visitaaponce.com

HAM, Lustration Law, dan Pemilu

HAM, “Lustration Law”, dan Pemilu
Andrey Sujatmoko(dok: Pribadi)

Mengutip Bisnis.com (24/1/2024), salah satu media ternama Amerika Serikat New York Times/NYT menyoroti calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto dan menyinggung persoalan demokrasi di Indonesia. Dalam artikel berjudul Why This Presidential Front-Runner Is Stirring Fears of the ‘Death of Democracy’, pada 21 Januari 2024, media Negeri Paman Sam ini menuliskan pandangan sejumlah pihak mengenai sosok Prabowo dan rekam jejaknya dalam persoalan hak asasi manusia (HAM). NYT juga menggambarkan kekhawatiran sejumlah kritikus terhadap hilangnya demokrasi di Indonesia jika Prabowo terpilih sebagai presiden.

Kutipan berita di atas menggambarkan bahwa persoalan HAM adalah sangat penting di mata internasional. Mengapa begitu? Karena HAM merupakan salah satu aspek fundamental dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat eksistensi HAM telah menjadi   tolok ukur dari peradaban. Oleh karena itu, HAM haruslah senantiasa dijamin, dihormati, dan dipenuhi oleh negara. Tidak terwujudnya ketiga hal itu tentunya akan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berujung pada terjadinya pelanggaran HAM. 

HAM, dengan demikian, haruslah menjadi dasar pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan yang diwujudkan dalam kebijakan negara. Hal tersebut menjadi sangat relevan dengan situasi saat ini di Indonesia, yaitu menjelang pemilihan umum (pemilu) yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Terkait hal di atas, terlihat adanya relasi antara kekuasaan dan HAM. Di tangan kekuasaan yang demokratis, eksistensi HAM akan lebih terjamin dibandingkan dengan di tangan kekuasaan yang otoriter. Pengalaman di negara-negara otoriter,  seperti di pecahan Uni Soviet pascabubarnya negara itu, merupakan realitas yang menggambarkan bagaimana HAM dinegasikan di tangan para penguasa otoriter.

Sebutlah misalnya pengalaman buruk di sejumlah negara yang terjadi selama rezim otoriter berkuasa pada era 60-an hingga 90-an, seperti yang terjadi di Rumania saat dipimpin oleh Nicolae Ceauşescu (berkuasa 1967-1989), Argentina dengan Jorge Rafael Videla (1976-1981), Cile semasa Augusto Pinochet (1973-1990), dan termasuk di Indonesia semasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto (1967-1998).

Rezim otoriter tersebut merupakan bagian dari sejarah kelam kemanusiaan berupa pelanggaran HAM yang sudah tak terhitung jumlahnya. Hal itu pun terjadi di Indonesia. Data pelanggaran (berat) HAM masa lalu dari Komnas HAM RI menunjukkan masih adanya 12 kasus yang belum terselesaikan hingga saat tulisan ini dibuat.

Tanpa adanya penyelesaian terhadap kasus tersebut, sesungguhnya negara telah melakukan impunitas dan secara tidak langsung telah memberikan ‘lisensi’ kepada pihak lain untuk melakukan hal serupa (pelanggaran HAM) di kemudian hari. 

Tulisan ini membahas secara ringkas mengenai “lustration law” yang dalam rezim hukum internasional mengatur bagaimana seharusnya suatu negara menyikapi orang-orang atau para pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu. 

“Lustration Law”

Efek pencegahan (deterrent effect) agar kasus pelanggaran HAM tidak berulang (non-repetition) dalam praktiknya dikenal dengan cara memberlakukan “lustration law”. “Lustration law” secara bebas dapat diartikan sebagai “hukum pemurnian” atau “hukum pembersihan” sesuai dengan tujuan dari dibuatnya aturan hukum tersebut, yaitu agar orang-orang yang terlibat/terkait pelanggaran HAM pada masa lalu ditempatkan di luar lingkaran pemerintahan agar tidak melakukan HAM lagi pada masa yang akan datang.

Istilah "lustrasi" berasal dari bahasa Latin yang berarti "pemurnian". Dalam literatur keadilan transisi, istilah ini merujuk pada cara yang digunakan beberapa negara untuk menangani warisan pelanggaran HAM: melalui diskualifikasi massal terhadap mereka yang terkait dengan pelanggaran di bawah rezim sebelumnya. Praktik ini menjadi terkenal di Eropa Timur pascaSoviet di mana sebagian besar negara telah mengadopsi beberapa bentuk lustrasi untuk mengecualikan dari jabatan publik untuk jangka waktu yang berbeda-beda para mantan pejabat partai komunis dan mereka yang berkolaborasi dengan polisi rahasia. Namun, praktik yang digambarkan sebagai lustrasi telah terjadi dalam konteks lain mulai dari pembersihan pasca-Perang Dunia II di Eropa hingga de-Baathification yang dipimpin Amerika setelah menginvasi Irak tahun 2003 (https://www.beyondintractability.org/essay/lustration).

“Lustrasi” adalah kata yang pada awalnya berarti semua metode pemurnian dan penebusan dosa di kalangan orang Yunani dan Romawi. Secara kontemporer, kata ini berarti untuk memastikan apakah seorang penghuni atau kandidat untuk jabatan publik tertentu pernah bekerja atau berkolaborasi dengan rezim represif sebelumnya dan dengan demikian, secara moral tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan publik.

Istilah lustrasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah vetting yang, menurut PBB, "memerlukan proses formal untuk identifikasi dan pemecatan individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran, terutama dari kepolisian, layanan penjara, tentara dan peradilan". (Dokumen PBB No. S/2004/616. Aturan hukum dan keadilan transisi dalam masyarakat konflik dan pascakonflik. Laporan Sekretaris Jenderal PBB, 23 Agustus 2004, paragraf. 52). (http://www.proyectos.cchs.csic.es/transitionaljustice/content/lustration-mechanisms)

Mengutip laman United States Department of State Transitional Justice Initiative Lustration and Vetting (https://2009-2017.state.gov), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan lustrasi (lustration) adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pascakonflik atau pascaotoriter untuk mengeluarkan dari lembaga-lembaga publik personel yang telah terlibat dalam kegiatan yang mempertanyakan integritas dan profesionalisme mereka, seperti pelanggaran HAM, pelanggaran hukum humaniter internasional atau kejahatan, sebagai cara untuk membangun kepercayaan di sektor publik.

Lalu yang dimaksud dengan pemeriksaan (vetting) adalah proses di mana kebijakan lustrasi diberlakukan. Pemeriksaan penuh memeriksa personel yang ada saat ini dan juga mengembangkan prosedur penyaringan untuk mencegah perekrutan personil yang terlibat dalam pelanggaran di masa depan. Pemeriksaan adalah bentuk pertanggungjawaban administratif, bukan pidana, yang tidak mengakibatkan hukuman penjara atau denda. Dampaknya adalah pemecatan atau penolakan posisi-posisi tertentu dalam pekerjaan publik.

Menurut Amnesty Internasional, dalam standar HAM internasional, vetting mechanism seharusnya diberlakukan terhadap orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM. Vetting mechanism adalah mekanisme yang melarang pelaku kejahatan paling serius menjadi pejabat negara tempat mereka berwenang menjalankan proses pemerintahan. Sebaliknya, pelaku pelanggaran HAM tersebut harus harus diproses secara hukum di pengadilan dan korbannya harus diberikan pemulihan.

Menurut mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, yang dimaksud dengan lustration adalah pemutihan dengan penghentian dini seseorang dari jabatannya. Karena jabatan yang dipegang oleh seseorang pada rezim yang lalu, atau karena implikasi atau perannya dalam sistem penindasan, seseorang bisa dicegah memegang jabatan-jabatan penting pada pemerintahan yang baru.

Selanjutnya ia menyebutkan beberapa contoh yang bisa dirujuk negara yang memilih mekanisme lustrasi tersebut. Di Republik Ceko, Lithuania, dan Jerman pasca-komunis, pembersihan administratif dilakukan untuk mencopot mereka yang terkait dengan pelanggaran di masa lalu dari berbagai jabatan publik untuk sementara waktu, terutama mereka yang diduga bekerja sama dengan polisi rahasia.

Konteks Indonesia

Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara yudisial dapat dikatakan “macet”. Hal itu, antara lain ditunjukkan dari sejumlah pelanggaran (berat) HAM masa lalu yang masih belum terselesaikan hingga kini. Berdasarkan fakta tersebut, sulit untuk dibantah adanya anggapan bahwa  pemerintah yang berkuasa saat ini sesungguhnya telah melakukan impunitas (impunity) yang dilarang oleh hukum internasional.

Bahkan, hal yang sekarang terjadi, tidak hanya sekadar impunitas. Alih-alih melakukan langkah-langkah penyelesaian terhadap pelanggaran HAM, sebaliknya pemerintah yang berkuasa justru memberikan semacam “promosi” terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat/terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal, merupakan suatu kewajiban hukum dari negara untuk melakukan proses hukum terhadap orang-orang atau pihak-pihak tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

Terkait dengan hal di atas, penerapan “lustration law” di Indonesia menjadi relevan, walaupun dalam kenyataannya akan tidak mudah. Mengingat, kehendak politik pemerintah yang sedang berkuasa saat ini justru condong ke pihak yang memang memiliki rekam jejak HAM yang buruk atas dasar kepentingan politik praktis semata.

Penerapan “lustration law” sebetulnya merupakan sebuah langkah antisipatif/pencegahan melalui suatu kebijakan dari negara, agar orang-orang atau para pihak yang memilik rekam jejak HAM yang buruk “dieliminasi” dari kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan publik di dalam struktur pemerintahan.

Harapannya, berdasarkan hal itu, mereka tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengulangi kesalahannya seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yaitu melakukan pelanggaran HAM dengan menyalahgunakan jabatannya. Hal itu setidaknya akan mengurangi risiko terjadinya pelanggaran HAM oleh orang-orang atau pihak-pihak yang sama di kemudian hari.

Dalam konteks Indonesia, penerapan “lustration law” semestinya dapat dilakukan, mengingat  bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) yang berciri adanya penghormatan terhadap HAM dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Selain itu, hal itu juga penting demi membangun kredibilitas Indonesia di mata Internasional.

 

 

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat