visitaaponce.com

Cerita dan Utopia di Batavia

Cerita dan Utopia di Batavia
Batavia (1755)(Ilustrasi: Gabriel Huquier)

MEMBICARAKAN pers dan puisi ibarat dua kutub yang saling berkaitan antara sisi utara dan sisi selatan. Kutub menjadi titik persimpangan sumbu imajiner dengan permukaan bumi. 

Kita tahu bumi memiliki bentuk bulat dan sudut konstan. Kecenderungan sumbunya ke bidang orbit. Oleh karena itu, sinar matahari menerangi berbagai bagian planet di sudut yang berbeda. 

Bumi ialah tempat kita berpijak. Asal-muasal kehidupan yang telah mendatangkan inspirasi bagi banyak seniman dari abad ke abad. Pers sebagai pilar demokrasi pun telah ikut menjadi bagian penting di Republik ini, sementara adanya ruang puisi tak lain sebagai oase kesejukan. 

Menengok kembali sejarah panjang pers di Jawa memberikan kita pencerahan. Kemunculannya tak terlepas dari peranan kaun aristokrat Hindia Belanda. Sejarawan Belanda Pieter Geyl (1887-1966) semasa hidupnya mengabdikan diri secara total bagi ilmu sejarah. 

Dia menulis pelbagai topik, mulai dari perang Napoleon sampai monopoli Belanda di negara-negara jajahan. Dalam bukunya yang terkenal, The Netherlands in the 17th Century 1609-1648 (1936), Geyl mengkaji kembali sejarah secara lebih terperinci. Kesuksesan itu membawa namanya kian dikenal luas sejagat. 

Selain Geyl, Aloysius Sartono Kartodirdjo (1921-2007) juga patut saya sebut di sini. Dia adalah salah satu tokoh hebat yang sangat tekun dan apik mengkaji sejarah kolonialisme dari sudut pandang orang Indonesia. Kajian-kajiannya banyak mengispirasi para sejarawan kita. 

Sebuah surat kabar di Belanda Au Courant, Jilid 10 edisi 3 Oktober 1995, halaman 1, pernah menurunkan sebuah liputan secara komprehensif. Perihal, asal muasal persuratkabaran di Hindia Belanda. Semua disajikan lewat pendekatan sejarah. Enak dibaca dan dipahami orang awam. 

Dari artikel liputan itu, kita dapat mengetahui secara detail tentang dunia persuratkabaran tempoe doeloe. Campur tangan pemerintah, alasan sensor, pendapatan perusahaan, dan persoalan keamanan menjadi landasan yang disajikan redaksi. 

Jan Pietersz Coen, petinggi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, mengatakan berita tulisan tangan harus hadir di Batavia. Itu setelah dia membaca sebuah surat kabar Eropa, Courante Nouvelles

Nah, dari situlah, surat kabar tulisan tangan mula-mula bernama Mémorie des nouvelles muncul di Hindia Belanda pada 1644. Harian pertama dan tertua di Hindia Belanda itu terbit atas perintah pemerintah di Batavia. 

Sebagai badan usaha, Mémorie des nouvelles tunduk pada sensor yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Alasan utama, kegiatan VOC didasarkan pada monopoli dan kerahasiaan sehingga tak boleh sembarang disiarkan. 

Surat kabar asli pertama Bataviase nouvelles hadir ke publik Batavia pada 7 Agustus 1744 dan berhenti terbit pada 20 Juli 1745. 

Perkembangan awal pun mulai terlihat saat VOC membeli mesin cetak dan ketik dari Belanda. Percetakan pun didirikan di sebuah kastil di Batavia. Di sinilah, tonggak surat kabar cetak pertama diterbitkan pada 14 Maret 1688. Isu pertama yang diturunkan, setelah melewati sensor, memuat semua ketentuan perjanjian damai antara VOC dengan Makassar. 

Pada tahun yang sama, Mémorie des nouvelles jatuh ke tangan swasta dan menjadi milik penjual buku H Brants dan J Bruyning. Mereka memperoleh hak paten sebagai percetakan kota dan perusahaan. 

Keduanya menyebut diri sebagai 'pencetak buku perusahaan bangsawan'. Mémorie des nouvelles menyediakan berita tentang Hindia Belanda dan Eropa. Tujuan perilisan ini murni komersial. Mengkritik kebijakan pemerintah sangat dilarang keras. 

Selain memasok barang cetakan untuk pemerintah, Usaha Brants dan Bruyning itu juga diperbolehkan untuk mencetak keperluan sehari-hari. Namun, terbatas hanya pada kalender, pengumuman, kartu undangan pesta, dan sejenisnya. Persaingan pasar antara bangsa-bangsa membuat pemerintah mendirikan percetakan sendiri bernama De Compagniesdrukkerij

Bataviase nouvelles 

Batavia menjadi kota penting bagi pelayaran VOC sebelum ke Timor dan Ambon. Maklum, di Timor melimpah kayu cendana, sedang di Ambon membubung gelegak pala dan cengkih. Semua diangkut dari luar Jawa dan dibawah ke Batavia sebelum dilayari ke Eropa. 

Hanya setengah abad kemudian, pada 7 Agustus 1744, surat kabar asli pertama bernama Bataviase nouvelles hadir ke publik Batavia atas usaha keras Coen. Iklan menjadi konten utama dan sumber pendapatan yang bagus. 

Sesungguhnya, sumber-sumber untuk penerbitan surat kabar semacam itu sudah ada di Batavia jauh sebelum 1744. Namun, sistem kerahasiaan VOC sangat dijaga ketat. Pemerintah VOC berasumsi bahwa hampir semua publisitas harus dianggap berbahaya bagi monopoli. Mereka memastikan penduduk di Batavia tidak memiliki akses untuk memohon kepada pemerintah untuk mendirikan surat kabar. 

Di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal 'liberal' G W Baron van Imhoff, seorang pedagang dan juru tulis pemerintah, Jan Erdman Jordens, ikut mengajukan izin untuk menerbitkan surat kabar secara besar-besaran. Setelah kongkalikong, lisensi diberikan namun dengan moto 'masa percobaan untuk publikasi'. 

Keberadaan Bataviase nouvelles cukup sukses. Hal itu membuat Jordens ikut tergerak. Dia pun menerbitkan dan mencetak surat kabar baru bernama Bataviase nouvelles en politique raisonnementen

Surat kabar ini sembunyi-sembunyi memuat isu-isu politik. Suatu hari, Baron van Imhoff membaca dan merasa berbahaya. Dia lalu melaporkan ke Heeren 17 atau Gentlemen Seventeen, julukan  nama untuk dewan direksi VOC. Akhirnya, Heeren 17 melarang percetakan dan penerbitan surat kabar. 

Tidak disebutkan apa dampak buruk di Belanda bagi VOC dengan terbitnya surat kabar di Batavia. Terpaksa, Bataviase nouvelles berhenti terbit pada 20 Juli 1745. Surat kabar itu mengalami nasib nahas. 

Konon, rubrik puisi yang sedianya akan dihadirkan di Bataviase nouvelles sebagai bentuk kekaguman dichter (penyair) terhadap keindahan tanah Hindia Belanda, pun hanya sebatas utopia belaka. (SK-1) 


Baca juga: Puisi dan Kehidupan
Baca juga: Bayar Kopi dengan Puisi
Baca juga: Jalur Rempah Timor dalam Karya Seniman Prancis

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022). Ilustrasi header: Gabriel Huquier, Batavia (1755), koleksi Kunst Historisch Instituut der Rijksuniversiteit Utrecht. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat