visitaaponce.com

Puisi yang Memartabatkan

Puisi yang Memartabatkan
(Ilustrasi: Syahnagra Ismaill)

Ilustrasi: Syahnagra Ismaill

MUSTAHIL kita mengharapkan bahwa semua puisi memberikan wawasan atau tambahan pengetahuan bernuansa positif. Tentu saja, positif yang dimaksudkan di sini adalah laku bernilai universal maupun teologikal. 

Siapa saja bebas untuk menghasilkan puisi. Puisi dapat ditulis oleh mereka yang memang memilih penciptaan puisi sebagai pembentuk identitas diri maupun oleh yang hanya menuliskan puisi jika ada pendorong khusus. Baik yang ditulis oleh pemuisi profesional maupun amatir, karyanya tetap harus dinyatakan sebagai puisi. 

Dalam konteks ini, tidak elok membuat klasifikasi bahwa karya para profesional lebih bagus dibandingkan dengan karya yang amatir. Kualitas karya tidak semata-mata ditentukan oleh pilihan hidup yang telah ditempuhnya. 

Karya pemuisi amatir yang dapat dikategorikan sebagai “sekali berarti sudah itu mati” terdapat dalam khazanah sastra di mana saja. Pun di Indonesia; khususnya pada dekade 1950-an ketika majalah bernuansa kebudayaan bermunculan, banyak pemuisi amatir hadir. 

Dari buku Ernt Ulrich Kratz berjudul Bibliografi Karya Sastra Indonesia: Drama, Prosa, Puisi (1989), kita dibukakan mata, betapa banyak sastrawan—termasuk pemuisi di dalamnya—yang hanya menulis beberapa saja sepanjang hidupnya. Nama-nama seperti Basuki Gunawan, Sukro Wijono, atau P Sengodjo, jauh atau bahkan tidak terdapat dalam ingatan kita. Apakah karya-karya mereka tidak berkualitas? Tidak! 

Itu sedikit penampang gambaran sastra Indonesia modern. Khusus berkenaan dengan penciptaan puisi, maupun genre lain, tidak ada keharusan untuk hanya menghasilkan karya-karya bernilai positif itu. Dengan mudah dapat kita saksikan, betapa banyak karya sastra, termasuk puisi, berisi ekspresi yang tidak berkenaan dengan pemartabatan kemanusiaan. Apakah karya sastra yang demikian tidak boleh atau tidak berkualitas? Bukan dalam konteks ini pembicaraan saya kali ini.

Pemartabatan manusia 

Tidak semua yang pernah kita baca, tersimpan dengan baik dalam ingatan kita. Bahwa banyak yang tersimpan adalah hal, peristiwa, atau adegan yang secara umum kurang pantas, itu adalah urusan masing-masing pribadi. Misalnya, orang lebih ingat novel David Herbert Lawrence berjudul Lady Chatterly’s Lover dibandingkan karya lain. 

Atau ingat halaman-halaman tertentu novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag daripada karya lain. Barang kali adalah kenyataan kemanusiaan yang wajar. Akan tetapi, jika membincangkan permasalahan kontribusi yang ada kaitan dengan kemajuan atau pemartabatan manusia lewat bacaan, puisi khususnya, saya perlu mengajak kepada para pemuisi akan adanya dimensi ingatan kolektif. 

Pada dimensi ingatan kolektif yang tentu merujuk kepada produksi masa lalu, tersedia dimensi yang beraneka rupa peranan dan kontribusinya. Seperti sudah saya sebutkan akan ingatan terhadap karya-karya tertentu tersebut, maka seorang pemuisi selain bebas untuk mengartikulasikan keunikan atau bahkan lecentia poetica-nya selalu mempunyai kesempatan untuk mengkreasi bangunan baru yang berdimensi pemartabatan kemanusiaan. 

Bicara mengenai adab dan kemajuan bangsa Indonesia, para pemuisi dapat memberi kontribusi nyata melalui puisi bagi pemartabatan manusia.

Tentu, saya sedang tidak berbicara tentang hal ihwal khotbah, kendati lumayan banyak puisi yang berdekatan dengan isi khotbah. Yang ingin saya kemukakan adalah permasalahan diksi yang sesuai bagi karya puisi. Mohon tidak buru-buru menduga bahwa saya anti kata-kata makian, khususnya dalam bentuk lisan, sebab secara historis khazanah makian ini dulu identik dengan para bangsawan atau pembesar kerajaan. 

Yang ingin saya nyatakan adalah bahwa melalui puisi tersedia ruang untuk memberikan “pengajaran” yang bernilai kemanusiaan. Mari kita ingat, bahkan karya pertama puisi Indonesia yang terbit pada tahun 1857 saja telah memanfaatkan puisi ini demi suatu kemajuan. 

Bismillah itoe moela dikata 
Rahman den rahim kedoewadja serta 
Mengarang sair soewatoe tjeritta 
Dengan pitoeloeng Toehan kitta. 

Djikaloe membatja lagoe lagoekan 
Njaringken soewara djangan tahanken
Hoerepdja djangan dipatoekerken
Soepaija birahie ijang mendengerken. 

Membaca djangan sambiel bitjara 
Pasehken lidah djaringken soewara
Segala ijang mendengar soepaija goembira 
Kedalem hatidja seopaija misra. 

Membatja hendak amat amattie 
Sahingga selse maka berhantie
Didalem sepatah kata beberapa artie
Den ijang mendengar sompoel dihatie

Membatja dia hendak pahamken 
Segala lapaldja angkao ingetken 
Hoebaija hoebaija akoe pesenken 
Djikalo salah djangan diijemken. 

Memang tidak harus karya sastra membawa pesan moralistis atau teologis, tetapi jika kita bicara mengenai adab dan kemajuan suatu bangsa, hal ini Indonesia, para pemuisi tentu dapat memberi kontribusi nyata melalui puisi bagi pemartabatan manusia. 

Permasalahan dasarnya adalah, dewasa ini cukup banyak yang kurang memahami bahwa puisi adalah genre sastra yang mensyaratkan penulisnya menguasai basisnya, yaitu aspek linguistik. Banyak yang mengira bahwa asal bisa menulis, maka dengan sendirinya dapat menghasilkan puisi; suatu anggapan yang menurut saya tidak tepat. (SK-1) 


Baca juga: Energi Sastra
Baca juga: Cerita dan Utopia di Batavia
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Ibnu Wahyudi, peneliti dan dosen sastra di Universitas Indonesia. Menulis buku dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar, simposium, dan konferensi, baik skala nasional maupun internasional. Esai berjudul Puisi yang Memartabatkan ini disajikan dalam acara Diskusi Sastra bertajuk Peran Sastra dalam Membangun Indonesia Maju di Terrace Coffee & Eatery, Kompleks Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat