visitaaponce.com

Sekarat Demokrasi

Sekarat Demokrasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DUA profesor Departemen Perbandingan Politik Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, pada 2018 menuliskan buku How Democracies Die yang menggambarkan tentang gelombang kemunduran demokrasi pada milenium ketiga, terutama di Amerika Serikat.

Salah satu sebab hadirnya buku itu ialah dampak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 (20 Januari 2017–20 Januari 2021). Mereka menganggap itu sebagai babak sejarah terburuk pemilihan presiden AS, dengan pelbagai proses keterpilihan dan analisis tentang kebijakan mereka pada satu tahun pertama.

Bukan hanya Trump, melainkan juga beberapa pemimpin negara sebelumnya, menjadi racun demokrasi. Mereka ialah sosok populer di media massa dan media sosial, tapi bukan kader partai politik (parpol). Mereka merintis karier sebagai sosok populis yang tidak cukup fasih memahami demokrasi, bahkan pemerintahan.

Buku itu memberikan sinyal pada pemerintahan di dunia, terutama yang terjadi di Argentina, Brasil, Ghana, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, Uruguay, dan Yunani. Mereka pemimpin nonpolitikus, tidak lahir dari aktivisme demokrasi yang kemudian mengkhianati nilai-nilai demokrasi beberapa saat setelah berkuasa.

Kerusakan demokrasi yang dicatat Levitsky/Ziblatt memang memasukkan kasus Trump yang baru satu tahun berkuasa. Mereka belum sempat mencatat buruknya karakter kepresidenan Trump yang sempat dimakzulkan dua kali oleh DPR AS, pada 2019 dan 2021. Pemakzulan kedua terjadi setelah ia menyerukan pemberontakan sipil menolak hasil Pemilu 2020.

 

Empat perilaku otoriter

Levitsky/Ziblatt mencatat indikator kunci dari perilaku otoriter Trump yang kemudian diduplikasi banyak pemimpin negara lain. Pertama, sebagai presiden ia dianggap tidak peduli terhadap konstitusi dan aturan main demokratis. Tercatat, Trump ikut mengajak pemberontakan sipil untuk mengepung Capitol Hill. Saat itu para pemberontak memang berhasil memasuki gedung rakyat itu, meskipun tak berhasil melakukan gerakan bersenjata.

Kedua, Trump menyangkal legitimasi lawan politik. Ia menggunakan pola wicara insinuatif untuk mendiskreditkan lawan-lawan politiknya dan menganggap mereka ancaman bagi eksistensi negara. Trump sama sekali tidak mengajarkan rivalitas yang sehat, malah menjadikan lawan sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Kemampuan berdebat Trump buruk, menjadikan ia lebih mirip propagandis jika dibandingkan dengan penyalur gagasan demokrasi.

Ketiga, ia menoleransi penggunaan siasat licik untuk mencapai tujuan. Perilaku Trump itu jelas kemudian diikuti beberapa pemimpin dunia yang terpilih melalui jalur pemilu dengan menguasai media massa, mengakali kaum preman, dan memprovokasi milisi agama untuk membungkam oposisi dan gerakan demonstrasi damai. Ketika kekerasan dan perpecahan sosial terjadi, mereka cuci tangan.

Padahal, setiap kekerasan fisik-massal selalu dimulai dengan motivasi-sugesti dari pemimpinnya yang sok bijaksana. Mereka menggerakkan massa yang marah dan cemas, dan tidak menghidupkan deliberasi demokrasi rasional dan santun.

Keempat, Trump dikenal sebagai presiden AS yang tidak ramah pada kebebasan berbicara, termasuk kebebasan pers. Ia mendukung hadirnya regulasi yang membatasi kebebasan sipil, perluasan hukum pencemaran nama baik, membatasi protes, dan kritik kepada pemerintah. Pemerintahan model itu juga memuji pemerintah represif yang terjadi di masa lalu atau di tempat lain.

Pertanyaannya mengapa presiden seperti Trump, Chavez, Erdogan, Evo Morales, atau Rafael Correa bisa menjadi tokoh yang terpilih di dalam pemilu yang bebas? Itu karena mereka mampu menghidupkan isu populisme di dalam proses kandidasi dan mengalahkan para politikus partai yang telah berkeringat menghidupkan parpol sebagai infrastruktur demokrasi.

Beberapa di antaranya menggunakan keterampilan demagogis untuk mendeskreditkan keberadaan parpol dan mengabaikan konstitusi. Dengan bantuan pendukung, mereka mengisoliasi kaum demokrat yang tumbuh dari parpol.

Mereka inilah yang disebut sebagai kaum otokrat. Para otokrat menikmati situasi krisis parpol dan pelan-pelan menggunakan modus partai menghidupkan sentimen populisme dan banalitas politik untuk memenangkan pemilu. Karena mereka tidak melakukan perjanjian kuat dengan demokrasi, kemudian hari kumulasi kekuasaan mereka terbagi kepada kaum oligarki dan aristokrat politik.

Pada 12 September 2023 Levitsky dan Ziblatt menerbitkan buku yang merupakan kelanjutan dari How Democracies Die, berjudul Tyranny of the Minority. Pada buku itu mereka memperlihatkan kerusakan demokrasi lebih dalam akibat kaum otokrat yang bersekutu dengan sekelompok kecil oportunis kekuasaan membentuk sistem pemerintahan tiranik dan memunculkan kebijakan elitis dan antikesejahteraan.

Pelan-pelan mereka memperlemah lembaga hukum dan mengambil untung ekonomis pada model regulasi oligarkis/monopolis, dan menjauhkan esensi pemilu pada terwujudnya demokrasi kesejahteraan.

 

Krisis kandidasi pilpres

Kiranya apa yang digambarkan Levitsky/Ziblatt seperti memberikan cermin tentang situasi pemerintahan Joko Widodo pada akhir-akhir ini. Mereka memang sama sekali tidak menjadikan sosok Jokowi sebagai 'otokrat', tapi memberikan gambaran yang sangat replikatif bahkan ikonik untuk kasus pembusukan demokrasi yang terjadi di Indonesia pascareformasi 1998 ini.

Titik kulminasinya ialah keputusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang aneh, baik dari sisi formal maupun etika konstitusionalitasnya, yang mengalami kecacatan nyata, termasuk adanya konflik kepentingan yang nyata. Bagaimana keputusan yang melahirkan empat dissenting opinion hakim konstitusi itu, tetap memuluskan jalan dari sang paman kepada keponakan agar mendapatkan peluang kandidasi sebagai calon wakil presiden.

Frasa sakti dari lembaga yang selama ini dihormati sebagai penjaga konstitusi itu 'kecuali berpengalaman sebagai kepala daerah', mampu membuat Pasal 169 huruf q UU Pemilu (UU No 7/2017) rungkad tak berdaya. Selama ini UU Pemilu itu telah mengalami tebasan dari putusan judicial review MK puluhan kali, tapi tidak ada yang seberdarah ini.

Memang seperti argumentasi yang digunakan bahwa batasan umur 40 tahun bukan sebuah parameter universal karena di beberapa negara memberlakukan batasan minimum 35 tahun seperti di Polandia, Angola, Bangladesh, Austria, atau Meksiko. Namun, norma hukum itu telah diberlakukan jauh hari ketika belum ada kasus yang terjadi. Referensi hukum dihadirkan untuk tiang keadilan, bukan sebagai tali kepentingan.

Putusan MK itu menjadi bukti untuk mengubah norma hukum dengan cepat atas Undang-Undang Pemilu, padahal tahapan sudah berlangsung. Etika hukum dan demokrasi apa yang bisa digunakan untuk menyebutkan kasus itu bisa tegak sebagai pilihan demokrasi, alih-alih guillotine bagi demokrasi prosedural?

Sikap Jokowi sebagai otokrat terlihat sekali pada kasus ini. Hal ini tidak bisa dianggap keniscayaan demokrasi, seperti pernyataan Prabowo pascaputusan MK dan mengambil 'untung konstitusional' untuk meminang Gibran sebagai cawapresnya. Ada unsur cawe-cawe Presiden atas keputusan ini sehingga memunculkan rasa putus asa pendukung Jokowi yang kini pelan-pelan mulai pamit, termasuk aktivis demokrasi dan 98.

Legasi yang cukup baik ditinggalkan Jokowi melalui proyek prestisius infrastruktur (jalan tol, interkoneksi transportasi, dan IKN) akhirnya harus luruh oleh politik pelemahan daulat hukum dan konstitusi di akhir masa jabatannya.

Meskipun upaya nepotisme dan dinasti politik ini belum tentu berhasil, kita berharap demokrasi tidak semakin mengalami pendarahan. Karena jika demokrasi Indonesia sampai mati, akan menyisakan kekecewaan mendalam bagi para pejuangnya dan kekelaman obituari bagi para perintisnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat