visitaaponce.com

Risiko dan Neraca Ekologi Pesisir dan Laut

Risiko dan Neraca Ekologi Pesisir dan Laut
(Dok. Pribadi)

DEBAT seri keempat para calon presiden dan wakil presiden terkait dengan keadilan lingkungan harus menjadi perhatian dalam menyiapkan pembangunan ke depan. Pesan tersiratnya, bahwa ke depan pembangunan tidak lagi sekadar mengeruk sumber daya alam kita hingga ekosistem menjadi hancur dan kerusakan beraneka ragam. Kerusakan Pulau Wawoni, pesisir Konawe, Pulau Gag, konflik Pulau Rempang, dan proses lelang Pulau Widi seolah menunjukkan kekalutan berpikir dalam menentukan pilihan pilar kekuatan ekonomi bangsa.

Penulis berpandangan bahwa pilar keberlanjutan bangsa harus hadir dari sumber daya alam baru dan terbarukan. Ekosistem pesisir seperti perikanan, mangrove, lamun, terumbu karang, bioteknologi laut berbasis biota laut, dan energi laut menjadi pilar yang harus diperkuat pembangunan dari hulu sampai hilir.

Namun, kawasan pesisir, selain bernilai ekonomi tinggi, memiliki risiko tinggi akibat banyaknya ancaman dan risiko bencana. Paling tidak ada 22 kota besar yang ada di pesisir yang memiliki tingkat risiko yang juga tinggi. Jika dipahami bahwa risiko merupakan turunan dari fungsi ancaman dan kerentanan serta adapatasi, penting dikenali dengan baik agar neraca ekologi pesisir dan laut dapat dipertimbangkan.

Kebutuhan neraca ekologi, selain memerlukan payung hukum, tentu perlu tindakan pengawasan. Kebijakan tentang risiko sudah termasuk memadai dengan enam undang-undang, tujuh PP, dua perpres, serta beberapa permen dan peraturan lainya. Namun, terlihat payung hukum yang ada belum bekerja secara sinkron karena diampu kelembagaan yang berbeda. Harapannya dengan kebijakan yang ada, paling tidak tata kelola risiko sudah harus terintegrasi dalam operasionalisasi pembangunan seperti tata ruang dan zonasi di pesisir dan laut dalam menyusun neraca ekologi pesisir dan laut yang berkeadilan.

MI/Seno

 

Potensi kerugian

Kalau disimak data terbaru dari BNPB tentang kondisi ekologi dan lingkungan kita, laju kejadian bencana periode 2013-2022 mencapai 16,4% per tahun, termasuk tinggi dan kerugian total sebesar Rp104,01 T (rata-rata Rp10,401 T per tahun). Roadmap NDC (2020) memuat estimasi kerugian yang bisa dialami karena pengaruh iklim mencapai Rp110,38 T-Rp577,01 T dan mencapai Rp4.318 T karena pengaruh iklim, kerusakan ekosistem dan bencana, yang juga setara dengan 30,83% dari PDB nasional (estimasi PDB 2020).

Sementara data aktual dari nilai potensi loss and damage dari BNPB lebih dari Rp10 triliun per tahun. Nilai itu belum memasukkan potensi kerugian karena kehilangan jasa ekosistem karena menunggu proses recovery, seperti kawasan wisata yang tidak bisa diakses dalam waktu cepat dan hilangnya habitat biota lain. Kerugian karena kerusakan mangrove oleh banjir rob, pertambangan di pulau kecil, penangkapan ikan yang merusak lingkungan, dan hilangnya kemampuan recovery ekosistem masih termasuk dari risiko yang harus ditanggung.

Estimasi risiko dari kenaikan tinggi muka air laut terhadap peningkatan genangan daerah pantai juga sangat besar. Potensi daerah banjir rob yang terjadi karena ilkim sampai 2050 diprakirakan mencapai 33269,72 km2. Kondisi itu akan menambah luas laut sebesar 0,009% dari sekarang dalam teritorial Indonesia.

Begitu juga, ekosistem mangrove yang terdampak seluas 512.427 ha setara dengan 85,4% dari rencana pemerintah menanam mangrove sampai 2024. Jadi, potensi kehilangan mangrove karena iklim dan rob hampir setara dengan rencana tanam pemerintah seluas 600 ribu ha. Selanjutnya, potensi kehilangan daya dukung biomass ikan dan biota asosiasi setiap tahun diperkirakan mencapai 723.120 ton dengan nilai sekitar Rp25,30 miliar per tahun pada luas area terdampak.

Dampak pada ekosistem terumbu karang dari iklim seperti bleaching, kerusakan karena sedimentasi, dan pencemaran seperti tumpahan minyak juga tinggi. Diperkirakan seluas 22,78% potensi terumbu karang dapat hilang baik karena pemutihan maupun destruktif. Luasan itu setara dengan 675 ribu ha area terumbu karang sehat terganggu. Dampak berikutnya dapat menurunkan biomass ikan sampai 1,06 juta ton per tahun, dengan estimasi kerugian mencapai Rp53,24 miliar per tahun. Kajian terhadap risiko akibat iklim, pencemaran dan perubahan ekonomi masyarakat terhadap pulau kecil di Kepulauan Seribu diperkirakan mencapai 28,57% pulau kecil berisiko tinggi.

Risiko terhadap perikanan dapat dipacu kondisi perubahan iklim, tekanan antropogenik seperti limbah, penangkatan dengan effort berlebih hingga jadi over eksploitasi. Dampak dapat dilihat dari perubahan biodiversitas ikan terlihat dari banyaknya alien spesies baru yang beradaptasi dan tekanan laju penangkapan.

Kajian di Sungai Citarum tercatat sebanyak 27% spesies asing beradaptasi baik. Kalau dipilah, sebanyak 44% adaptasi baik di Waduk Saguling, 63,3% beradaptasi baik di Waduk Cirata, dan 52% beradaptasi dengan baik di Waduk Jatiluhur. Sementara itu, persentase ikan-ikan asli Sungai Citarum semakin menurun hingga kini dan yang tersisa diperkirakan 36%-55%.

Dalam skala industri, investasi juga harus dilakukan secara hati-hati. Risiko terhadap investasi usaha perikanan terlihat risiko dapat muncul karena OSS yang tidak membatasi investor. Kajian di WPP 573 diperoleh beban izin optimal dapat ditoleransi sebesar 1.115 unit alat tangkap supaya kuota pada kondisi MSY dapat memberikan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Neraca ekologi pesisir dan laut

Neraca ekologi yang mengatur antara pemanfaatan dan pelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil harus dapat disiapkan. Neraca ekologi akan menjadi pedoman upaya pengendalian risiko dengan berbagai sistem kendali yang tepat. Setidaknya, ada empat sistem kendali yang perlu dijadikan pegangan, yaitu sistem kebijakan, sistem kendali ruang, sistem kendali teknologi, dan kendali implementasi.

Sistem kendali kebijakan, yaitu desain kebijakan yang tepat terhadap upaya pemanfaatan, upaya perlindungan, dan pelestarian. Dalam konteks itu menjadi relevan kebijakan didorong menjadi berbasis pembangunan biru (sustainable blue development/SBD). Sistem kendali ruang menjadi kunci ketika pembangunan dilakukan. Indikator daya dukung dan daya tampung harus dihitung dan dipakai sebagai instrumen pengendali.

Kerusakan pulau kecil karena penambangan, limpahan air berlumpur, tumpahan minyah, penangkapan ikan dengan alat tangkap destruktif harus dapat dipetakan dan dikendalikan frekuensinya. Pengendalian pemberian izin pemanfaatan ruang adalah bentuk kehati-hatian dan harus terukur. Laut mempunyai batas kemampuan dalam me-recovery dan resiliensi kerusakan yang dideritanya. Sistem kendali teknologi bertujuan untuk mengurangi tekanan karena pemanfaatan baik yang dilakukan dalam praktik pemanfaatan maupun dalam praktik perlindungan.

Selain itu, turut mempertimbangkan dampak dari teknologi itu sendiri terhadap ekosistem dan sumber daya. Sistem kendali implementasi ialah instrumen teknis yang harus dipastikan tidak menimbulkan dampak dalam implementasi. Banyak praktik implementasi kemudian dilakukan tidak sesuai dengan komitmen lingkungan. Karena itu, pengawasan menjadi kunci dalam kendali implementasi ini.

Integrasi risiko dalam pengelolaan pesisir (enhancing risk) adalah penguatan perspektif pengelolaan pesisir dan laut terpadu (integrated coastal management) masa datang dalam neraca yang terkontrol. Kehadiran neraca ekologi dalam pengelolaan ruang pesisir, laut, dan perikanan mendorong kemampuan dalam merencanakan kawasan pesisir, laut, dan pulau kecil untuk fungsi ekonomi yang minim dampak dan risiko.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat