visitaaponce.com

Puasa dan Nyepi

Puasa dan Nyepi
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta(Seno)

HAMPIR semua agama menganjurkan pemeluknya untuk sewaktu-waktu menyepi. Dalam Islam hal itu lebih fundamental lagi karena Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi sekaligus dasar ajaran Islam turun pertama kali saat Nabi Muhammad sedang menyepi di dalam gua di puncak Gunung Hira.

Menyepi dan berdiam diri sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, hakikat puasa sesungguhnya bertujuan menciptakan keheningan dan ketenangan jiwa dengan cara menghindarkan diri untuk tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri. Kita diminta menahan diri untuk tidak banyak bicara, banyak melihat, banyak berjalan, dan mengurangi kegiatan yang bisa menyedot energi otot dan otak.

Kemarin, saudara kita yang beragama Hindu juga merayakan Nyepi, salah satu spiritual event atau hari suci yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari Raya Nyepi sesungguhnya menirukan suasana seperti mati. Pada hari itu, umat Hindu melaksanakan caturbrata penyepian yang terdiri atas amati geni (tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak makan dan minum). Pihak yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadi, mirip yang dianjurkan kalangan ahli tarekat pada saat menyelenggarakan ibadah puasa.

Baca juga : Mengenal Malam Lailatul Qadar, Malam Kemuliaan Setara 1.000 Bulan

Salah satu godaan paling berat bagi kita ialah menahan diri atau diam di dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti menahan diri untuk tidak nimbrung di dalam sebuah kelakar, menahan diri tidak mengeluarkan unek-unek di dalam pikiran, atau menahan diri tidak hanyut ketika kita sedang curhat. Di sinilah perlunya menahan diri dan membiasakan diri untuk diam perlu dilatihkan di dalam diri kita.

Agama juga selalu mengajarkan, khususnya dalam Islam, agar kita membatasi diri bicara. Bukan tidak boleh bicara, melainkan bicara seperlunya. Nabi Zakaria pernah diminta bernazar untuk berpuasa bicara selama tiga hari ketika ia dikaruniai anak yang sudah lama dinanti-nantikan. Zakaria berkata, "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Tuhan berfirman, "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat (QS Maryam/19:10).” Akhirnya doanya dikabulkan dan Nabi Zakaria pun menunaikan nazar, berpuasa bicara selama tiga hari.

Puasa bicara atau diam bukan pekerjaan mudah bagi orang normal. Allah SWT selalu mengingatkan kita agar hati-hati bicara, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab/33:70).”

Dalam hadis Nabi disebutkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia mengatakan yang benar atau lebih baik diam.” Nabi juga mengingatkan kita, “Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam ialah pada lidahnya.” “Barangsiapa yang banyak bicara, banyak juga kelirunya. Barangsiapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya maka nerakalah yang paling tepat tempatnya.”

Namun, tidak selamanya diam itu baik. Ada kalanya seseorang harus dan wajib bicara, terutama menyuarakan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi, “Katakanlah kebenaran itu meskipun pahit.” Basyar Al-Hafi mengatakan, “Jika suatu pembicaraan membuatmu terkagum-kagum, sebaiknya Anda diam saja. Jika diam membuatmu terkagum-kagum, sebaiknya Anda angkat bicara.” Abu Ali al-Daqqaq juga pernah berkomentar, “Barangsiapa diam dari kebenaran, dia adalah setan bisu.”

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat