Rieke Diah Pitaloka Luncurkan Buku Kekerasan Simbolik Negara
ANGGOTA Fraksi PDIP DPR RI Rieke Diah Pitaloka meluncurkan buku hasil disertasi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dengan judul Kekerasan Simbolik Negara: Kebijakan Rekolonialisasi.
Buku tersebut membahas kekerasan yang dilakukan negara, melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil pedesaan.
"Inilah poin penting yang dibahas dan saya tuangkan dengan bentuk menjadi buku dengan hasil analisis saya di tiga desa terkait persoalan data," ujar Rieke di sela-sela peluncuran buku di Auditorium Komunikasi FISIP UI, Depok, Selasa (22/11).
"Keseluruhan disertasi saya semuanya dituangkan dalam buku ini, yang merupakan deskripsi, analisis, dan interpretasi atas data dan pendataan pedesaan," sambung dia.
Baca juga: Publik Desak Jokowi Copot Wamenkum HAM
Adapun desa yang menjadi fokus analisis disertasi Rieke, yaitu Desa Sibandang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara; Desa Pantai Bakti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; dan Desa Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali.
Berdasarkan temuan penelitian Rieke dari tiga desa tersebut, data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi.
Menurut dia, data direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down tidak melahirkan kesinambungan data. "Inilah yang menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat, dan relevan (pseudo-data)."
Meski begitu, imbuhnya, data yang bermasalah itu justru tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun, karena prosesnya berpedoman pada aturan perundang-undangan.
Rieke mengatakan, hal itu disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, memaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan. "Hasil penelitian saya menunjukkan kebijakan rekonsiliasi dan the vicious circle kebijakan rekonsiliasi yang mengonfirmasikan terbuktinya hipotesis. Artinya, semakin kuat dosa kekerasan simbolik pada norma yuridis pendataan," katanya.
Hasil disertasi yang sudah menjadi buku ini, terang dia, diharapkan dapat dijadikan referensi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan pembangunan sistem kebijakan publik berdasarkan pendataan desa berbasis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Jika pemerintah melakukan hal tersebut sangat memungkinkan lebih banyak ruang untuk komunikasi dan partisipasi warga desa dalam melakukan pendataan," imbuhnya.
Rieke juga berharap bukunya dapat mengakhiri kekerasan simbolik negara terhadap pedesaan yang beroperasi melalui norma yuridis pendataan desa. Dia menjelaskan, hasil disertasinya ini memperlihatkan bahwa data yang diproduksi dengan pendekatan bottom up sangat dibutuhkan untuk mengakhiri kebijakan rekonsiliasi menjadi kebijakan afirmatif negara.
"Kebijakan afirmatif ini merupakan implementasi amanat konstitusi untuk mencapai lima aspek kesejahteraan rakyat. Kebijakan konstitusional bukan hanya tentang menyelamatkan triliunan rupiah uang rakyat di kas negara, kebijakan negara yang berbasis pada data pedesaan yang akurat dan aktual, sesungguhnya tentang nasib dan nyawa jutaan rakyat. Inilah yang saya tekankan dalam buku ini," tandasnya.
Rieke Diah Pitaloka merupakan aktivis, politisi, dan akademisi yang mengawali kariernya sebagai pekerja seni. Tesisnya dibukukan dengan judul Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara. Tesis tersebut dilanjutkan dalam disertasinya, kemudian dituangkan dalam buku Kekerasan Simbolik Negara: Kebijakan Rekolonialisasi.
Rieke menjabat sebagis anggota DPR-MPR RI Fraksi PDI Perjuangan (2009-2024). Pada saat buku ini diterbitkan ia masih menjabat sebagai Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia, dan Duta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Kemudian, Dewan Pakar Indonesia untuk Memory of The World Unesco, Dewan Penasihat Majelis Desa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi). Penghargaan yang diterimanya, antara lain Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum, serta The Most Powerful Woman (2010) dari Asia Globe. (RO/J-2)
Terkini Lainnya
Revisi UU MK Dikritik Megawati, Fraksi PDIP Bakal Beri Nota Keberatan
PDIP Setuju Revisi UU Kementerian : Jumlah Menteri Harus Efesien
PDIP Perlu Jadi Oposisi
Tanggapi Gugatan PDIP ke PTUN, KPU Tegaskan Sengketa Hasil Pemilu Hanya di MK
Puan Maharani: Partai Pemenang Pileg Berhak Dapatkan Kursi Ketua DPR RI
PDIP Yakin Hak Angket tapi Masih Tunggu Instruksi Megawati
Pimpinan KPK Dinilai Cari Kambing Hitam
Pemerintah Dinilai tak Serius Lindungi Data
Soal Judi Online, Ketua DPR RI Puan Maharani: Jika Ada Sebutkan Namanya
Pengembangan Produk Pariwisata Berkelanjutan Harus Konsisten Dilakukan
Nilai Transaksi Dua Anggota DPR dan 58 Karyawan Diduga Bermain Judi Online Mencapai Rp1,9 Miliar
Arti Kemenangan Prabowo Subianto dan Vladimir Putin
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap