visitaaponce.com

Pemilu Jadi Sarana Menghentikan Demokrasi tidak Benar dan Politik Dinasti

Pemilu Jadi Sarana Menghentikan Demokrasi tidak Benar dan Politik Dinasti
Sidang Majelis Kehormatan MK(Antara/M Risyal Hidayat )

PRAKTIK pelanggengan politik dinasti (neo feodalistik) bisa terjadi karena disebabkan oleh tidak adanya aturan yang memadai untuk membatasi kekuasaan presiden dalam proses pemilihan atau pemilu. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan ancaman terbangunnya politik dinasti yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo harus segera diakhiri. 

Pemilu merupakan momentum untuk dijadikan sarana menghukum rezim yang tidak baik dan tidak serius. Pemilu adalah kudeta paling konstitusional untuk digunakan mengakhiri praktik demokrasi yang tidak benar dan mengakhiri politik dinasti.

"Sudah saatnya kita bicara soal bagaimana membatasi kekuasaan presiden untuk cawe-cawe dalam proses pemilihan, ini berbahaya. Makanya kita salah satu negara yang tidak memiliki aturan yang memadai , harusnya ada pembatasan memadai. Kita sudah harus berpikir untuk mengurangi kekuasaan presiden atau kuasa presiden antar waktu pemilu baik dia incumbent ataupun tidak," jelasnya, Jumat (3/11).

Baca juga: Kontestasi Pemilu Tak Sehat Lahirkan Pemerintahan Bebek

Kekuasaan presiden yang tidak dibatasi tersebut akan melahirkan komplikasi serius dalam berdemokrasi dan bernegara. Komplikasi tersebut sudah dicontohkan oleh Joko Widodo sebagai kepala negara dengan kekuasaan yang dimilikinya seperti menyorong putranya Gibran Rakabuming Raka yang sebeiumnya menjadi Wali Kota Solo menjadi calon wakil presiden Pemilu 2024.

"Bagaimana menghilangkan kemungkinan penggunaan kuasa untuk dipakai di berikutnya. Dan yang sering terjadi adalah kita dihibur dengan kata-kata presiden harus netral. Saya kira tidaklah, kita semua tahu bahwa ada jiwa yang terbelah dalam diri setiap manusia yang kadang-kadang apa yang diomongkan bisa berbeda dengan yang dilaksanakan. Dan saya kira Jokowi sudah mencontohkan itu dalam beberapa hal," ungkapnya.

Baca juga: Anies: Negara Ini Milik Rakyat Indonesia, bukan Milik Satu Dua Keluarga

Menurut pria yang akrab disapa Uceng ini menerangkan sikap Jokowi yang tidak netral bahkan memperburuk keadaan tergambar jelas dalam beberapa kebijakannya. Seperti ingin menguatkan KPK tapi yang terjadi sebaliknya pada 2019 KPK menjadi dilemahkan. Bahkan sambung dia yang paling nampak dan diakuinya yaitu sikap cawe-cawe dalam pemilu 2024.

"Dia ingin tidak cwe-cawe tapi malah melakukan cawe-cawe kemudian dia mengatakan netral di satu waktu tapi menggunakan aparat negara untuk mengintai partai lain misalnya sesuatu yang dia bincangan di hadapan relawan. Kemudian membawa penerusnya atau putra mahkota baik putra mahkota yang diturunkan keluarga atau tidak"

Dalam diskusi daring Politik Dinasti Jokowi Konflik Kepentingan dan Bencana Court Capture Mahkamah Konstitusi, Uceng menekankan situasi yang menghancurkan demokrasi ini menjadi tugas besar semua pihak khususnya publik untuk mengawasi banyak hal, termasuk menggunakan konsep tertentu, seperti BUMN, penggunaan aparat negara, penggunaan alat kelengkapan negara bahkan penggunaan keuangan negara.

"Kita tahu dalam sejarah tradisi presiden mencoba dalam pemilu ulang (incumbent) biasanya ada anggaran turun seperti dana BLT dan politik uang. Karena kita berhadapan dengan pemilih yang tidak terlalu familiar dengan isu yang lebih struktural," ucapnya.

Dalam setiap pemilu harapan publik tidak lepas dari keinginan peningkatan ekonomi dan kesempatan kerja. Sedangkan isu seperti penegakan hukum, hak asasi manusia dan demokrasi berada di urutan akhir. Hal inilah yang biasanya digunakan untuk menderek keterpilihan politik dinasti.

"Itu yang biasa menggoda presiden dengan faktor putra mahkota akan memainkan isu itu dan melakukan upaya penyejahteraan dengan bantuan langsung dan lainnya," imbuhnya.

Di sisi lain presiden yang memainkan politik dinasti tidak akan memberikan ruang besar kepada presiden yang baru untuk melakukan perubahan. Contoh misalnya presiden yang terpilih nanti akan mendapatkan dan melaksanakan APBN yang sudah disepakati oleh presiden sebelumnya. Perilaku tersebut akan terus berlanjut jika tidak dibuatkan pembatasan yang tegas dalam UU.

"Jadi ruang dia untuk melakukan perbaikan kecil sekali. Itu sebabnya di beberapa negara mulai dibuat bangunan transisi presiden yang sudah tidak mungkin terpilih lagi, kemudian menggabung transisi diatur dalam beberapa undang-undang. Ada berapa negara yang mengaturnya bukan hanya soal sistem tapi membatasi kuasa presiden penggunaan fasilitas negara, alat negara, aparat negara maupun keuangan negara itu harusnya dibatasi secara ketat kita adalah negara yang tidak membatasi itu secara baik. Sehingga dalam beberapa kasus Presiden itu masih bisa melakukan beberapa hal misalnya cinderella action yang mengubah hal-hal tertentu di akhir dia akan berubah menjadi orang biasa," tukasnya.

Pil Pahit Pemilu 2024

Sementara itu Program Officer ICW Yassar Aulia mengungkapkan pil pahit yang harus ditelan secara kolektif dalam Pemilu 2024 nanti adanya pembangunan dinasti politik Joko Widodo. Kegaduhan yang terjadi salah satunya merupakan ujung dari nihilnya kebijakan pengelolaan dan secara spesifik tidak adanya pengelolaan konflik kepentingan oleh hakim konstitusi utamanya ketua MK Anwar Usman

"Saya rasa salah satunya merupakan ujung dari nihilnya manajemen konflik kepentingan di mahkamah konstitusi," ungkapnya

Dia mengkritisi tentang dugaan orkestrasi di balik putusan 90/PUU-XXI/2023 yakni keterlibatan ketua MK yang mendadak di rapat permusyawaratan hakim untuk perkara tersebut. Kemudian adanya praktik lobi terhadap hakim konstitusi lain oleh ketua MK.

"Ada juga keganjilan seputar pencabutan permohonan yang tidak jadi jug dugaan berkas perbaikan permohonan tidak ditandatangani," jelasnya.

Peneliti PSHK Violla Reininda menegaskan pelaporan terhadap Ketua Hakim MK Anwar Usman ke MKMK, merupakan salah satu bentuk masyarakat sipil melawan upaya yang ditunjukkan untuk mereduksi marwah dan kewibawaan MK, melalui court capture ataupun melalui upaya menundukkan menjadikan MK sebagai alat politik untuk mengubah undang-undang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.

"Inilah yang kemudian menghasilkan abuse judicial review. Ini tidak hanya terjadi dalam satu malam atau satu putusan untuk melanggengkan politik dinasti di pengujian batas usia tapi sudah jauh lebih lama dari itu. Mulai adanya perubahan undang-undang MK Nomor 7 Tahun 2020 revisi undang-undang MK yang ketiga itu mau mereduksi independensi MK dan juga menguasai kelompok hakim di dalamnya agar bisa sejalan dengan kepentingan penguasa," tukasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat