visitaaponce.com

Indonesia Menuju Negara Otoritarianisme

Indonesia Menuju Negara Otoritarianisme
Presiden Joko Widodo(BPMI Setpres )

KLAIM Presiden Joko Widodo yang mengatakan pemerintah tidak pernah melakukan pembatasan hak berbicara masyarakat, bahkan mencaci maki presiden, dimentahkan sejumlah pihak. Sejumlah fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda 180 derajat. Bahkan, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi disebut mengarah sebagai negara otoritarianisme.

Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (Pandekha) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona menjelaskan proses hukum terhadap aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti serta intimidasi kepada seniman Butet Kartaredjasa adalah bentuk dari pembatasan hak sipil politik masyarakat.

Padahal, dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, pemerintah harus bersikap pasif terhadap hak sipil politik masyarakat. Boleh jadi, lanjut Yance, tidak ada instruksi langsung secara tertulis dari pemerintah yang mengekang kebebasan hak sipil politik masyarakat, misalnya melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Baca juga: Jokowi Menyiratkan Sepaham dengan Anies soal Kebebasan Berpendapat

Namun, praktiknya di lapangan tidak terejawantah. Ia berpendapat, pembatasan kebebasan masyarakat di era Jokowi menunjukkan adanya otoritarianisasi. Bagi Yance, otoritarianisasi berbeda dengan otoritarianisme

"Dalam negara otoritarianisme, (sifat) otoritariannya sudah terbentuk, tapi otoritarianisasi lebih kepada sebuah proses yang menunjukkan sejumlah bukti kita sudah mengarah ke situ," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (15/12).

Baca juga: Janjikan Kebebasan Berpendapat, Anies : Wakanda No More, Indonesia Forever

Bagi Yance, negara demokrasi dan otoritarian sama-sama menjamin kebebasan berekspresi masyarakat lewat peraturan perundang-undangan. Namun, yang membedakan adalah sejauh mana kebebasan itu dapat dinikmati masyarakat. Menggunakan contoh anekdotal, ia menyebut kebebasan berekspresi di negara maju dinikmati masyarakat kapan saja.

"Kalau di negara otoritarian, kebebasan berbicara itu dinikmati sebelum mereka berbicara. Artinya, setelah mereka berbicara belum tentu bebas," jelasnya.

"Freedom of speech-nya sama-sama diatur, tapi freedom after speech-nya enggak ada jaminan," pungkasnya.

Dihubungi terpisah, pakar politik senior, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, kebebasan sipil tidak hanya diukur lewat nihilnya proses hukum kepada masyarakat yang mengkritik presiden. Sebab, banyak indikator yang digunakan untuk mengukur indeks demokrasi. Menyitir Indeks Demokrasi versi Economist Intelligence Unit, Indonesia masih dikategorikan sebagai flawed democray atau demokrasi cacat.

"Di pemerintahan yang (periode) kedua, kita tahu Jokowi melakukan politik akomodasi yang memasukan Prabowo dan Sandiaga Uno ke dalam kabinet. Hampir-hampir tidak ada balance of power antara eksekutif dan legislatif," jelasnya.

Adapun Rocky Gerung, akademisi yang lantang menyarakan kritik ke Jokowi, melalui pesan singkat menyebut klaim Presiden terkait kebebasan berekspresi masyarakat berlawanan jalan dengan praktik di lapangan.

Klaim Jokowi itu disampaikan menanggapi pernyataan calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan saat debat capes pertama pada Selasa (12/12) yang menyinggung menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Presiden menyebut tidak pernah melakukan pembatasan masyarakat untuk berbicara

"Kita ini kan tidak pernah melakukan pembatasan-pembatasan apapun, dalam berbicara, dalam berpendapat, ada yang maki-maki presiden, ada yang caci-maki presiden, ada yang merendahkan presiden, ada yang menjelekkan juga biasa-biasa saja," aku Jokowi. (Tri/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat