visitaaponce.com

Pengadilan Rakyat Diperlukan untuk Mengungkap Kecurangan Pemilu 2024

Pengadilan Rakyat Diperlukan untuk Mengungkap Kecurangan Pemilu 2024
Illustrasi: massa mendesak kepada DPR untuk menggunakan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024(MI/Susanto)

PENGADILAN Rakyat atau Mahkamah Rakyat perlu dikaji dilakukan untuk mengungkap kejahatan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pengadilan Rakyat yang diselenggarakan dan dibuka secara internasional ini pernah dilakukan saat mengadili kejahatan HAM pada 1965.

Ahli Sejarah Indonesia Asvi Warman Adam menerangkan sudah pernah melihat Pengadilan Rakyat yang dilakukan pihak Indonesia.

Pengadilan itu dikenal International People's Tribunal mengenai kejahatan 1965 itu diadakan di Den Haag, Belanda, pada 2015 yang disebut IPT 1965. Asvi mengatakan rakyat Indonesia bisa membawa kecurangan Pilpres 2024 itu ke pengadilan tersebut.

Baca juga : MK Telah Terima Berkas Permohonan Gugatan Hasil Pemilu 2024 dari Timnas Amin

"Karena ada keinginan untuk melakukan hal itu di Indonesia setelah berlangsungnya Pemilu 2024 ini," ungkap Asvi dalam sebuah diskusi daring bertajuk Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?, Senin (15/4).

Asvi menceritakan Pengadilan Rakyat mengadili Peristiwa 65 dilakukan karena upaya-upaya hukum yang sudah dilakukan sejak era Reformasi itu menemui kegagalan. Ribuan jiwa melayang pada peristiwa tersebut sehingga rakyat menuntut keadilan terhadap lima Presiden RI.

"Upaya ini menemui kegagalan pada 2006. Bukan hanya kegagalan, namun proses penyelenggaraan pengadilan itu juga berlangsung tidak dengan lancar karena mereka yang bersaksi ataupun mereka yang akan datang ke pengadilan itu diganggu oleh ormas macam FPI dan lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul upaya yang lain dari sekadar tuntutan di pengadilan," tambah Asvi.

Baca juga : Pengamat Nilai PDIP belum Satu Suara soal Hak Angket

Maka dari itu, lanjut Asvi, Joshua Lincoln Oppenheimer, sutradara film berkebangsaan Amerika dan Inggris, membuat film Jagal pada 2012. Film Jagal ini istimewa karena setelah era reformasi itu, yang muncul itu adalah buku-buku maupun seminar-seminar tentang kesaksian para korban.

Dalam film Jagal itu, lanjut dia, yang menarik itu adalah pelaku yang bersuara dan membuat pengakuan. Film Jagal itu dengan latar belakang Sumatera Utara, itu mengisahkan tentang seorang anggota pemuda Pancasila yang bekerja sebagai tukang catut karcis di bioskop.

"Itu ternyata juga pelaku pembunuhan besar-besaran itu di Medan. Dan dia juga menceritakan bagaimana dengan enteng bahwa untuk membunuh orang itu, dia cukup mengikatkan kawat itu di sekeliling leher orang itu, dan kemudian kawat itu ditarik ujungnya sehingga leher orang itu bisa terputus. Jadi, keganasan itu diperlihatkan dalam film Jagal pada 2012," ungkapnya.

Baca juga : Anies Komitmen Perjuangkan Perubahan Sampai Akhir

Berlatar belakang film itu, kemudian digagaslah aksi yang disebut dengan International People Tribunal, Pengadilan Rakyat Internasional mengenai kasus 65. Menurutnya, pengadilan itu diselenggarakan di Den Haag, Belanda karena Indonesia tidak aman.

"Dan Den Haag itu memang secara historis, itu memang pengadilan-pengadilan hak internasional beberapa kali itu diadakan di Den Haag. Dan kemudian di sana dilakukan dengan-dengan aman, tidak ada yang demo dan lain-lain. Dan pengadilan internasional itu diadakan di Newquay," jelas Asvi.

Lalu dibentuklah tujuh Majelis Hakim Internasional, yang semuanya berasal dari luar negeri. Mereka tidak dibayar alias pro bono. Para pengadil merupakan hakim atau jaksa di negara mereka masing-masing.

Baca juga : Hak Angket Diperlukan di tengah Merosotnya Kepercayaan Publik ke KPU dan Bawaslu

Majelis diketuai oleh Yusyaf Yaakob dari Afrika Selatan, mantan hakim konstitusi di Afrika Selatan yang seorang tunanetra. Kemudian anggotanya juga ada dari Inggris, Geoffrey Nish.

Kemudian Helen Jarvis, warga negara Australia sekaligus warga negara Kamboja. Helen Jarvis adalah penulis disertasi tentang Tan Malaka. Dia sudah beberapa kali ke Indonesia dan sempat pada masa Orde Baru itu dilarang untuk masuk Indonesia. Dia menerjemahkan buku Dari Penjara Ke Penjara Tan Malaka itu ke dalam bahasa Inggris.

"Jadi, dia sangat paham tentang Indonesia. Dan kemudian ada seorang Mireille Fanon-Mendek dari Perancis dan John Gintings di Inggris yang namanya di dalam simposium ini kadang-kadang ditulis di Rilu," terang Asvi.

Jaksa penuntut itu terdiri dari tujuh orang yang dari LBH dan Kontras dan lain-lain yang dikoordinatori oleh Todung Mulya Lubis. Ada satu orang asing di sana yang juga menjadi jaksa dalam Tribunal Kamboja yaitu Silke Studzinski.

Persidangan itu berlangsung empat hari, sengaja dipilih Hari Pahlawan pada 10 November.

"Hakim kemudian atau pengadilan ini memutuskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965," tegas Asvi.

Asvi menilai keputusan tersebut sangat-sangat keras yang memang secara hukum memang tidak memberikan kewajiban bagi pemerintah Indonesia. Namun, secara moral dan politis ini memberikan dorongan atau sanksi bahwa negara sudah melakukan kekerasan ataupun pelanggaran HAM berat dan seharusnya pemerintah Indonesia mengambil tindak lanjut menindak lanjuti kesimpulan pengadilan ini.

"Itu gambaran tentang pengadilan HAM internasional di Den Haag yang bisa saya berikan. Ini untuk memberikan gambaran apakah kita di Indonesia sekarang ini bisa melakukan pengadilan yang bersifat nasional mengenai topiknya," pungkasnya. (Ykb/Z-7)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat