visitaaponce.com

Pajak untuk Generasi Emas

Pajak untuk Generasi Emas
Irvan Sihombing(Dok. Pribadi)

PAJAK secara sederhana dapat diartikan sebagai kontribusi wajib setiap warga kepada negara dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setidaknya ada tiga kata kunci di sana, yakni kontribusi, negara, dan kemakmuran. 

Kemakmuran menjadi kata kunci terakhir sekaligus yang terpenting karena di situlah segalanya bermuara. Semua kontribusi wajib itu harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Jika bukan untuk kemakmuran rakyat, kontribusi yang diwajibkan oleh negara akan sia-sia.

Lalu bagaimana cara mencapai kemakmuran? Salah satunya lewat pendidikan. Dari rahim pendidikan akan lahir generasi emas yang mampu membawa negeri ini sejahtera. Oleh karena itu, pajak sebagai salah satu sumber pendanaan dunia pendidikan haruslah dikelola dengan baik. 

Baca juga : Mimpi Indonesia: Rasio Pajak, Pendidikan, Utang

Pengelolaan itu misalnya untuk mendanai berbagai program dan fasilitas pendidikan, termasuk pembangunan infrastruktur sekolah, penyediaan alat-alat pembelajaran, menggaji tenaga pendidik, memberi bantuan pendidikan, dan program beasiswa.

Salah satu program beasiswa yang menjadi top of mind masyarakat karena selalu banjir peminat ialah Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sejak dibuka pada 2013 hingga sekarang, jumlah penerima Beasiswa LPDP ialah 24.370 perempuan dan 21.130 laki-laki.

Untuk tahun ini, bahkan terjadi rekor pendaftar terbanyak di sepanjang sejarah Beasiswa LPDP. Pada pendaftaran tahap I Tahun 2024, jumlahnya mencapai 20.260 orang dan diperkirakan dalam setahun akan ada 40 ribu pendaftar. 

Baca juga : PPN Pendidikan Dinilai Beratkan Lembaga Pendidikan dan Orangtua

Yang menjadikan LPDP istimewa ialah pihak penerima beasiswa (awardee) harus mampu memberikan manfaat kepada masyarakat. Maka tidak heran ketika awardee diharuskan kembali ke Tanah Air. Alasannya karena penerima beasiswa ini menerima privilese yang berasal dari uang pajak. 

Banyak kisah yang telah menginspirasi. Misalnya, Widya Putra, alumni beasiswa LPDP angkatan pertama sukses berwirausaha jamur. Adapula Galih Sulistyaningra, salah seorang lulusan LPDP S2 di London, yang mengabdikan diri sebagai guru di salah satu sekolah dasar negeri (SDN). 

Semua hal di atas hendak menggambarkan bagaimana pajak telah dikelola untuk dunia pendidikan. Kita patut bergembira akan hal itu. Apalagi, pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan (mandatory spending) Rp660,8 triliun atau 20% dari APBN 2024. 

Baca juga : Dukung Generasi Muda agar Mandiri, Tangguh, dan Cinta Tanah Air 

Mencarikan sekolah
Namun, di saat bersamaan kita patut cemas karena dengan angka yang sedemikian fantastis, masih saja terjadi persoalan di masyarakat terkait akses pendidikan. Misalnya saja orang tua murid dihinggapi kekhawatiran terhadap proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Kekhawatiran itu seharusnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah betul-betul menjalankan filosofi Program Wajib Belajar 12 Tahun. Sebagai pihak yang mewajibkan program tersebut, maka pemerintahlah yang seharusnya mencarikan sekolah bagi para calon siswa.

Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Orang tua yang pontang-panting, sikut-sikutan, mencari sekolah. Fenomena itu rupanya juga menjadi sorotan pengamat pendidikan Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

Baca juga : Dukungan Bea Cukai Banten untuk Pameran Internasional IndoBuildTech 2024

"Jadi musim PPDB ini karena semua masyarakat bayar pajak, maka pemerintah berkewajiban untuk mencarikan anak-anak usia sekolah, sekolah yang layak bagi mereka. Jangan dibalik. Hari ini yang mencari sekolah siapa? Orang tua," kata Ubaid Matraji. 

Pengelolaan pajak oleh pemerintah tidak cukup berhenti untuk membiayai infrastruktur pendidikan, membayar gaji guru dan pendidik, memberikan beasiswa bagi siswa/mahasiswa berprestasi, dan memperbesar akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.

Kalau ingin manfaat pajak itu benar-benar dirasakan masyarakat luas, pemerintah harus menjamin seluruh anak Indonesia tidak akan bersusah payah mencari sekolah karena sekolah mereka sudah disiapkan tanpa dipungut biaya.

Sebab sesuai amanat UUD 1945, semua anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan. Entah itu anak dari keluarga kaya ataupun miskin harus bisa terlayani dengan pendidikan berkualitas dan berkeadilan.

UKT murah
Cara lain agar manfaat pajak bisa langsung dirasakan oleh rakyat ialah pemerintah harus bisa memastikan uang kuliah tunggal (UKT) terjangkau. Masyarakat kebanyakan tentu bertanya-tanya kenapa anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun tapi UKT masih setinggi langit sehingga diprotes oleh mahasiswa?

Publik tentu ingin tahu apakah anggaran yang terbagi atas alokasi belanja pemerintah pusat (Rp237,3 triliun), transfer ke daerah (Rp346,6 triliun), dan pembiayaan investasi (Rp77 triliun) bisa diarahkan untuk menjadikan UKT lebih terjangkau. 

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 berbunyi negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Angka 20% merupakan jumlah minimal sehingga seharusnya terbuka peluang untuk diperbesar bila memang dunia pendidikan membutuhkan lebih. Tujuannya hanya satu, yakni agar dunia pendidikan sukses dalam upaya menghadirkan generasi emas.

Generasi emas ini yang kemudian akan membawa Indonesia menjadi lebih maju, lebih makmur, lebih sejahtera. Namun, ketika pajak yang sudah dipungut itu tidak dikelola secara maksimal bagi dunia pendidikan, amatlah sulit membidani kelahiran generasi emas. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat