visitaaponce.com

Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis Pengalaman Muhammadiyah

Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis: Pengalaman Muhammadiyah
(Dok. Pribadi)

BEBERAPA waktu lalu, di media sosial ramai soal mahasiswa beragama Kristen di Universitas Muhammadiyah karena mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) (Kompas, 21/8/2023). Berawal dari sebuah video yang diunggah di akun Tiktok, (16/8/2023), lalu dibagikan ulang oleh akun Instagram (19/8/2023). Hal itu dibenarkan oleh Bambang Setiaji selaku Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Muhammadiyah, bahwa mahasiswa muslim dan nonmuslim di Universitas Muhammadiyah mendapat mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) (20/8/2023).

Untuk diketahui, di Kampus Muhammadiyah, mata kuliah AIK ada empat, yaitu AIK 1 (Akidah dan Akhlak), AIK 2 (Ibadah), AIK 3 (Kemuhammadiyahan), dan AIK 4 (Islam dan Ilmu Pengetahuan). Kini, Muhammadiyah telah menyiapkan AIK Multikultural untuk Kampus Muhammadiyah yang mayoritas mahasiswanya nonmuslim.

 

Kristen Muhammadiyah dan pluralisme positif

Secara sosiologis, fenomena tersebut melahirkan varian baru, yaitu ‘Kristen Muhammadiyah’ (KrisMuha). Sebuah istilah yang didasarkan hasil penelitian Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq yang dibukukan, Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009), diterbitkan ulang menjadi Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan (2023). Istilah KrisMuha itu untuk menyebut pada orang Kristen yang menjadi simpatisan Muhammadiyah.

Buku itu menggambarkan praktik toleransi Muhammadiyah di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Terutama di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), seperti Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Serui, Papua, dan Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar).

Kemunculan KrisMuha menunjukkan adanya interaksi yang intens antara siswa-mahasiswa muslim dan Kristen di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal yang perlu dicatat dan digarisbawahi ialah interaksi tersebut tidak menghilangkan identitas mereka sebagai penganut agama Kristen yang taat.

Fenomena ini disebut sebagai ‘pluralisme positif oleh Abdul Mu’ti dan Azaki Khoirudin dalam bukunya Pluralisme Positif: Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan Muhammadiyah (2019). Istilah pluralisme positif tersebut dipinjam dari Kuntowijoyo dalam buku Muslim tanpa Masjid (2001).

‘Pluralisme positif’ ialah sikap berterus terang dan berpegang teguh terhadap suatu keyakinan, tetapi— pada saat yang sama—bisa menerima dan orang lain yang berbeda. ‘Pluralisme positif’ bukan kecenderungan sikap untuk berpindah-pindah, mencampuradukkan ajaran (keyakinan), atau tidak berterus terang terhadap keyakinan agama.

‘Pluralisme positif’ mencakup beberapa aspek: (1) sikap positif terhadap suatu keyakinan dan memeluk salah satu agama, bukan ateis atau agnostik. (2) sikap positif terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. (3) memahami dan menerima orang lain yang berbeda secara kepercayaan. Dan (4) akomodatif terhadap orang lain agar dapat melaksanakan keyakinannya (h. 116).

Dalam konteks pendidikan, istilah positive pluralism itu berasal dari Denise Cush (2001), yakni sikap mengakomodasi perbedaan agama dengan memberikan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Pendidikan agama diarahkan agar siswa-mahasiswa lebih yakin dan percaya diri terhadap agamanya dan menghormati orang lain yang berbeda agama.

Dalam perspektif maqasid al-shariah, Jasser Audah (2008) mengembangkan dan memperluas tujuan syariah dari yang bersifat individu ke sosial. Salah satu tujuan syariah ialah hifz al-din (menjaga agama), bahwa secara individu seorang muslim wajib menjaga agama (akidah, ibadah, dan akhlak), pada saat yang sama secara sosial muslim wajib menjaga hak-hak orang lain menjalankan agama, keyakinan, dan ibadahnya masing-masing. Dengan demikian, semakin taat beragama, semakin toleran dan menghormati hak orang lain untuk menjalankan agamanya.

MI/Seno

 

Pembelajaran multikultural

Dalam konteks pemahaman seperti itulah, Muhammadiyah memberikan pelayanan pendidikan agama untuk mahasiswa nonmuslim. Hal itu dijelaskan dalam sebuah disertasi karya Dian Indriyani yang berjudul Model Pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Multikultural: Studi Fenomenologi pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (2021).

Dengan studi kasus di Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (Unimuda), hasil penelitian menjelaskan pembelajaran AIK multikultural dilakukan dengan cara team teaching, dengan menghadirkan dosen yang seagama dengan mahasiswa agar mahasiswa mendapatkan haknya dalam mendalami dan menjalankan agama yang dianutnya.

Hal itu senada dengan PP Nomor 55/2007 serta Permenag RI Nomor 16/2010 dan diktum Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 2003, yakni pendidikan hendaknya dilaksanakan secara demokratis dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, di tengah keberagaman dan kemajemukan bangsa agar dapat terhindar dari perilaku diskriminasi. Pembelajaran AIK multikultural itu dimaknai mahasiswa nonmuslim di Unimuda Sorong sebagai bentuk sikap inklusif (terbuka), human (kemanusiaan), toleran, demokratis, dan pluralis.

Keunikan pembelajaran AIK bagi nonmuslim itu dijelaskan Hadi Pajarianto dan Muhaemin dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi Non-Muslim: Studi Empirik Kebijakan dan Model Pembelajaran (2020). Temuan penting penelitian pertama ialah mahasiswa nonmuslim diwajibkan mengikuti mata kuliah AIK, dosen tetap memperhatikan proporsi dan materi yang disajikan dan lokalitasnya.

Kedua, model pembelajaran AIK melalui: (1) rules of study, mengubah pendekatan doktrin menjadi dialogis. Dan (2) pola comparative holly-text dengan memberikan ruang kepada mahasiswa nonmuslim untuk mengelaborasi suatu tema dengan pemahaman kitab sucinya. (3) melalui tutor sebaya yang memberikan iklim positif bagi interaksi sesama.

Implikasi dari penelitian ini ialah adanya ruang perjumpaan (melting plot) bagi mahasiswa yang berbeda agama untuk saling berinteraksi dan memahami.

 

Pendidikan agama Islam yang pluralistis

Dalam konteks di atas, Abdul Mu’ti (2020) menawarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang pluralistis. Untuk mengembangkan PAI yang pluralistis, setidaknya ada lima basis nilai, yaitu ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerja sama.

Yang dimaksud dengan nilai ketuhanan ialah prinsip dasar yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah makhluk beragama atau bertuhan (homo religious). Sejak masih dalam alam arwah, manusia berikrar bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhan (Qs Al-A’raf (7): 172).

Basis nilai kedua ialah kebebasan. Manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas semua sikap dan perbuatannya. Terserah kepada manusia apakah memilih mengikuti wahyu atau nafsu, beriman atau kafir, berada di jalan Tuhan atau setan, tidak ada paksaan (Qs Al-Baqarah (2): 256; Al-An’am (6) 107, 108; Yunus (10): 99, 100; Hud (11): 118, dan Al-Kahfi (18): 29).

Basis nilai yang ketiga ialah keterbukaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk menentukan pilihan secara sadar dengan ilmunya (Qs. Al-Isra (17): 36). Bersikap terbuka, atau open mind ditunjukkan dengan sikap mau mendengar, banyak berpikir, suka belajar, dan—pada tingkat tertentu—siap berubah menjadi lebih baik.

Basis nilai yang keempat ialah kebersamaan. Dalam Islam dan PAI, pluralitas banyak terkait dengan khilafiah dalam masalah-masalah hukum fikih, akidah, tafsir, dan masalah-masalah teknis. Khilafiah sering kali menjadi sumber ketegangan dan pertentangan di kalangan umat. Karena itu, diperlukan sikap lapang dada dengan perbedaan. Khilafiah terjadi karena faktor ilmiah, khususnya perbedaan metode ijtihad, pendekatan, dan tafsir Al-Qur’an dalam wilayah cabang (furu), bukan masalah pokok (ushul).

Nilai yang kelima ialah kerja sama. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk hidup rukun dengan menjalin ukhuwah dan saling kerja sama, tolong-menolong (ta’awun) dalam kebaikan (al-bir), dan takwa, serta melarang kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan (QS Al-Maidah (5): 2).

Basis inilai di atas penting untuk menjadi dasar pengembangan PAI yang pluralistis, yakni sebuah pendidikan agama Islam yang mengajarkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam lingkungan kehidupan yang beragam. Basis nilai menjadi kompas moral dan etika yang memandu pendidik, dan peserta didik dalam menyikapi keragaman agama, etnik, suku, budaya, ras, dan pemikiran.

 

Tiga kompetensi PAI pluralistis

Dalam studi Islam, setidaknya tiga model cara berpikir dan pendekatan dalam memahami agama yang melahirkan model keberagamaan yang berbeda, yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan berpikir bayani adalah sistem pengetahuan Islam yang bertitik tolak dari kitab suci sebagai sumber pengetahuan dasar. Pendekatan burhani adalah sistem pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah). Pendekatan irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa.

Pertama, pendekatan berpikir bayani melahirkan keberagamaan imani yang sifatnya subjektif. Jika tidak diimbangi dengan burhani dan irfani akan cenderung eksklusif, truth claim, merasa paling benar sendiri, orang lain selalu salah, dan tidak peduli terhadap pemahaman orang atau kelompok yang berbeda, serta kurang tenggang rasa dengan kelompok lain yang berbeda paham, bahkan agama.

Kedua, pendekatan berpikir burhani melahirkan keberagamaan ilmiah (scientific mentality) berdasarkan metode keilmuan. Kompetensi keberagamaan ini dibangun atas dasar penggunaan akal yang bercorak objektif-ilmiah-saintifik (al-aql al-tarikhy al-ilmy). Corak beragama itu melahirkan pemahaman yang luas (saling mengenal dan memahami), bahwa tidak ada agama yang sama. Semua agama memiliki keunikan ritual, bahasa, dan tata cara yang berbeda-beda.

Ketiga, pendekatan berpikir irfani melahirkan keberagamaan etis berbasis hati nurani, yang melahirkan kelembutan dan kemuliaan hati. Hati Nurani inilah yang melahirkan sikap ihsan, yakni berbuat baik yang melampaui sekat-sekat agama, suku, budaya, dan ras. Inilah etika universal dan multikultural yang melahirkan rasa kasih sayang, kebaikan, ketulusan, pengabdian, tolong-menolong, kedamaian, kepedulian, dan toleransi sesama.

Hal yang perlu dicatat, tiga corak keberagamaan tersebut tidak untuk dipilih, tetapi harus dimiliki ketiganya oleh siapa saja yang beragama. Ketiganya penting dimiliki secara bersamaan.

Tiga corak keberagamaan dan cara berpikir di atas memiliki kedekatan dengan kompetensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Pertama, nalar bayani-subjektif-imani yang subjektif penting sebagai basis ‘kompetensi pribadi’, yaitu kemampuan peserta didik terhadap ajaran moral, spiritual, dan etika yang bersumber dari agamanya sendiri.

Kedua, nalar bayani-objektif-ilmiah sebagai dasar ‘kompetensi komparatif’ untuk memahami orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan.

Ketiga, pendekatan irfani-intersubjektif-intuitif sebagai basis ‘kompetensi kolaboratif untuk dapat bekerja sama dengan orang yang berbeda agama dan kepercayaan.

Tiga corak berpikir dan kompetensi di atas penting sebagai sebuah pendekatan berpikir, bersikap, dan bertindak peserta didik dalam masyarakat yang majemuk dan beragam seperti Indonesia. Dalam masyarakat beragam tersebut, yang diutamakan ialah kebaikan bersama dan etika universal sehingga lahir sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati kelompok dan individu yang berbeda.

Di sinilah urgensi pendidikan agama Islam (PAI) yang pluralistis, sebagai suatu kerangka untuk bekerja sama dalam masyarakat yang plural dari segi agama, ras, budaya, suku, dan seterusnya membahas dan menyelesaikan problem sosial bersama, tanpa mengorbankan substansi keyakinan sendiri. Setiap individu dan kelompok menjaga keunikan kepercayaan dan ajaran agamanya masing-masing, pada saat yang sama saling melindungi.

Dalam masyarakat majemuk, umat Islam dan agama lain dapat hidup bersama dengan penuh kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Itulah iman yang melahirkan rasa aman pada pemeluknya dan orang lain. Itulah Islam yang membawa perdamaian dan kasih sayang. Itulah Islam yang membawa rahmat, kebaikan cinta kasih nyata untuk semesta alam.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat