visitaaponce.com

Sabar ketika Berjaya

Sabar ketika Berjaya
Abdul Mu'ti, Sekum PP Muhammadiyah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(Seno)

SECARA psikologis manusia memiliki sifat-sifat yang mendorongnya untuk berbuat baik atau jahat. Dalam buku Al'Qur'an dan Ilmu Jiwa (1985), M Utsman Najati mengatakan bahwa manusia memiliki dorongan untuk memiliki.

Dorongan itu dipelajari dari proses sosialisasi, kebudayaan, dan pengalaman pribadi. Manusia belajar untuk memiliki harta dan berbagai hak milik yang menumbuhkan rasa aman dari kemiskinan dan membekalinya dengan pengaruh, pangkat, dan kekuatan di dalam masyarakat.

Kepemilikan harta, pangkat, dan jabatan dapat membuat manusia berbuat melampaui batas (thagha). Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq (96): 6-7 disebutkan: (6) sekali-kali tidak! Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas (7) apabila melihat dirinya serbacukup (8) sungguh hanya kepada Tuhanmulah tempat kembalimu.

Baca juga : Pemerintah Setop Izin Baru PAUD Alquran dan Rumah Tahfiz Alquran

Di dalam Tafsir Kementerian Agama (2011) dijelaskan bahwa Allah menyesali manusia karena banyak yang cenderung lupa diri sehingga berbuat melampaui batas, yaitu kafir kepada Allah dan sewenang-wenang terhadap sesama manusia karena merasa dirinya serbacukup (istaghna). Lebih dari itu, manusia merasa tidak perlu beriman, berani melanggar hukum Allah, merasa berkuasa, dan berbuat zalim kepada orang lain.

Al-Qur’an mencontohkan manusia yang melampaui batas itu dengan sosok Firaun, raja Mesir. Firaun hidup sezaman dengan Nabi Musa dan Nabi Harun. Ia dikenal sebagai penguasa yang sombong, congkak, melampaui batas, menindas rakyat, dan memecah belah masyarakat. Karena itu, Allah mengutus rasul-Nya, Musa dan Harun, untuk mengingatkan Firaun. "Pergilah kamu berdua kepada Firaun, karena dia benar-benar telah melampaui batas (thagha). Berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut (QS Thaha [20]: 43-44).

Islam tidak melarang atau mencela orang untuk berharta dan berkuasa. Harta dan takhta sangat penting. Dengan kekayaan dan jabatan, manusia bisa berbuat banyak untuk kebajikan dan kemaslahatan umum. Sebagaimana Firaun, banyak manusia yang menjadi thaghut dan tiran karena kekayaan dan kekuasaan.

Baca juga : Salat Khusyuk: Dalil Al-Qur'an dan Enam Cara Mewujudkannya

Karena itu, Islam mendidik manusia dengan ibadah puasa agar manusia mampu menahan diri dan bersabar. "Puasa itu sebagian dari sabar, dan kebersihan sebagian dari iman," (HR Tirmidzi). Kesabaran tidak hanya membentuk manusia yang tahan uji, tetapi juga tahu diri. Tetapi itu tidaklah mudah. Perlu konsistensi. "Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) sungguh sangat berat, kecuali bagi mereka yang khusyuk," (QS Al-Baqarah [2]:45).

Menurut Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami li Ahkami Al-Qur'an (1996), yang dimaksud dengan sabar dalam ayat tersebut ialah puasa. Dengan berpuasa, manusia dapat mencegah nafsu syahwat dan bersikap zuhud dalam urusan duniawi. Zuhud berarti lebih mementingkan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi daripada kehidupan dunia yang hina dan fana.

Islam mengajarkan agar manusia senantiasa bersabar tidak hanya dalam nestapa dan lara, tetapi juga saat berjaya, digdaya, dan berkuasa. Sabar dalam duka memberikan stamina spiritual agar manusia tetap optimistis, tidak berputus asa. Sabar ketika sedang berkuasa dan bergelimang harta diperlukan agar manusia tidak melampaui batas, sombong, dan sewenang-wenang. Dengan sabar, manusia sadar bahwa tidak ada satu pun di dunia yang abadi.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat