa pohon, terperosok galian kabel, entah terjatuh karena minimnya lampu penerangan jalan. Mungkin mereka tidak tahu mesti mengadu ke mana sehingga kasus-kasus semacam itu nyaris tak terdengar.

Yang sehari-hari beraktivitas di Jakarta tentu pernah melihat bekas galian kabel yang tidak ditutup dengan semestinya. Tanah bekas galian dibiarkan menumpuk sehingga becek dan licin jika hujan. Belum lagi kabel telepon atau internet yang menjuntai dan membahayakan pengguna jalan. Pada era 1990-an, Gubernur DKI Soetiyoso pernah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas (Perda No 8 Tahun 1999). Kala itu, sistem sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) diyakini bakal mengakhiri kesemrawutan permasalahan ini. Namun, faktanya, belum juga beres hingga kini. Kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (5/8), Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman mengatakan pihak kepolisian sudah melaporkan permasalahan semacam itu kepada pemangku kebijakan. Masalah itu, kata dia, harus segera diselesaikan karena membahayakan keselamatan masyarakat pengguna jalan.

Pemprov DKI sebaiknya memang segera memanggil para stakeholder dan instansi terkait untuk membicarakan persoalan itu. Jangan ragu untuk memberi sanksi. Jika perlu, cabut izin usaha mereka kalau memang ada pihak yang melanggar aturan. Begitu juga jika ada oknum-oknum yang terlibat suap terkait dengan izin pemasangan kabel utilitas ini, termasuk pihak RT/RW dan kelurahan, jangan ragu untuk ditindak. Bukankah pemasangan kabel-kabel itu setidaknya harus sepengetahuan atau seizin pejabat setempat?

Penataan kota yang baik tidak semata agar terlihat indah dan sedap dipandang, tapi juga perlu memperhatikan keamanan dan keselamatan warganya. Kasus itu tentunya juga harus jadi pelajaran bagi kota-kota lainnya. Jangan cuma sibuk membangun spot-spot yang instagramable, tapi lalai mengurus semrawutnya penataan kabel. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat