visitaaponce.com

Putusan MK Izinkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan Dinilai Cederai Independensi Pendidik

Putusan MK Izinkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan Dinilai Cederai Independensi Pendidik
Alat peraga kampanye yang menunjukkan partai politik peserta Pemilu 2024 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat(Antara/Yulius Satria Wijaya)

DEWAN Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkhawatirkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang mengizinkan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye politik dapat mengganggu independensi para pendidik.

"Kami khawatir dengan putusan tersebut, akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas mengganggu pembelajaran," ungkap Iman Zanatul Haeri Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Senin (21/8).

P2G memperhatikan penjelasan dalam putusan tersebut yang berbunyi "sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat", merupakan penjelasan sangat bermasalah.

Baca juga : Bila Tak Direvisi, UU IKN Bisa Berisiko

Iman menyebut penggunaan gedung sekolah untuk kampanye pemilu, kemungkinan besar kepala sekolah akan sulit menolak apalagi diperintahkan secara struktural dari pemda dan dinas pendidikan. Terlebih jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu.

"Pada praktiknya P2G mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan fasilitas atau aset sekolah. Jika dikembalikan ke sekolah, jelas akan membebani sekolah. Padahal Pemilu dan pendidikan anggarannya berbeda," jelas Iman.

Baca juga : Paham Visi Misi Jokowi, Erick Thohir Dinilai Berpotensi Teruskan Kepemimpinan Indonesia

"Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah (anggaran pendidikan)," kata Iman.

P2G juga mempertanyakan, mengapa perlu fasilitas pendidikan ikut dilibatkan agar bisa digunakan, padahal masih banyak fasilitas pemerintah lainnya yang dapat digunakan.

"Memang tidak ada tempat lain? Kenapa pemilu malah harus menggunakan lahan dan gedung sekolah atau fasilitas pendidikan? Kan masih banyak fasilitas pemerintah lainnya. Jangan pendidikan dikorbankan," jelas guru honorer ini.

P2G juga sangat mengkhawatirkan keputusan MK akan membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orang tua. Sebab hal itu akan menjadi beban baru siswa, guru, dan orang tua dalam praktik pembelajaran di sekolah. 

Kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat pastinya akan menjadi beban psikologis bagi anak termasuk guru.

"Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar," tukasnya.

Dia melanjutkan, aktivitas pedagogi akan didistorsi menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan.

Menurut P2G, siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Ini bukan pendidikan politik melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk.

Kondisi demikian juga membuat rentan terjadinya bullying di sekolah, saat sekolah jadi ruang kampanye pemilu.

"Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain, rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas," Imbuh Iman.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G Feriansyah menyebut di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik. 

Pendidikan politik itu bagus. Tapi bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat pemilu saja. Apalagi yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas ASN dalam pemilu dan kampanye.

"Misal, keterkaitannya dengan netralitas ASN. Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya," tambah Feriyansyah.

Penggunaan fasilitas pendidikan untuk pemilu juga akan menjadi memori kuat warga sekolah (guru, tenaga pendidik, dan peserta didik) bahwa politik hanya menjadi beban saja dan secara eksplisit mengajarkan bahwa kegiatan politik hanya datang setiap pemilu atau jika berkepentingan saja.

"Memori bahwa politik hanya praktik kepentingan setiap Pemilu saja, adalah memori yang tidak mendidik. Ini yang tidak kita harapkan," tegas Feriyansyah.

Negara-negara maju seperti Eropa Utara dan Amerika Utara, sistem pendidikan dan demokrasinya tidak mempraktikkan kampanye politik elektoral di sekolah. Tidak menjadikan sekolah sebagai arena pertarungan politik elektoral para partai politik dan kandidat.

"Pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah," tutup Feriyansyah. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat