visitaaponce.com

Sekolah dan Perubahan Iklim

Sekolah dan Perubahan Iklim
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SAAT mendekati akhir tahun ini, dunia dihebohkan berita kebakaran hutan yang melanda kota bersejarah Lahaina di Pulau Maui, Hawaii, AS. Kebakaran diduga terjadi karena korsleting kabel listrik yang terputus, kemudian membakar rerumputan yang sedang mengering.

Dalam berita lain, baru-baru ini, ada insiden serupa ketika sepasang calon pengantin melakukan sesi foto prewedding menggunakan flare sebagai efek yang tanpa sengaja memicu kebakaran savana edelweis di Bromo, Jawa Timur. Kejadian-kejadian tersebut menambah daftar kerusakan alam karena kelalaian manusia, juga tindakan tak terkendali untuk kepentingan industri dan eksploitasi sumber daya alam. Akibatnya, suhu Bumi terus naik, menghangatkan Bumi bagian kutub yang beriklim dingin, dan menambah panas Bumi yang beriklim tropis.

Penyebab utama kerusakan lingkungan ialah ulah manusia. Selain itu, cara masyarakat memandang serta bersikap terhadap perubahan iklim juga ikut memengaruhi tindakan pelestarian alam. Cara pandang dan sikap ini sangat dipengaruhi tingkat keterdidikan individu maupun masyarakat mengenai lingkungan secara umum.

Sekolah diyakini sebagai pihak yang bisa memengaruhi sikap masyarakat terhadap perubahan iklim, setidaknya menurut UNESCO Education for Sustainability Development (ESD) for 2030, yang mencanangkan pendidikan sebagai agen untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan melalui pendidikan.

 Namun, di sisi lain, dunia pendidikan Indonesia menunjukkan keprihatinan terhadap penambahan mata pelajaran tentang perubahan iklim dalam kurikulum ketimbang perubahan iklim itu sendiri. Memasukkan isu perubahan iklim dalam kurikulum diyakini dapat menimbulkan beban tambahan bagi siswa dan sekolah.

Padahal, kurikulum Merdeka Belajar merupakan inovasi pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menetapkan tujuan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan karakteristik unik masing-masing. Kurikulum Merdeka Belajar lebih fleksibel. Sekolah diperkenankan menentukan standar kelulusan. Demikian pula pilihan metode belajar, waktu evaluasi, dan jenis evaluasinya.

Sekolah lebih memiliki otoritas dalam batas-batas standar kelulusan yang dipadu dengan standar nasional. Otoritas ini dalam arti luas dapat dimanfaatkan guru untuk mengintegrasikan muatan perubahan iklim ke dalam ragam mata pelajaran di kelas. Bagimana caranya?

 

Integrasi kurikulum

Pemanfaatan kewenangan yang diberikan oleh kurikulum Merdeka Belajar mencakup integrasi muatan perubahan iklim ke dalam seluruh mata pelajaran. Sejauh ini, hanya mata pelajaran geografi dan sains yang mencakup topik-topik terkait perubahan iklim seperti mitigasi bencana. Sementara mata pelajaran lain seperti ilmu sosial, humaniora, dan PPKn memiliki keterbatasan dalam hal ini.

Oleh karena itu, disarankan agar setiap guru mata pelajaran dapat memasukkan pemikiran mengenai topik ini dan mengaitkannya dengan perubahan iklim, mengingat setiap kompetensi bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sikap atau identitas siswa. Pada kasus ini, fokus kompetensi adalah terhadap perubahan sikap terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Pengintegrasian nilai-nilai ini terjadi melalui keterkaitannya dengan kearifan lokal. Hampir seluruh wilayah Indonesia, terdapat kearifan lokal dan komunitas adat yang menjaga alamnya dengan baik. Prinsip-prinsip yang diutarakan dalam Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Masyarakat Adat pada artikel 31 menegaskan hak masyarakat adat untuk merawat, mengontrol, melindungi, serta mengembangkan pengetahuan intelektual terkait dengan warisan budaya, kearifan lokal, dan ekspresi budaya tradisional mereka.

Sesuai dengan kurikulum nasional yang menekankan pentingnya mempertahankan kearifan lokal melalui muatan lokal di setiap wilayah, hal ini memberi legitimasi kepada guru untuk mengembangkan kurikulum yang mencakup perubahan iklim.

 

Langkah-langkah integrasi

Langkah awal yang krusial dalam perancangan kurikulum perubahan iklim adalah meninjau kompetensi dasar dan kompetensi inti yang relevan untuk setiap mata pelajaran, serta mengidentifikasi topik yang paling cocok. Selanjutnya, perlu dilakukan penentuan durasi waktu yang tepat untuk setiap topik selama periode tertentu. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan seksama terkait dengan ketersediaan dana dan fasilitas, termasuk sumber belajar yang harus disediakan oleh sekolah.

Jika memungkinkan, suatu kompetensi dasar dapat diintegrasikan melalui kolaborasi dengan beberapa mata pelajaran. Pendekatan kolaboratif ini tidak akan memberatkan siswa karena dapat mengurangi beban tugas dan waktu yang dihabiskan. Bentuk implementasinya dapat berupa proyek-proyek atau survei bersama yang terintegrasi dalam kurikulum kelas.

Selanjutnya, penting untuk menetapkan tujuan pembelajaran yang lebih luas. Tujuan pembelajaran tidak hanya mencakup pencapaian di ranah kognitif, karena yang esensial dalam isu perubahan iklim adalah perubahan sikap yang diperlukan.

Metode narative pedagogy merupakan pilihan tepat untuk memfasilitasi pembelajaran dan transformasi individu, membentuk identitas siswa sebagai pembelajar, dan membentuk sikap positif terhadap perubahan iklim (Ropo & Varri, 2018). Metode ini mengeksplorasi makna dari pengalaman guru dan siswa, mengaitkannya dengan nilai-nilai kesadaran lingkungan di dalam dan di luar kelas.

Beberapa teknik diterapkan, seperti bercerita, memanfaatkan film, kliping, dan drama untuk menghubungkan materi belajar dengan nilai-nilai perubahan iklim. Fokusnya adalah pada pengalaman guru dan siswa sebagai titik tolak pembelajaran, yang menemukan nilai-nilai dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup (Ropo & Varri, 2018).

Sebagai contoh dalam pelajaran ekonomi SMA, topik utama ialah Peran Pelaku Ekonomi dalam Kegiatan Ekonomi, membahas faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam (SDA) dengan sub topik manajemen sumber daya air di sekitar sekolah. Isu ini penting didiskusikan karena ada situasi kelangkaan air bersih. Metode pembelajaran yang digunakan dapat berupa survei, proyek kelas, kampanye, atau penelitian sederhana.

 

Berdamai dengan perubahan iklim

Tindakan sekecil apa pun perlu dimulai segera di seluruh dunia oleh sekolah. Kelangkaan SDA telah memicu banyak kasus kekerasan. Penelitian tentang pendidikan lingkungan dan perdamaian mengidentifikasi hubungan antara konflik, perubahan iklim, dan upaya perdamaian. Perubahan iklim dapat memperburuk ketegangan dan perselisihan sosial, mengarah pada konflik antarmasyarakat dan negara (Naofal, 2014).

Tantangan dalam dunia pendidikan adalah mengajarkan pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan iklim, mengubah persepsi bahwa perubahan iklim ini nyata dan berdampak (Naofal, 2014). Penelitian ini menyoroti kekurangan pengetahuan tentang perubahan iklim, yang membuat masyarakat sulit mencari solusi untuk konflik yang dihadapinya.

Karena itu, tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mendidik mengenai sikap dan gaya hidup yang berorientasi pada sikap damai dengan perubahan iklim dan dampaknya. Sekolah memiliki potensi besar untuk mencapai hal ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat